Opsi menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang dipandang lebih memungkinkan dilakukan ketimbang merevisi UU Pilkada dalam hal menunda Pilkada 2020 di situasi darurat karena bencana Covid-19.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dewan Perwakilan Rakyat akan memantau dan berkomunikasi dengan Komisi Pemilihan Umum terkait penundaan empat tahapan Pilkada 2020 yang telah ditetapkan KPU. Opsi menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang dipandang lebih memungkinkan untuk dilakukan manakala dalam situasi darurat karena bencana coronavirus disease 2019 atau Covid-19.
Empat tahapan yang ditunda pelaksanaannya oleh KPU ialah pelantikan Panitia Pemungutan Suara (PPS), verifikasi syarat dukungan calon perseorangan, pembentukan panitia pemutakhiran data pemilih (PPDP), serta kerja pemutakhiran dan penyusunan daftar pemilih. KPU sudah membuat surat keputusan terkait penundaan itu dengan basis terjadi ancaman wabah Covid-19 yang disebabkan oleh virus korona jenis baru.
Wakil Ketua Komisi II DPR Saan Mustofa, Senin (23/3/2020), di Jakarta, mengatakan, penundaan empat tahapan Pilkada 2020 dipastikan akan berpengaruh terhadap tahapan lainnya. Oleh karena itu, KPU perlu memikirkan dan mengkaji secara mendalam peluang menunda tahapan pemungutan suara, yang merupakan puncak dari kegiatan pilkada.
”Peluang penundaan bisa melalui dua pintu, yakni revisi terbatas terhadap Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Sebab, pengaturan mengenai waktu pelaksanaan pilkada diatur di dalam pasal 201. Pintu kedua ialah menerbitkan perppu (peraturan pemerintah pengganti undang-undang) oleh presiden,” tuturnya.
Adapun waktu pemungutan suara ditetapkan berlangsung pada September 2020 dalam Pasal 201 Ayat (6) UU No 10/2016 tentang Pilkada. Pemungutan suara Pilkada 2020 di 270 daerah kemudian ditetapkan berlangsung pada 23 September 2020.
Menurut Saan, melihat kondisi darurat bencana karena wabah Covid-19, penerbitan perppu dinilai lebih berpeluang dilakukan. Perppu dapat diterbitkan manakala wabah Covid-19 belum mampu terselesaikan hingga berakhirnya masa status keadaan tertentu darurat bencana Covid-19 yang ditetapkan Badan Nasional Penanggulangan Bencana pada 29 Februari-29 Mei 2020.
”Kami tetap secara terus-menerus melakukan komunikasi dengan KPU. Bahkan, begitu masuk sidang tanggal 30 Maret yang akan datang, kami akan memprioritaskan agenda rapat dengan KPU untuk didahulukan,” ujarnya.
Direktur Eksekutif Sindikasi Pemilu dan Demokrasi August Mellaz mengatakan, pelaksanaan pilkada kini bukan merupakan variabel independen karena kini hal itu sangat bergantung kepada penanganan pandemi Covid-19. Oleh karena itu, perlu dibicarakan opsi-opsi yang mungkin diambil dalam pelaksanaan atau penundaan tahapan pilkada itu antara KPU dan pemerintah.
Selain itu, dia menilai perlu ada sesi pertemuan antara penyelenggara pemilu, yakni KPU, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), dengan pemerintah dan DPR untuk membahas pilkada dalam kaitannya dengan pandemi Covid-19.
”Dengan demikian dapat diketahui bagaimana perkembangan penanganan, dan kemungkinan opsi yang sebaiknya diambil, apakah diteruskan atau ditunda (pelaksanaan pilkada),” katanya.
UU Pilkada juga mengatur mengenai penundaan pilkada, yakni dengan ketentuan mengenai pemilihan susulan dan pemilihan lanjutan. Namun, terkait dengan wabah virus korona, menurut August, tidak ada batas waktu yang jelas kapan hal ini dapat diatasi.
Pilkada memerlukan kehadirian pemilih di dalam tempat pemungutan suara (TPS), dan hal semacam itu dalam kondisi saat ini sebaiknya dihindari guna mencegah penyebaran Covid-19. Oleh karena itu, pembicaraan dengan pemerintah dan DPR perlu segera dilakukan.
”Opsi-opsi apa pun yang membutuhkan peraturan setingkat UU, termasuk perppu, pasti memerlukan persetujuan dari DPR. Pertemuan dan konsultasi dengan DPR menjadi sesuatu yang harus dilakukan untuk memastikan penyelenggaraan pilkada,” kata August.