Berjibaku atas Nama Solidaritas
Di tengah kerentanan komunal menghadapi wabah Covid-19 yang terus menyebar, muncul inisiatif saling bantu. Krisis bertransformasi menjadi rasa tanggung jawab bersama atas nama solidaritas.
Agus Wiradi (43), pegiat kemanusiaan yang menjadi bagian potensi search and rescue, mengirimkan sebuah foto pada Jumat (20/3/2020) siang. Dalam foto yang baru diambil beberapa menit sebelum dikirim itu, ada lima orang membelakangi kamera. Mereka berada di bagian depan sebuah rumah ibadah di Kota Bekasi, Jawa Barat.
Perhatian keempat orang itu tertuju pada sesosok orang dengan seragam putih-putih di bagian tengah. Ia mengenakan sepatu bot yang nyaris mencapai lutut. Dia menggendong tabung berwarna biru muda.
Orang dengan pakaian putih-putih itu bertugas menyemprotkan cairan disinfektan ke bagian-bagian rumah ibadah tersebut. Ia merupakan bagian dari delapan sukarelawan lain yang bertugas serupa di bawah bendera Cakrawala Disaster Response.
Hingga Jumat siang, mereka sudah mencucihamakan tidak kurang 40 lokasi. Terutama yang menjadi fokus adalah tempat-tempat ibadah dan lokasi pemerintahan terkecil di perkampungan warga, seperti kantor RW.
Baca juga : Saatnya Bersatu dan Bergotong Royong
Pertimbangan lokasi didasarkan atas kasus infeksi Covid-19 akibat virus korona baru yang terkonfirmasi. Seperti Jumat itu, misalnya, penyemprotan disinfektan dilakukan di kawasan tempat ada terduga pasien Covid-19.
”Anak buahku (sudah ada yang) sakit, (tetapi karena) kecapaian,” kata Agus yang akrab dipanggil Didit lewat sambungan telepon.
Keletihan itu menyusul relatif banyaknya lokasi yang mesti dijangkau. Selain itu juga relatif panjangnya waktu kerja.
Sebagian besar di antara sukarelawan itu bekerja di sektor informal. Tukang ojek, montir bengkel, dan lainnya. Mereka meninggalkan sementara pekerjaan itu untuk mencucihamakan sejumlah lokasi. Mereka bekerja secara swadaya. Sejauh ini belum ada donatur. Akan tetapi, prosedur standar operasi dari Kementerian Kesehatan tetap diterapkan. Hal ini untuk mencegah risiko terinfeksi virus tersebut.
Ia menambahkan, pada dasarnya mereka juga tidak terhindar dari rasa takut. Namun, dengan keseimbangan dalam mempraktikkan pola hidup sehat, mengikuti anjuran pemerintah, dan menjalankan ibadah sesuai ajaran agama, mereka dapat mengatasinya. Persoalan yang cukup besar menjadi tantangan tim sukarelawan lebih pada kelangkaan cairan disinfektan. Demikian pula dengan bahan-bahan kimia untuk membuat cairan disinfektan.
Menurut Didit, bahan-bahan kimia pembuat disinfektan itu diduga sudah mulai ditimbun. Karena itulah, ia berharap pemerintah tegas menghukum orang-orang itu. Didit mengatakan, kondisi ini berpotensi memunculkan konflik sosial di tengah masyarakat. Padahal, yang mestinya muncul adalah bahu-membahu menggempur Covid-19.
Solidaritas organik
Melyn Marissa (29), pemilik kafe kopi Michuu yang bergaya Korea di Surabaya, Jawa Timur, terpikir untuk membuat program Giveback kepada para pengemudi ojek daring yang mengantar pesanan pelanggan. Hal ini juga disetujui mitranya.
Setiap sopir ojek yang datang dengan pesanan ia berikan beras 1 kilogram dan paket yang isinya makanan menu nasi daging. Akan tetapi, masukan dari beberapa pelanggan mengusulkan lebih baik beras itu menjadi tambahan pilihan. Jadi, pelanggan bisa membeli paket tersebut atau tidak, nanti pihak kafe yang akan memberikan ke sopir ojek. ”Saya senang, sudah puluhan pelanggan yang respons positif,” katanya.
Nico, warga Serpong, Tangerang Selatan, merasa ingin membantu pengemudi ojek daring yang mencari nafkah harian. Tiba-tiba, ia mendapatkan ide yang menurut dia sederhana walau agak konyol.
”Jadi, saya minta dibelikan sopir ojek online makan malam dengan aplikasi, dengan saldo saya yang ada di aplikasi itu, tetapi makanannya buat sopirnya,” cerita Nico.
Dalam gerakan yang lebih terorganisasi, Mita Eka, sukarelawan Sanggar Daya Kemanusiaan, Jakarta, yang didirikan Sandyawan Sumardi, mengoordinasikan pembuatan masker berbahan kain. Mita yang baru menetap di Indonesia sejak Juli 2019, setelah tinggal di Hong Kong sejak 2006 itu, sibuk mencari penjahit yang bisa menerima order menjahitkan masker kain.
Sedianya masker-masker itu akan dibagikan gratis kepada masyarakat miskin di Jakarta dan sekitarnya. Memang, jika dibandingkan dengan masker medis, efektivitas masker kain dengan bagian tengah diisi tisu untuk menangkal virus itu tidak ada apa-apanya. Namun, di tengah kelangkaan yang sekaligus membuat masker medis makin mahal, tak ada jalan lain.
Selain masker, Mita dan kawan-kawannya menyiapkan cairan pembersih tangan. Barang-barang itu beserta makanan sehat serba Rp 2.000 akan didistribusikan pada 23 Maret. Selain donasi makanan jadi, donasi bahan makanan juga diterima. Gagasannya mengolah bahan yang mendekati batas masa pakainya dan tak lagi bisa disimpan lama. Mereka membuat program bernama Rumah Solidaritas Kemanusiaan Warga Jakarta.
Petang itu Mita sibuk menanggapi panggilan telepon yang masuk. Sebagian besar adalah mereka yang ingin berdonasi. Ada juga yang ingin bergabung menjadi sukarelawan. Sebagian ingin tahu bagaimana caranya mengambil bantuan.
Sandyawan Sumardi yang dihubungi pada Kamis mengatakan, bantuan-bantuan itu di antaranya akan dibagikan ke Kampung Sumur, Klender, Jakarta Timur. Selain itu, ke Teluk Gong, Penjaringan, Jakarta Utara. Juga di sekitar Tempat Pembuangan Akhir Bantargebang di Bekasi.
Sandyawan menambahkan, pendistribusian bantuan akan dilakukan sukarelawan. Ini sekaligus untuk menyosialisasikan Covid-19 ke masyarakat.
Solidaritas kuat
Sandyawan meyakini, solidaritas di antara masyarakat masih kuat. Apalagi dengan kultur masyarakat komunal di Indonesia dan situasi sulit seperti saat ini. Ia berharap sebagian masyarakat dengan kemampuan ekonomi lebih bagus dapat menyumbang kepada mereka yang membutuhkan.
Konsep solidaritas sosial memang dapat menjadi kunci untuk mengatasi pandemi yang memengaruhi hampir seluruh negara.
Solidaritas ini yang juga menjadi salah satu tema dalam novel klasik mengenai wabah berjudul The Plague (La Peste dalam bahasa Perancis) yang ditulis Albert Camus. Novel yang diterbitkan tahun 1947 itu bercerita ihwal tenaga medis, dengan karakter utama Dr Bernard Rieux, dalam menghadapi wabah di Oran, Aljazair.
Dimulai dengan kematian ribuan tikus di jalanan, lantas kota yang dikarantina (lockdown), dan perjuangan merawat pasien di rumah dan rumah sakit. Ada tokoh yang berniat menyelundupkan diri keluar dari kota yang dikunci itu demi menemui kekasihnya. Namun, begitu ia mengetahui orang lain juga mengalami masalah serupa, termasuk Dr Rieux, tokoh itu membatalkan rencananya. Ia lalu memutuskan membantu Dr Rieux untuk melawan pandemi itu.
Namun, solidaritas itu juga ditandai Camus punya dimensi lain. Camus menulis penyakit yang tampaknya memaksa kita untuk memiliki solidaritas dari sebuah kota yang terkepung wabah dan pada saat yang sama mendisrupsi tatanan masyarakat. Ini membuat orang-orang hidup sebagai individu-individu terisolasi.
Di tengah wabah Covid-19, mana yang lebih Anda pilih; solidaritas atau individualitas?