Sanksi denda atau kerja sosial bisa jadi opsi selain sanksi pidana untuk memaksa masyarakat melakukan pembatasan sosial guna mencegah penyebaran Covid-19.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sanksi denda atau kerja sosial bisa jadi opsi selain sanksi pidana untuk memaksa masyarakat melakukan pembatasan sosial guna mencegah penyebaran Covid-19. Namun, kalaupun langkah pemidanaan yang ditempuh, penerapannya harus hati-hati.
Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Choirul Anam, mengatakan, pemberian sanksi dapat diberlakukan dalam kondisi darurat seperti saat ini. Tujuan utama sanksi untuk membantu penanganan Covid-19.
”Namun, sanksi yang diberlakukan ada baiknya bukan pidana karena penjara telah penuh sesak,” kata Choirul melalui pesan singkat di Jakarta, Rabu (25/3/2020).
Berdasarkan Sistem Database Pemasyarakatan, jumlah penghuni lembaga pemasyarakatan/rumah tahanan saat ini mencapai 240.887 orang. Padahal, kapasitas lapas/rutan hanya 131.931 orang.
Oleh karena itu, Choirul menyarankan agar warga yang masih membandel diberikan sanksi denda atau kerja sosial. Salah satu contoh sanksi kerja sosial yang dapat diterapkan ialah menjadi petugas penyemprot disinfektan.
Meskipun demikian, dasar pemberian sanksi harus dibuat terlebih dahulu dan mekanisme kerjanya dilakukan secara terbuka. Di sisi lain, prinsip-prinsip hak asasi manusia tetap perlu menjadi rujukan.
Sebelumnya, Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal M Iqbal menyatakan, masyarakat yang membandel dan tidak mengindahkan imbauan pemerintah untuk melakukan pembatasan sosial akan diproses hukum dan bisa dipidana (Kompas, 24/3/2020).
Pidana penjara paling lama 1 tahun 4 bulan. Penyidik Polri akan menerapkan Pasal 212, Pasal 214, Pasal 216, dan Pasal 218 yang ada di Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, mengatakan, Pasal 218 KUHP dapat dijadikan dasar bagi kepolisian untuk membubarkan kerumunan.
Pasal 218 KUHP berbunyi, ”Barang siapa pada waktu rakyat datang berkerumun dengan sengaja tidak segera pergi setelah diperintah tiga kali oleh atau atas nama penguasa yang berwenang diancam karena ikut serta perkelompokan dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak sembilan ribu rupiah”.
Namun, dia mengingatkan agar penerapannya hati-hati. Jangan sampai tindakan represif kepolisian membuat situasi semakin tidak kondusif. Karena itu, langkah persuasif harus diutamakan, bahkan kalau perlu, ujarnya, proses formal penegakan hukumnya dihindari.
Dalam konteks demokrasi, Abdul melanjutkan, berkumpul merupakan salah satu hak asasi manusia. Namun, karena ancaman Covid-19, hak untuk berkumpul dan berserikat bisa dinegasikan atau dikesampingkan. Pasalnya, jika memaksakan berkumpul, hak asasi manusia kelompok masyarakat yang lebih luas atas kesehatan dan keselamatan menjadi terancam.
Selain KUHP, menurut Abdul, langkah penegakan hukum dapat mengacu pada UU No 6/2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Sebab, pembatasan merupakan bagian dari unsur pengertian karantina. Pada Pasal 93 disebutkan, pelanggaran terhadap penyelenggaraan karantina diancam hukuman 1 tahun penjara atau denda maksimal Rp 100 juta.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigjen (Pol) Raden Prabowo Argo Yuwono mengatakan, keputusan pemberlakuan hukuman pidana bagi warga yang tidak melakukan pembatasan sosial masih menunggu sikap Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Adapun Kepala Pusat Data Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB Agus Wibowo mengatakan, keputusan soal langkah pemidanaan masih perlu diputuskan dalam rapat koordinasi.