Antisipasi Covid-19 di Lapas, Pengunjung Hanya Bisa ”Video Call”
Pemerintah mengantisipasi penyebaran Covid-19 di antara warga binaan di lembaga pemasyarakatan (lapas). Penghuni lapas yang melebihi kapasitas membuat penyebaran Covid-19 dapat dengan cepat terjadi.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penyebaran Covid-19 dapat dengan cepat terjadi di lembaga pemasyarakatan atau lapas karena jumlah warga binaan yang melebihi kapasitas lapas. Oleh karena itu, sejumlah langkah diambil. Salah satunya, pengunjung dilarang bertemu langsung dengan warga binaan. Selain itu, pemerintah mencoba meringankan syarat bebas narapidana.
Berdasarkan data Sistem Database Pemasyarakatan yang diakses pada 23 Maret 2020, jumlah tahanan dan narapidana saat ini sebanyak 258.843 orang. Adapun kapasitas lapas di Indonesia hanya untuk 131.931 orang.
Dengan kondisi lapas yang melebihi kapasitas, Kepala Bagian Humas dan Protokol Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Rika Aprianti mengatakan, pembatasan sosial (social distancing) sejauh 1 meter tidak mungkin dapat dilakukan. Pembatasan sosial jadi salah satu solusi pemerintah untuk mencegah penyebaran Covid-19.
”Saat ini yang kami lakukan adalah dengan pembatasan pada kunjungan. Pengunjung tetap bisa berkomunikasi dengan warga binaan, tetapi melalui video call (panggilan video) di ruangan khusus yang telah disiapkan di seluruh lapas,” kata Rika saat dihubungi di Jakarta, Senin (23/3/2020). Dengan kata lain, pengunjung untuk sementara tak bisa bertemu langsung dengan warga binaan.
Selain itu, penyemprotan disinfektan juga telah dilakukan di lapas. Hal lainnya, petugas secara berkala melakukan pemeriksaan suhu tubuh warga binaan, pemberian vitamin, penambahan gizi, serta rutin berolahraga.
Sejumlah lapas juga telah menyiapkan tempat rujukan isolasi mandiri bagi warga binaan masuk dalam kategori orang dalam pemantauan, pasien dalam pengawasan, dan orang yang diduga terjangkit Covid-19.
Hingga kini, menurut Rika, belum ada laporan warga binaan yang terinfeksi Covid-19.
Langkah lain yang sedang dirumuskan adalah meringankan ketentuan bebas bersyarat narapidana. Salah satunya, pembimbing kemasyarakatan dapat menjadi penjamin narapidana. Sebab selama ini, menurut Rika, narapidana kesulitan mendapat penjamin untuk bisa bebas bersyarat.
Keinginan untuk meringankan ketentuan bebas bersyarat itu sebenarnya telah dibahas sebelum merebaknya Covid-19. Ini untuk mengatasi persoalan lapas yang melebihi kapasitas. ”Namun, kini dengan merebaknya Covid-19, pembahasan program ini akan dipercepat,” ujarnya.
Dihubungi secara terpisah, Ketua Komisi III DPR dari Fraksi PDI-P Herman Hery berharap, setiap pegawai lapas harus lebih aktif lagi memperhatikan kondisi kesehatan warga binaan.
Ia juga meminta agar seluruh lapas menyiapkan blok khusus untuk digunakan sebagai ruang isolasi bagi warga binaan yang menunjukkan gejala Covid-19.
Terkait ketentuan bebas bersyarat warga binaan, Herman mengingatkan agar hal itu hendaknya tidak melanggar aturan di undang-undang.
”Jika nanti sudah masuk ke fase yang darurat, dengan alasan kemanusiaan, saya rasa hal tersebut bisa dipertimbangkan, misalnya warga binaan perempuan yang sedang hamil,” ujar Herman.
Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati mengatakan, kebijakan melepaskan sebagian tahanan untuk mengurangi kelebihan kapasitas lapas dapat dilakukan kepada tersangka tindak pidana ringan, termasuk pengguna narkotika.
Di tengah ancaman Covid-19, dia pun mendorong warga binaan yang masuk kriteria untuk mendapatkan pembebasan bersyarat, cuti menjelang bebas dan remisi, diberikan haknya tersebut tanpa harus didahului permohonan warga binaan yang bersangkutan serta birokrasi administrasi yang berlaku dalam kondisi normal. Hal ini perlu dilakukan untuk menjamin keselamatan dan hak hidup warga binaan, juga penjaga tahanan.