Pemerintah Daerah Perlu Mengawasi Lebih Ketat Arus Mudik
Akibat pandemi Covid-19, para pekerja harian mulai meninggalkan Jakarta dan kembali ke kampung halaman. Namun, hal ini justru bisa menaikkan risiko penyebaran virus korona baru. Wapres pun minta pemda mengantisipasi.
JAKARTA, KOMPAS — Para pekerja harian mulai meninggalkan Jakarta dan kembali ke kampung halaman setelah pandemi Covid-19 menghilangkan pendapatan harian mereka. Namun, hal ini justru bisa menaikkan risiko penyebaran virus korona baru ke desa-desa. Pemerintah daerah pun diharapkan lebih sigap dan ketat mengawasi masyarakat yang bermigrasi kembali ke kampung halaman.
”Pemerintah tetap mengimbau supaya tidak mudik sebab lebih maslahat,” kata Wakil Presiden Amin menjawab pertanyaan Kompas dalam keterangan pers daring dari kediaman resmi Wapres, Jalan Diponegoro, Jakarta, Kamis (26/3/2020). Imbauan ini diulang Wapres Amin beberapa kali.
Baca juga : Atasi Dampak Ekonomi Covid-19, Pemda Diminta Siapkan Bantuan Sosial
Arus mudik dari warga berpenghasilan harian ini dikhawatirkan membawa wabah ke kampung halaman masing-masing. Namun, warga berpendapatan harian terutama dari sektor informal ini kesulitan bertahan hidup. Sebab, pandemi Covid-19 membuat banyak kegiatan ekonomi dihentikan atau melambat. Karena itu, beberapa pekerja mulai meninggalkan Jakarta dan kota-kota besar.
Pemerintah tetap mengimbau supaya tidak mudik sebab lebih maslahat.
Untuk warga yang sudah telanjur mudik, menurut Wapres Amin, pemerintah daerah memiliki pekerjaan tambahan untuk mengawasi kesehatan mereka secara ketat. Pengawasan perlu dilakukan di perbatasan-perbatasan. Keberadaan warga yang mudik ke kampung-kampung juga perlu ditelusuri. Dengan demikian, bisa dideteksi secara dini apakah yang mudik bebas Covid-19 atau positif Covid-19.
”Yang mudik ini perlu (mendapat) rapid test (tes cepat). Pemda tolong mengawasi dan tegas,” ujar Wapres Amin.
Untuk masa Ramadhan dan Lebaran, Wapres Amin juga meminta warga tidak mudik secara fisik untuk mencegah penyebaran Covid-19 semakin luas. ”Dari mudik, yang paling penting silaturahmi. Tapi, ada bahaya dan risiko penularan, sedangkan silaturahmi bisa dilakukan secara online. Kalau ada maslahat, bisa (silaturahmi), tetapi kalau ada bahaya, prinsip yang dipakai adalah mendahulukan menolak bahaya,” tutur Wapres.
Rapat terbatas persiapan dan kebijakan antisipasi mudik menjelang Idul Fitri menurut rencana diselenggarakan Kamis ini. Namun, rapat diundur karena Presiden Joko Widodo sedang berduka setelah ibundanya, Sudjiatmi Notomihardjo, berpulang, Rabu (25/3/2020) sore.
Kendati pasien positif Covid-19 terus melonjak hampir mencapai 1.000 orang dan jumlah yang meninggal hampir 8-9 persen, pemerintah hanya menerapkan pembatasan sosial (social distancing). Pembatasan ketat dari setiap kabupaten/kota dinilai lebih efektif sepanjang ada kedisiplinan. Adapun pemerintah tetap menyiapkan sarana perawatan pasien Covid-19 baik Wisma Atlet, rumah-rumah sakit BUMN, RS pemerintah, maupun RS TNI/Polri. Tempat perawatan pasien-pasien Covid-19 di daerah-daerah juga disiapkan menggunakan fasilitas asrama haji dan lainnya.
”Di daerah-daerah juga tidak ada lockdown, tapi mungkin ada yang menerapkan disiplin yang lebih ketat karena ancamannya lebih tinggi seperti di Jakarta,” tutur Wapres Amin.
Kendati demikian, pembatasan ini tetap disampaikan sebagai imbauan. Untuk para pekerja yang tidak bisa melakukan tugasnya dari rumah, perusahaan diminta menerapkan protokol kesehatan yang sudah ada. Pendekatan kesehatan, edukasi, ataupun keamanan untuk membubarkan kerumunan, dan pendekatan agama dilakukan. Harapannya menjaga jarak fisik ini akan mampu mencegah penyebaran virus SARS-Cov-2.
”Karena itu, perlu melibatkan semua pihak baik tokoh agama maupun tokoh masyarakat. Kita juga sudah meminta pemda untuk melakukan langkah-langkah yang lebih intensif,” kata Wapres.
Usulan status kedaruratan kesehatan
Secara terpisah, peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Fajri Nursyamsi, menilai semestinya ada ketegasan status penanganan wabah Covid-19 di Indonesia saat ini. Ketidakjelasan status membuat koordinasi pusat-daerah menjadi tidak jelas, kerja birokrasi tumpang tindih, dan justifikasi anggaran lemah.
Baca juga : Sejumlah Acara Besar di DIY Ditunda, Pemda Segera Ambil Langkah Strategis
Birokrasi yang seharusnya tinggal bekerja mengikuti undang-undang malah digantikan institusi baru. BNPB yang bekerja berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana kini tumpang tindih dengan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19. Masalah anggaran juga semestinya bisa fleksibel sepanjang ada dasar hukum yang jelas.
Namun, status wabah Covid-19 di Indonesia saat ini hanya berdasarkan Surat Keputusan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 9A Tahun 2020 tentang Penetapan Status Keadaan Tertentu Bencana Wabah Penyakit Virus Corona di Indonesia. SK Kepala BNPB ini menimbulkan kerancuan karena istilah ”Keadaan Tertentu Bencana” yang digunakan tidak dikenal di UU No 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana ataupun UU No 6/2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.
Presiden Joko Widodo, menurut Fajri, bisa menentukan status hari ini, menggunakan status kedaruratan kesehatan masyarakat berdasar UU Kekarantinaan Kesehatan atau status bencana nasional sesuai UU penanggulangan bencana. ”Apa pun pilihannya harus ditetapkan dulu oleh Presiden melalui keputusan presiden karena status hukumnya harus jelas dulu, baru pasal-pasal berikutnya bisa aktif. Sekarang kondisinya Presiden belum menetapkan apa-apa, tidak ada keppres tentang bencana nasional, hanya ada SK Kepala BNPB,” tutur Fajri.
Ketika penyebaran Covid-19 semakin meluas karena arus migrasi warga kembali ke kampung halamannya, Fajri mengkhawatirkan masalahnya akan semakin kompleks.
Apa pun pilihannya harus ditetapkan dulu oleh Presiden melalui keputusan presiden karena status hukumnya harus jelas dulu, baru pasal-pasal berikutnya bisa aktif. Sekarang kondisinya Presiden belum menetapkan apa-apa, tidak ada keppres tentang bencana nasional, hanya ada SK Kepala BNPB.
Sebelumnya, Presiden Jokowi menyatakan, pemerintah tidak akan memutuskan lockdown karena Indonesia memiliki karakteristik, latar belakang budaya, dan kedisiplinan yang berbeda dengan negara-negara lainya sehingga hanya menerapkan social distancing atau pembatasan sosial. Dengan tetap meningkatkan imunitas dan menjaga kesehatan diri, warga negara tetap dapat melakukan tugasnya dengan sejumlah pembatasan diri seperti jika tidak penting tetap berada di rumah dan jangan keluar rumah serta bekerja dari rumah. Kalaupun keluar rumah, kondisinya harus tetap sehat, menggunakan masker, sering mencuci tangan agar bersih, hindari kerumunan dan selalu menjaga jarak dengan warga lainnya.
Baca juga : Pemda Bogor dan Depok Persiapkan Tes Cepat Covid-19 di Puskesmas dan Rumah Warga yang Rentan Tertular
Saat memberikan keterangan pers Senin (16/3/2020) di Istana Bogor, Jawa Barat, Presiden Jokowi menekankan bahwa kepala daerah tidak bisa menerapkan konsep lockdown dalam penanganan virus korona (Covid-19). ”Perlu saya tegaskan yang pertama bahwa kebijakan lockdown baik di tingkat nasional maupun di tingkat daerah adalah kebijakan pemerintah pusat. Kebijakan ini tidak boleh diambil oleh pemerintah daerah,” kata Presiden Jokowi.
Menurut Presiden Jokowi, semua kebijakan besar di tingkat daerah terkait dengan Covid-19 harus dibahas terlebih dahulu dengan pemerintah pusat untuk mempermudah komunikasi. ”Saya minta kepala daerah untuk berkonsultasi membahasnya dengan kementerian terkait dan satgas Covid-19,” kata Presiden Jokowi.