Pelaksanaan Pembatasan Sosial Menentukan Keberhasilan Atasi Covid-19
Imbauan untuk melakukan pembatasan sosial saja dinilai kurang memadai jika tidak diikuti dengan pengawalan atau monitoring ketat terhadap pelaksanaannya di lapangan atau daerah.
Oleh
Rini Kustiasih
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Imbauan pemerintah untuk melakukan pembatasan sosial atau social distancing dinilai tidak cukup untuk memastikan warga tetap berada di rumah atau menjaga jarak dengan orang lain ataupun menghindari kerumunan. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 pun sebenarnya telah mengatur pembatasan sosial, tetapi untuk pelaksanaannya perlu sikap tegas pemerintah dan kerja sama dengan pemerintah daerah.
Ketua Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia Defriman Djafri saat dihubungi dari Jakarta mengatakan, imbauan untuk melakukan pembatasan sosial saja kurang memadai jika tidak diikuti dengan pengawalan atau monitoring ketat terhadap pelaksanaannya di lapangan atau daerah. Idealnya, pemerintah bekerja sama dengan pemerintah daerah, baik kabupaten/kota maupun provinsi, untuk memastikan pembatasan sosial itu dilakukan.
”Contohnya di Spanyol, ketika orang tidak mematuhi pembatasan sosial, mereka bisa dikenai sanksi berupa denda hingga jutaan rupiah. Pemda bisa membuat regulasi untuk menurunkan instruksi pemerintah itu dalam bentuk perda sehingga penegakan di lapangan dimungkinkan," kata Defriman, yang juga Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Andalas, Kamis (19/3/2020), saat dihubungi dari Jakarta.
Para ahli epidemiologi pun sepakat bahwa pembatasan sosial akan sangat signifikan dalam memutus mata rantai penularan epidemi tertentu. Namun, penerapan secara ketat tidak cukup hanya dengan imbauan, tetapi perlu campur tangan pemerintah di lapangan guna memastikan pemutusan mata rantai penularan penyakit.
Defriman mencontohkan, di wilayah Sumatera Barat, baru tiga kabupaten/kota yang menerapkan pembatasan sosial, yakni Padang, Padang Pariaman, dan Bukittinggi. Kesadaran itu belum terpatri sepenuhnya di benak masyarakat tentang perlunya pembatasan sosial, terlebih lagi untuk masyarakat komunal di Indonesia. Sebagai contoh pembatasan jabat tangan, yang bagi sebagian masyarakat dengan adat tertentu itu sukar dihindari.
Oleh karena itu, untuk bisa memastikan pembatasan sosial benar-benar bisa dilakukan, pemda perlu diajak serta dalam pengawasan dan penerapan di daerah. Sebab, pemda selama ini yang bisa menjangkau masyarakat langsung di lingkungan tempat tinggalnya. China, menurut Defriman, berhasil menerapkan pembatasan sosial dan karantina karena perintah dari pemerintah secara disiplin dipatuhi.
”Selain aturan tegas, yang perlu lainnya ialah keterbukaan. Dengan demikian, informasi mengenai suspected bisa diketahui dari mana asalnya, apakah imported atau tidak dan apakah itu dari daerah tertentu di satu wilayah lokal,” katanya.
Mantan hakim agung Topane Gayus Lumbuun mengatakan, pembatasan sosial sebenarnya telah diatur di dalam Undang-Undang No 6/2018 tentang Karantina Kesehatan. Di dalam UU itu dirinci ada empat jenis karantina, yakni karantina rumah, karantina wilayah, karantina rumah sakit, dan karantina sosial atau pembatasan sosial. Namun, ada syarat tertentu agar karantina itu dilakukan, yakni adanya kondisi darurat kesehatan nasional.
”Artinya pembatasan sosial ini sudah ada aturannya. Hanya saja, untuk memastikan empat jenis karantina itu dapat dilakukan dan tidak bertentangan dengan UU, pemerintah harus menyatakan kondisi darurat nasional. Penetapan status itu diatur di dalam Pasal 10-14 UU Karantina Kesehatan,” kata Gayus.
Pasal 49-52 UU No 6/2018 mengatur secara rinci jenis-jenis karantin tersebut. Khusus untuk Pasal 52 mengatur soal pencegahan interaksi sosial antarmasyarakat dalam skala besar untuk mencegah penyebaran suatu penyakit. Pembatasan itu dilakukan antara lain untuk sekolah, kegiatan keagamaan, tempat kerja, ataupun pertemuan-pertemuan dalam skala besar.
”Pembatasan sosial sudah ada dasar hukumnya. Hanya saja, untuk membuat ini bisa dilaksanakan sebagai suatu perintah UU, pemerintah harus terlebih dahulu menetapkan status darurat kesehatan masyarakat secara nasional. Dengan demikian, aturan karantina ini mengikat untuk semua warga negara,” katanya.
Saat ini, menurut Gayus, pemerintah dipandang belum secara tegas mendefinisikan ancaman wabah korona di Tanah Air sebagai suatu kondisi darurat kesehatan nasional. Status yang ditetapkan oleh pemerintah ialah status darurat keadaan tertentu karena korona.
”Ini penting sekali. Menurut saya, presiden perlu menetapkan keadaan darurat kesehatan nasional sehingga jenis karantina itu bisa dilaksanakan, apakah mau karantina rumah, karantina rumah sakit, karantina wilayah atau sering disebut lockdown, atau pembatasan sosial saja. Semua jenis karantina itu bisa diterapkan dan ada aturannya di UU,” kata Gayus.
Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin mengatakan, DPR mendukung pembatasan sosial dilakukan oleh semua lapisan masyarakat demi memutus rantai penularan Covid-19. Tanpa hal itu, penularan korona bisa masif terjadi. Akibatnya, fasilitas kesehatan tidak akan mampu menampung. Jika hal itu terjadi, masyarakat akan kesulitan mendapatkan pelayanan kesehatan yang layak.
Hanya saja, menurut Azis, masyarakat tidak cukup mendapatkan pemahaman mengenai macam-macam karantina ini sehingga ada orang yang kebingungan saat membedakannya dengan istilah lockdown yang kerap beredar di media.
”Lockdown bahasa sederhananya karantina. Karantina sendiri, menurut UU No 6/2018, ada beberapa macam, dan setiap macam ada aturannya. Syarat utamanya ialah penentuan status darurat kesehatan nasional oleh pemerintah pusat, atau presiden, yang diikuti dengan pembentukan satuan tugas untuk melakukan tindakan yang diperlukan untuk mengatasi sebuah wabah penyakit,” katanya.
Apa yang saat ini dilakukan oleh pemerintah, menurut Azis, sudah sesuai dengan apa yang diatur di dalam UU No 6/2018 karena yang sedang berlangsung saat ini ialah pembatasan sosial. Pembatasan sosial berskala besar merupakan bagian dari upaya memutus wabah, dengan mencegah interaksi sosial skala besar dari orang-orang di suatu wilayah. Upaya menggelar sekolah di rumah ataupun bekerja di rumah, termasuk dengan beribadah di rumah dan menghindari kerumunan, adalah jenis dari pembatasan sosial.
”Tetapi, orang-orang masih bisa berpergian, ke tempat atau acara tertentu. Tinggal tergantung seberapa ketat aturan pembatasan sosialnya,” kata Azis.
Anggota Komisi IX dari Fraksi Partai Amanat Nasional, Saleh Partaonan Daulay, mengatakan, sebaiknya pemerintah tegas saja mengatakan saat ini Indonesia darurat nasional sebagaimana diimbau oleh WHO. Dengan demikian, proses penanggulangan bencana maupun karantina sebagaimana diatur di dalam UU bisa diterapkan dengan maksimal.
Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Djoko Santoso mengatakan, pada prinsipnya semua harus bertanggung jawab untuk mengatasi pandemi. Semua harus berpartisipasi untuk memutus rantai virus.
”Semua orang harus satu teamwork sesuai imbauan Kemenkes dan Presiden Jokowi. Kunci dari mengatasi pandemi ialah membangun laboratorium yang memadai,” katanya.
Sementara itu, dalam suratnya kepada Panglima TNI, Menteri Pertahanan Prabowo Subianto meminta TNI menyiapkan pesawat untuk mengambil alat kesehatan di Shanghai. Hal ini dikonfirmasi juru bicara Prabowo Subianto, Dahnil Simanjuntak, Kamis (19/3/2020). Dalam surat tersebut Prabowo mengatakan, berdasarkan rapat Wakil Menhan, staf Kantor Staf Presiden dan IMIP, pada 17 Maret, TNI diminta mengambil alat kesehatan berupa disposable masks, N95 Masks, protective clothing, goggles, gloves, shoe covers, infrared thermometer dan surgical caps yang nantinya bisa digunakan oleh tim medis.
”Penggunaan pesawat TNI untuk mempermudah birokrasi,” kata Dahnil.