Jaga Badan Legislatif Tetap Berfungsi
Badan legislatif tetap harus berfungsi di tengah wabah Covid-19. Pemanfaatan teknologi informasi yang sudah menjadi solusi perlu dilanjutkan, apalagi wabah sepertinya belum akan berakhir dalam waktu dekat.
Akhir pekan lalu, Dewan Perwakilan Rakyat memutuskan memperpanjang masa reses hingga 29 Maret 2020. Itu tak lain karena penyebaran Covid-19 di Tanah Air yang kian masif. Namun, bukan berarti karena reses DPR tak bisa menjalankan fungsi lainnya. Sebagian dari wakil rakyat masih rapat dengan mitra kerjanya di pemerintah memanfaatkan teknologi informasi.
Masa reses adalah masa ketika anggota DPR tidak bersidang atau menggelar rapat-rapat di Gedung DPR. Masa reses sepenuhnya digunakan anggota DPR untuk bertemu masyarakat, terutama masyarakat di daerah yang mereka wakili, guna menyerap aspirasi masyarakat.
Meski demikian, selama masa reses, sejumlah komisi di DPR tetap bisa menggelar rapat dengan mitra kerjanya. Selasa (24/3/2020), misalnya, Komisi IX DPR rapat dengan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto dan jajarannya serta Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Doni Monardo.
Rapat kali ini digelar virtual dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi.
Namun, rapat tidak seperti dalam kondisi normal. Rapat kali ini digelar virtual dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi. Rapat virtual itu memanfaatkan aplikasi Zoom, salah satu aplikasi untuk telekonferensi.
Dalam rapat virtual itu, semua anggota dapat berada di tempat masing-masing, kecuali pemimpin rapat, yaitu Wakil Ketua Komisi IX dari Fraksi Partai Golkar Melki Laka Lena. Dia tetap harus berada di ruang sidang di Gedung DPR karena harus menandatangani keputusan rapat tersebut.
Rapat yang dihadiri 36 dari 51 anggota Komisi IX DPR itu pun berhasil mengeluarkan sejumlah rekomendasi dan masukan dari Komisi IX yang membidangi kesehatan dan ketenagakerjaan untuk penanganan Covid-19.
Sebelumnya, rapat konsultasi pengganti Badan Musyawarah (Bamus) yang dihadiri pimpinan DPR serta pimpinan fraksi dan komisi, Jumat (20/3/2020), juga menggunakan sarana yang sama. Rapat itu memutuskan memperpanjang masa reses DPR.
Hal yang sama saat pimpinan Badan Anggaran (Banggar) DPR rapat dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo, Senin (23/3/2020). Dari rapat virtual itu, Banggar DPR merekomendasikan agar pemerintah segera mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) APBN untuk mendukung realokasi anggaran bagi penanganan wabah Covid-19.
”Rapat kemarin seru karena anggota DPR tetap bisa bekerja dengan kondisi menjaga jarak seperti sekarang. Kami juga lebih bebas karena berada di tempat masing-masing. Kekurangannya adalah kami tidak bisa bersilaturahmi secara langsung,” kata anggota Komisi IX dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), M Nabil Haroen, di Jakarta, Rabu (25/3/2020).
Pemanfaatan teknologi informasi itu memungkinkan anggota badan legislatif tetap bisa menjalankan fungsinya.
Hanya saja, agar rapat virtual lancar, dia mengingatkan pentingnya jaringan internet. ”Rapat kemarin, saya sampai menghidupkan laptop dan ponsel dua-duanya untuk berjaga-jaga kalau ada gangguan internet,” kata Nabil.
Menurut anggota Komisi IX dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN), Saleh Partaonan Daulay, memang ada kekurangan dari rapat virtual itu, seperti sambungan internet yang kerap tersendat dan keterbatasan waktu peserta rapat untuk berbicara karena semua peserta rapat ingin bicara.
Meski demikian, pemanfaatan teknologi informasi itu memungkinkan anggota badan legislatif tetap bisa menjalankan fungsinya, mengawasi atau membantu kerja pemerintah, di tengah keharusan semua orang, termasuk anggota DPR, berdiam di rumah guna mencegah penyebaran Covid-19.
Nasib legislasi
Apakah rapat virtual itu bisa juga dijadikan opsi untuk memastikan fungsi legislasi anggota DPR tetap berjalan?
Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Achmad Baidowi mengatakan, opsi itu belum dibahas. Namun, menurut dia, opsi itu akan sulit direalisasikan. Pasalnya, rapat membahas rancangan undang-undang bukan rapat biasa yang bisa digelar secara virtual. ”Ada tahapan yang harus dilalui secara ketat dalam pembahasan suatu legislasi,” katanya.
Selain itu, belum ada dasar hukum yang membolehkan rapat virtual untuk membahas rancangan undang-undang. Mekanisme yang diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan belum mengatur hal tersebut.
Selain itu, pembahasan UU tidak cukup dengan pemerintah, tetapi juga harus menggelar rapat dengan para pemangku kepentingan serta menyerap berbagai aspirasi publik.
Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Andalas, Charles Simabura, membenarkan, mekanisme pembentukan UU di Indonesia belum mengenal e-legislasi. Belajar dari persidangan di Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung yang telah menerapkan e-court, serta rapat virtual yang sudah digelar DPR, e-legislasi sebenarnya bisa dilakukan asal ada dasar hukumnya.
”Cuma regulasi itu saat ini belum ada. Untuk memungkinkan pembahasan UU secara virtual atau e-legislasi dalam kondisi darurat, ada dua UU yang perlu diubah, yakni UU No 12/2011 dan UU MD3 (MPR, DPR, DPD, dan DPRD). Sebab, di dalam dua UU itu secara jelas diatur mekanisme pembahasan UU, bahkan mensyaratkan kehadiran anggota DPR. Selama ini, tafsir kehadiran anggota adalah hadir secara fisik di ruang sidang,” tutur Charles.
Jika tidak ada landasan hukumnya, pembahasan UU melalui e-legislasi bisa dianggap tidak memenuhi syarat formal.
Dengan kondisi wabah Covid-19 yang diperkirakan belum akan berakhir dalam waktu dekat, sudah sepatutnya DPR membuka opsi e-legislasi dan membuat dasar hukum yang dibutuhkan bersama pemerintah. Apalagi, tidak sedikit RUU penting yang ditargetkan untuk dituntaskan tahun ini.
”Jika tidak ada landasan hukumnya, pembahasan UU melalui e-legislasi bisa dianggap tidak memenuhi syarat formal. Dasar hukum harus ada di kedua belah pihak, baik aturan di DPR maupun pemerintah, karena masing-masing memiliki tatib sendiri dalam menyusun suatu UU,” kata Charles.
Praktik negara lain
Parlemen di sejumlah negara yang juga dihadapkan pada ancaman Covid-19 pun beradaptasi agar fungsi parlemen tetap berjalan. Parlemen Swedia, misalnya, mengubah ketentuan dalam pengambilan putusan.
Putusan biasanya diambil melalui voting 349 anggota Riksdag (parlemen Swedia). Namun, karena menghindari kumpulan orang dalam jumlah besar, pada 18 Maret 2020, pimpinan kelompok partai (fraksi) di Swedia menyepakati perubahan prosedur sehingga cukup 55 anggota perwakilan partai yang mengikuti voting.
Tak hanya itu, parlemen Swedia via laman resminya mengumumkan penutupan parlemen dan perpustakaan.
Sementara itu, Belanda juga menutup sementara gedungnya dari jangkauan publik. Laman resmi Tweede Kamer (DPR Belanda) menyebutkan, Ketua DPR Belanda Khadija Arib, 15 Maret 2020, mengumumkan langkah baru di parlemen untuk mencegah penyebaran Covid-19.
Proses kerja di parlemen terus dilanjutkan, tetapi kehadiran fisik dikurangi. Parlemen Belanda juga memiliki aplikasi khusus agar anggota parlemen dan publik dapat mengikuti rapat virtual yang dapat diakses melalui laman resmi mereka, Debatdirect.tweedekamer.nl.
Yang pasti, di tengah wabah Covid-19, parlemen tetap harus berfungsi mengawal dan membantu negara, juga menyuarakan aspirasi rakyat. Pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi bisa jadi solusi dibandingkan kehadiran fisik yang berpotensi semakin memperparah penyebaran Covid-19.