DPR di Pusaran Polemik Tes Korona
Rencana tes cepat korona terhadap anggota DPR dan keluarganya menulai protes dan penolakan publik di ruang daring. Seperti apa sebenarnya duduk soal rencana tes cepat itu?
”Kami memiliki satu pesan sederhana kepada semua negara: (lakukan) tes, tes, tes. Semua negara harus memeriksa semua orang (kasus) yang diduga terpapar korona karena tidak bisa melawan pandemi ini dengan mata tertutup.” (Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom-Ghebreyesus, 16 Maret 2020).
Pernyataan Dirjen WHO itu mengingatkan pentingnya tes virus korona dilakukan kepada sebanyak mungkin orang di semua negara yang terpapar Covid-19. Di Tanah Air, pelaksanaan tes korona belum merata, antara lain karena faktor biaya dan keterbatasan akses. Dalam kondisi itu, rencana tes terbatas kepada kelompok tertentu rentan memantik kritisi.
Dalam tiga hari terakhir, misalnya, media sosial di Tanah Air riuh dengan kritik terhadap rencana DPR melakukan tes cepat korona terhadap anggota DPR dan keluarganya. Rencana tersebut dianggap sebagai simbol ketidakpekaan DPR dengan banyaknya tenaga medis yang berjibaku dan kesulitan mendapatkan alat perlindungan diri, serta rakyat kebanyakan yang tidak bisa mengakses tes korona.
Baca juga: Tidak Ada Gejala, Bupati Karawang Dinyatakan Positif Covid-19
Penolakan muncul dari berbagai elemen masyarakat, baik berupa komentar di medsos maupun aksi menggalang dukungan dengan membuat petisi. Petisi di laman Change.org yang berjudul ”Dahulukan Test Covid Rakyat, Bukan Dewan” yang digalang Tuna Malaikat, misalnya, mempertanyakan urgensi tes terhadap anggota DPR dan keluarganya. Petisi itu ditujukan kepada Presiden Joko Widodo, Ketua MPR, serta ketua dan pimpinan DPR.
Petisi yang digalang Michelle Dian Lestari meminta agar tes cepat Covid-19 diutamakan untuk orang yang lebih membutuhkan, seperti orang dalam pemantauan (ODP), pasien dalam pengawasan (PDP), dan tenaga kesehatan, bukan anggota DPR dan keluarganya. Hingga Rabu (25/3/2020) pagi, sudah 29.000 pengguna internet mendukung petisi ini. Petisi dari Nyoman Pastini dan Dona Dewita juga mendorong hal senada.
”Selamatkan nakes (tenaga kesehatan) dan masyarakat yang ODP terlebih dahulu, para anggota dewan ditunggu donasinya untuk pembelian APD (alat perlindungan diri) nakes-nakes yang berjuang di garda depan, mempertaruhkan jiwa raga mereka,” kata inisiator petisi lainnya, Liyana Ulfah.
Di Twitter, ada pula pertanyaan kepada Presiden Joko widodo, mengapa anggota DPR didahulukan. ”Orang-orang ini risiko rendah. Mereka enggak pernah berdesakan di kereta. Meskipun bagian tugasnya, mereka juga enggak banyak bersentuhan dengan rakyat banyak. Kalah sama ojek online. Ini 2.000 test kits yang salah prioritas,” cuit akun @nathanaelmu, yang melampirkan berita dari suatu portal berita daring.
Informasi tidak lengkap
Sekretaris Jenderal DPR Indra Iskandar membenarkan adanya rencana tes cepat kepada anggota DPR dan keluarganya. Namun, ia menilai ada informasi yang tidak lengkap mengenai rencana tes tersebut sebab publik menangkap maksudnya dengan tidak tepat.
Tes kepada anggota DPR dan keluarganya, katanya, tidak dimaksudkan untuk mengistimewakan mereka. Tes dianggap penting karena mereka baru saja menjalani reses dari daerah pemilihan (dapil) masing-masing. Tes menurut rencana dilakukan sebelum dimulainya masa sidang, yang diagendakan 30 Maret 2020.
”Mereka ini kan mengadakan kegiatan reses dengan 18 kegiatan tatap muka. Ada yang satu kegiatan itu bertemu dengan 100 orang, bahkan ada pengumpulan massa sampai 350 orang. Akibatnya, mereka berisiko, baik sebagai carrier maupun suspect. Karena kita tidak tahu siapa yang positif atau terpapar ketika mereka reses. Untuk memastikan saat masa sidang dimulai sudah clear, harus ada satu upaya,” katanya di Jakarta, Selasa (24/3/2020).
Pengadaan tes itu diklaim telah disepakati fraksi-fraksi dalam rapat konsultasi pengganti Badan Musayawarah, Jumat pekan lalu. Namun, menurut Indra, kalau ada fraksi yang tidak mau mengikuti tes tersebut juga dipersilakan.
”DPR sebenarnya terlambat karena kementerian dan lembaga negara lain sudah melaksanakannya, dan itu dengan anggaran negara. Tetapi, ini iuran anggota DPR, dan ada niatan menyumbangkan alat rapid test ini ke rumah sakit, dan masyarakat,” katanya.
Pengadaan alat untuk rapid test juga diakui bukan berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Anggota Komisi III DPR, Arsul Sani, yang ditunjuk sebagai juru bicara terkait tes korona ini mengatakan, dana pembelian alat tes cepat yang diadakan DPR berasal dari iuran anggota DPR, dan sebagian di antaranya sumbangan pribadi pimpinan DPR.
”Ada teman-teman yang memiliki dana lalu berinisiatif membantu. Ya bagi teman-teman tertentu yang memiliki finansial berkecukupan itu mungkin dilakukan. Karena memang tidak semua anggota DPR bisa seperti itu,” kata Arsul.
Problem komunikasi
Arsul Sani juga mengatakan ada misinformasi mengenai rencana tes tersebut. Awal mulanya karena ada pernyataan yang tidak disampaikan dengan tepat sehingga memicu polemik di tengah-tengah masyarakat.
”Saat DPR memulai reses, 27 Februari, itu kan belum ada instruksi tegas dari pemerintah harus social distancing, work from home, dan sebagainya. Saat itu, DPR reses ke dapil dengan mengadakan 18 kegiatan tatap muka sesuai dengan SOP. Ketika wabah meluas baru disadari adanya kerentanan mereka tertular, menjadi carrier atau suspect karena bertemu banyak orang. Mulailah ada pembicaraan untuk mengadakan rapid test,” katanya.
Dalam pembicaraan itu disepakati agar dilakukan pengadaan alat tes cepat dari China. Namun, pembelian dari China itu minimal 30.000-40.000 unit. ”Tidak semua alat itu dipakai DPR. Hanya 10 persen, atau sekitar 4.000 alat yang dipakai DPR, keluarganya, serta pegawai, pengamanan, pedagang makanan di kantin, serta kalangan lain di lingkungan DPR,” kata Arsul.
Intinya, sekitar 4.000 unit dipakai DPR, dan sisanya disumbangkan kepada RS dan masyarakat. Informasi ini, menurut Arsul, yang tidak tersampaikan dengan baik. ”Sudah ada daftar yang meminta bantuan, dan sudah akan dialokasikan untuk mereka,” katanya.
Ada yang di dalam rapat ngotot agar tes diadakan, tetapi berbalik ketika ada tekanan. Janganlah seperti itu.
Arsul menyayangkan adanya individu atau kelompok yang berusaha mengambil keuntungan politik dari rencana tes tersebut. ”Janganlah mengambil political advantage dari hal-hal semacam ini. Ada yang di dalam rapat ngotot agar tes diadakan, tetapi berbalik ketika ada tekanan. Janganlah seperti itu,” kata Arsul.
Sejumlah partai di DPR menolak pengadaan tes ini, antara lain Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Partai Demokrat. Selain itu, ada pula penolakan secara pribadi dan parsial dari anggota Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) dan Fraksi Partai Nasdem.
Sebagai respons atas kritik publik, Arsul mengatakan, tes diutamakan bagi anggota DPR dan keluarganya yang merasakan gejala atau gangguan kesehatan. Kedua, pelaksanaan tes dilakukan berbarengan dengan tes massal yang dilakukan pemerintah sehingga tidak timbul kesan DPR diistimewakan. Alat tes juga tetap disumbangkan kepada masyarakat.
Cukup beralasan
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, mengatakan, rencana tes korona bagi anggota DPR logis saja dilakukan karena mereka berinteraksi dengan orang banyak saat reses. Hanya saja, cara DPR mengomunikasikan hal itu kurang tepat sehingga memantik kegaduhan di tengah wabah. Menurut dia, keriuhan itu muncul sebagai indikator lemahnya komunikasi politik pimpinan DPR.
”Di dalam masa darurat seperti sekarang, penting sekali informasi itu disampaikan pimpinan DPR supaya tidak terjadi disinformasi, yang akhirnya bergulir dan dikemas dengan macam-macam kepentingan. Penting sekali tugas pimpinan DPR sebagai juru bicara lembaga itu dihidupkan agar tidak terjadi misinformasi,” katanya.
Dalam kondisi darurat, keterbukaan dan kejelasan informasi menjadi kunci….