”Lockdown” dan Protokol Balkon
Seiring merebaknya penyakit virus korona (Covid 19), masyarakat semakin sering mendengar istilah ”lockdown”. Apa itu ”lockdown” dan bagaimana menerapkannya? Lalu apa itu Protokol Balkon?
Seiring merebaknya penyakit virus korona yang menyebabkan penyakit Covid 19, masyarakat semakin sering mendengar istilah lockdown. Apa itu lockdown dan bagaimana menerapkannya? Lalu, apa itu Protokol Balkon?
Merujuk sejumlah literatur, lockdown pada prinsipnya adalah protokol karantina pada ruang lingkup tertentu sesuai gradasi persoalan, bisa gedung, area, kota, provinsi, dan negara. Tidak ada ukuran tunggal untuk model karantinanya. Sekali lagi, bergantung pada gradasi persoalan, bergantung pada kebutuhan.
Dalam persoalan Covid-19, lockdown pertama dilakukan Pemerintah China untuk mencegah penyebaran Covid-19. Awalnya sebatas untuk kota Wuhan, ibu kota Provinsi Hubei, dengan 11 juta penduduk, yang diyakini sebagai pusat penyebaran Covid-19.
Mulai 23 Januari 2020, mengutip Time, semua transportasi dari dan menuju Wuhan dihentikan. Pintu-pintu masuk-keluar kota ditutup. Hanya petugas yang berkepentingan berikut kendaraannya yang bisa lalu lalang. Masyarakat diminta tetap tinggal di rumah masing-masing, kecuali keluar untuk membeli kebutuhan hidup sehari-hari dan berobat. Sekolah, kantor, dan industri diliburkan. Kendaraan pribadi dilarang beroperasi di jalanan kota.
Dalam beberapa hari berikutnya, lockdown diperluas ke kota-kota sekitarnya di Provinsi Hubei. Total terdapat 15 kota di provinsi tersebut yang di-lockdown dengan total penduduk seluruhnya mencapai 60 juta jiwa atau dua kali jumlah penduduk Jabodetabek. Ini adalah karantina manusia terbesar sepanjang sejarah umat manusia. Ini adalah gerendel massal.
Dari aspek target kegiatan, lockdown juga diperluas menjadi tidak sebatas pada ruang publik atau fasilitas umum, tetapi juga merambah pada kontrol sosial terhadap pergerakan atau mobilitas privat orang. Tingkat pembatasan atau larangan mobilitas orang itu beragam, mulai dari sebatas cek pada pintu-pintu masuk gedung sampai pembatasan ketat keluar gedung.
Di sejumlah kompleks apartemen, masih mengutip Time, petugas keamanan melarang orang masuk ataupun keluar kompleks. Di Wuhan, militer dikerahkan untuk memastikan penduduk kota mematuhi ketentuan lockdown dan sukarelawan beroperasi dari pintu ke pintu mengecek kondisi kesehatan warga, terutama suhu tubuh. Warga yang kedapatan memiliki gejala Covid-19 segera dikirim ke karantina pusat.
Namun, lockdown di Hubei tidak sebatas mengunci wilayah itu. Sekali lagi, esensi lockdown adalah membangun karantina massal untuk mengatasi inti persoalan. Dengan demikian, integral dalam protokol itu adalah penyediaan fasilitas serta sumber daya kesehatan dan bidang lainnya yang terkait secara memadai.
Baca juga: Jurus Tujuh Negara Hadapi Korona
Pemerintah China, mengutip kantor berita Xinhua, memobilisasi 42.600 tenaga medis dari sejumlah daerah di China ke Hubei. Akademisi, pakar bidang penyakit pernapasan dan penyakit infeksi, serta 10 persen spesialis perawatan kesehatan dari seantero China dipanggil ke Hubei.
Dua rumah sakit baru khusus untuk menangani Covid-19 dengan kapasitas 2.600 tempat tidur pasien didirikan hanya dalam sebulan. Pada saat yang sama, 86 rumah sakit lama di kota Wuhan didesain untuk memprioritaskan penanganan Covid-19. Sebanyak 16 gedung pertemuan dan gedung olahraga juga disulap menjadi rumah sakit. Semua fasilitas yang disiapkan dalam waktu sebulan itu menyediakan 60.000 tempat tidur pasien.
Lockdown di Provinsi Hubei berlangsung tak kurang dari 50 hari. Baru mulai akhir pekan lalu, Pemerintah China berangsur-angsur mengendurkan tali karantina massal tersebut.
WHO menyebut, lockdown di 15 kota di Hubei jauh lebih ketat ketimbang protokol WHO. Langkah ini diapresiasi sebagai bentuk kuatnya komitmen Pemerintah China mencegah penyebaran Covid-19.
Sampai di sini, lockdown di Provinsi Hubei barangkali terdengar heroik. Namun, di balik itu semua, banyak pengorbanan dan penderitaan, terutama dari 60 juta penduduk Hubei. Mereka mengalami kesulitan hidup selama menjalani lockdown, mulai dari sulitnya mencari bahan pangan hingga kehilangan pekerjaan. Rasa khawatir, serba tidak pasti, frustrasi, marah, bosan, dan tak berdaya campur aduk meluluhlantakkan mental.
Baca juga: Mereka yang 24 Jam Berada di Garda Depan Memerangi Covid-19
Perekonomian China
Di bidang ekonomi, China berdarah-darah. Lockdown terhadap kota Wuhan saja sudah berarti kehilangan besar bagi perekonomian China. Kota Wuhan adalah basis industri sejumlah raksasa manufaktur dunia dengan pemasaran global. Dalam hal ini, nilai ekonomi kota Wuhan untuk China bisa disetarakan dengan nilai ekonomi kota Detroit untuk Amerika Serikat (AS).
Produk dari kota Wuhan antara lain mobil, optik-elektronik, baja dan besi, farmasi, teknik biologi, serta industri material baru dan perlindungan lingkungan. Selama masa lockdown, semuanya berhenti total, mulai dari produksi, pengapalan barang, sampai dengan kerja buruh.
Sangat mungkin pertumbuhannya negatif, pertama kalinya sejak berakhirnya Revolusi Budaya (1966-1976).
Perusahaan asuransi Euler Hermes, mengutip South China Morning Post, memperkirakan, China kehilangan 108 miliar dollar AS dari ekspor barang, 72 miliar dollar AS dari perjalanan, dan 10 miliar dollar AS dari jasa transportasi.
Secara akumulasi, China kehilangan ekspor senilai 190 miliar dollar AS atau sekitar Rp 2.850 triliun, lebih besar ketimbang kapasitas belanja Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Indonesia sebesar Rp 2.540 triliun.
Ini belum bicara soal anjloknya investasi, impor, dan belanja masyarakat. Secara agregat, pertumbuhan ekonomi China per triwulan I-2020 pun diperkirakan anjlok, jauh di bawah 4 persen sebagaimana proyeksi awal. ”Bahkan sangat mungkin pertumbuhannya negatif, pertama kalinya sejak berakhirnya Revolusi Budaya (1966-1976),” kata Ekonom Kepala Macquarie Group Larry Hu, sebagaimana dikutip CNN.
Baca juga: Khawatirkan Pasokan Makanan, Warga Singapura Serbu Pusat Perbelanjaan
Kontroversi soal lockdown sejak awal memang sudah tak terhindarkan. Satu pihak menilai kebijakan itu berlebihan dan mengorbankan kegiatan masyarakat dan perekonomian nasional. Satu pihak lagi menilai tindakan itu tepat dan perlu dilakukan untuk menangani Covid-19 yang persebarannya masif.
Berdasarkan data WHO per 17 Maret, total jumlah penderita Covid-19 di daratan China mencapai 80.881 orang dengan 3.226 orang di antaranya meninggal.
Dengan pahitnya pil yang harus ditelan tersebut, seberapa efektif lockdown di 15 kota di Hubei itu dalam mencegah penyebaran Covid-19?
Puncak penyebaran Covid-19 di daratan China terjadi pada akhir Januari 2020. Otoritas kesehatan China menyebut, kurang dari dua bulan setelah lockdown, ”Negeri Tirai Bambu” itu berangsur-angsur melewati puncak kasus penyebaran Covid-19. Artinya, dari aspek ini efektif.
Dokter spesialis pernapasan asal China, Zhong Nanshan, sebagaimana dikutip dari Xinhua, menyatakan, pengalaman China mengatasi Covid-19 selama dua bulan terakhir bisa menjadi bahan pembelajaran negara-negara lain. Pengalaman China tersebut bisa membantu dunia mengurangi penyebaran dan fatalitas Covid-19.
”Jika negara-negara menanganinya seperti China, Covid-19 sebagai pandemi global akan bisa dikendalikan pada Juni (2020),” kata Zhong.
Baca juga: Macron Canangkan Perang atas Covid-19
WHO mencatat, Covid-19 telah menyebar ke 123 negara. Per 17 Maret, sebanyak 177.893 orang terinfeksi dengan 7.085 orang di antaranya meninggal dan 79.113 dinyatakan sembuh. Episentrumnya kini telah bergeser dari China ke Eropa.
Lantas pertanyaanya sekarang adalah bagaimana negara-negara lain menangani Covid-19 di wilayahnya masing-masing? Apakah mereka juga menerapkan lockdown dengan berbagai penyesuaiannya atau seperti apa?
Merujuk panduan WHO, sejumlah negara saat ini menerapkan protokolnya masing-masing tanpa melakukan lockdown. Sebagian lagi sudah menerapkan lockdown. Di antaranya adalah Italia, negara dengan kasus Covid-19 terbesar di luar China. Di ”Negeri Piza” itu, Covid-19 telah menelan 2.158 korban meninggal dari 27.980 kasus pasien terinfeksi. Ini data WHO per 17 Maret.
Awalnya, Perdana Menteri Italia Giussepe Conte memberlakukan lockdown untuk wilayah Italia utara saja. Namun, belakangan, lockdown diperluas menjadi untuk seluruh negeri.
”Cattenacio” Covid-19
BBC dalam pemberitaannya menyebutkan, semua ditutup kecuali supermarket dan toko obat. Kantor, sekolah, industri, dan unit kegiatan masyarakat lainnya tutup. Hanya kegiatan tertentu yang diberi izin tetap beroperasi terbatas. Transportasi dari dan ke Italia juga dihentikan.
Masyarakat diminta tinggal di rumah kecuali untuk membeli kebutuhan sehari-hari dan berobat. Mereka yang memiliki kepentingan untuk keluar rumah harus mengisi formulir dan mendapatkan surat jalan dari otoritas keamanan setempat. Inilah cattenacio terhadap penyebaran Covid-19 di Italia. Cattenacio adalah istilah untuk sistem pertahanan gerendel tim sepak bola ”Azzurri ”yang dikenal solid.
Namun, bukan Italia namanya kalau tidak mengekspresikan diri dalam estetika seni sekalipun di tengah situasi krisis. Dalam situasi lockdown, warga Italia bernyanyi atau memainkan alat musik dari balkon apartemen mereka masing-masing. Ekspresi ini merupakan bentuk solidaritas sekaligus upaya menyalakan harapan dan memberi penghiburan bagi keluarga sendiri ataupun tetangga mereka di balkon seberang. Banyak warga yang mengabadikan ekspresi tersebut dalam video dan foto, lalu mengunggahnya ke media sosial.
Fenomena ini, mengutip The Guardian, kian marak di Italia, bahkan menyebar ke negara-negara Eropa lainnya yang juga tengah menerapkan lockdown.
Sebuah rekaman video salah seorang warga kota Siena di Tuscany, Italia, telah dilihat 600.000 kali di Twitter. Dalam video itu, warga setempat menyanyikan lagu tradisional ”Canto della Verbena” dari jendela mereka di sebuah apartemen. Lagu itu berkisah tentang kota Siena. Liriknya antara lain menyebutkan, ”panjang umur Siena”.
Tak ingin ketinggalan, penyanyi tenor Maurizio Marchini dari balkonnya di kota Florence menyanyikan aria masyhur dari opera Turandot karya Puccini, ”Nessun Dorma”. Aksi yang direkam dalam video berdurasi 3 menit 17 detik tersebut kemudian diunggah di Facebook.
Tampak dalam video itu, Maurizio berdiri di balkon apartemennya yang agak tinggi menghadap keluar, ke sejumlah permukiman dan apartemen sekitar. Penuh penghayatan, ia menyanyikan ”Nessun Dorma”.
Aksi ini mengingatkan pada tradisi Takhta Suci Vatikan. Setiap Natal dan Paskah serta beberapa event lainnya, Paus dari balkon tengah Basilika Santo Petrus di Vatikan, Roma, memberikan berkat kepada kota dan dunia. Paus selalu mengawali berkatnya dengan mengatakan frasa, urbi et orbi atau kepada kota dan kepada dunia.
Baca juga: Semangat Warga Italia Tak Padam Selama Isolasi
Di tengah situasi krisis akibat Covid-19, Maurizio dari balkonnya di Florence, dan dengan caranya, memberikan berkat kepada kota dan kepada dunia. Lebih dari sekadar menyanyi, ia benar-benar mengabarkan kepada kota dan dunia tentang harapan dan solidaritas umat manusia.
Dan sebagaimana kita semua tahu, klimaks Nessun Dorma itu datang di bagian paling akhir, yakni pada lirik ”vincerò” atau dalam bahasa Indonesia berarti ”akan menang”. Sore itu, Maurizio sampai pada klimaks. Bahkan, ia meluncurkan klimaks kedua sembari menggendong anak laki-lakinya. Seolah ia ingin mengatakan kepada anaknya, tetangganya di balkon seberang, Kota Florence, dan dunia bahwa Italia pada saatnya akan memenangi pertempuran melawan Covid-19.
Covid-19 boleh menjelma menjadi ”prima causa” atau penyebab utama dari berbagai gejolak yang terjadi di semua bidang kehidupan manusia selama dua bulan terakhir. Bahkan, lakonnya diperkirakan masih akan berlanjut dalam beberapa bulan ke depan. Sementara lockdown juga masih akan menjadi kosakata populer di masyarakat.
Namun, pada akhirnya, manusia-lah yang menjadi pusat dari semuanya. Manusia-lah yang mengalami berbagai kesulitan dan penderitaan hidup di arena pergulatan antara persoalan dan solusi. Warga China, warga Italia, dan warga negara lainnya yang tengah menerapkan lockdown sebagai solusi paling ekstrem telah menunjukkan dengan caranya yang otentik bahwa dalam kerentanannya, manusia tetaplah istimewa.
Protokol Balkon
Protokol Balkon, yang Maurizio dan warga Italia lainnya lakukan, adalah cara penduduk negeri itu merawat kewarasan dan kemanusiaan di tengah kesulitan hidup yang di-lockdown.
Protokol Balkon sama sekali bukan bentuk protes atau kontra terhadap kebijakan lockdown, melainkan mekanisme spontan yang tumbuh dari insting purba manusia untuk menyalakan harapan dan solidaritas di tengah situasi yang sulit, bahkan krisis. Bersama kebijakan lockdown serta usaha seluruh paramedis dan relawan yang bekerja 24 jam setiap hari, Protokol Balkon adalah ikhtiar menyembuhkan Italia.
Lalu, bagaimana dengan Indonesia? Dalam seminggu terakhir, terjadi lonjakan kasus Covid-19. Pada 7 Maret 2020, Kementerian Kesehatan menyebutkan, 4 orang terinfeksi Covid-19. Seminggu kemudian atau 14 Maret, jumlahnya melonjak menjadi 96 orang di delapan provinsi. Dari jumlah itu, lima orang meninggal dan delapan orang dinyatakan sembuh. Lantas per 17 Maret, jumlah kasus positif bertambah lagi menjadi 172 orang.
Presiden Joko Widodo, dalam jumpa pers di Istana Bogor, Senin (16/03/2020), menyatakan, pihaknya terus memberikan perintah-perintah terukur guna menghambat penyebaran Covid-19 sekaligus tidak memperburuk dampak ekonomi yang bisa mempersulit kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, semua kebijakan pemerintah pusat dan pemerintah daerah harus ditelaah secara mendalam agar efektif menyelesaikan masalah dan tidak justru memperburuk keadaan.
Baca juga: Status Keadaan Darurat Tertentu Korona Diperpanjang sampai 29 Mei 2020
Presiden juga menegaskan bahwa kebijakan lockdown, baik di tingkat nasional maupun di tingkat daerah, adalah sepenuhnya kebijakan pemerintah pusat. Kebijakan ini tidak boleh diambil pemerintah daerah.
”Dan sampai saat ini, tidak ada kita berpikiran ke arah kebijakan lockdown. Sekarang ini yang paling penting, yang perlu dilakukan, bagaimana kita mengurangi mobilitas orang dari satu tempat ke tempat lain, menjaga jarak, dan mengurangi kerumunan orang,” kata Presiden.
Apakah pemerintah pada saatnya akan menerapkan lockdown pada daerah tertentu di Tanah Air? Semoga tidak. Tidak karena tidak perlu, bukan tidak karena tidak mampu atau bingung. Yang pasti, untuk mengatasi Covid-19 diperlukan solidaritas umat manusia, bukan kegaduhan di media sosial ataupun dagelan politik yang memuakkan.
Baca juga: Mari Bersatu Hadapi Pandemi Korona
Sementara itu, di Italia, warga masih menyanyikan lagu dari balkon apartemennya masing-masing. Sambung-menyambung, lagu-lagu dari balkon itu menjadi pesan berantai tentang harapan dan solidaritas manusia dalam kesulitan hidupnya selama menjalani lockdown. Semuanya itu mengarah pada satu tujuan, yaitu mengalahkan Covid 19, si pandemi global, dan kembali merdeka sebagai umat manusia warga dunia.