Gaya Komunikasi Virtual Pemerintah pada Era Covid-19
Di tengah wabah Covid-19, lembaga negara menggelar jumpa pers dan rapat secara daring. Diperlukan kesediaan penyelenggara negara untuk mempertahankan gaya komunikasi dua arah.
Oleh
INGKI RINALDI DAN ANITA YOSSIHARA
·4 menit baca
Sekitar dua pekan terakhir sejak kasus positif Covid-19 di Indonesia terus melonjak, lembaga pemerintahan membatasi pertemuan fisik, terutama setelah ada seruan untuk bekerja dari rumah.
Di Istana, Presiden Joko Widodo dan anggota Kabinet Indonesia Maju memilih memanfaatkan teknologi untuk berkoordinasi. Rapat digelar melalui telekonferensi. Wartawan Istana Kepresidenan, yang setiap ratas terbuka meliput di ruang rapat Kantor Presiden, sejak Senin (16/3/2020) cukup melihat dan mendengarkan sambutan pengantar ratas yang disampaikan Presiden melalui video streaming. Video itu disiarkan langsung melalui akun Youtube Sekretariat Negara.
Selain itu, wawancara langsung dengan wartawan dibatasi. Hanya beberapa wartawan yang diperbolehkan bertatap muka dengan Presiden. Jarak satu sama lain diatur sedemikian rupa. Wartawan lain menyimak lewat video streaming atau video yang dikirimkan Biro Pers, Media, dan Informasi Sekretariat Kepresidenan.
Sekretaris Kabinet Pramono Anung Wibowo mengatakan, rapat telekonferensi yang terbuka bagi publik melalui video streaming Youtube sangat efektif. Presiden bisa mengambil keputusan dan kehadiran menteri dalam rapat selalu mendekati 100 persen. Karena itu, ada pemikiran rapat telekonferensi akan dilanjutkan setelah wabah Covid-19 berlalu. Sebab, tak hanya menghemat waktu, teknologi juga bisa menghemat anggaran.
”Ini menghemat banyak hal. Pertama, mobilisasi pejabat juga berkurang. Biasanya pejabat kalau mau ratas harus spare waktu 1 jam, kemudian ada pendamping, ajudan, dan sopir. Maka, sidang kabinet secara video conference ini relatif mereka bisa melakukan di kantor masing-masing,” kata Pramono.
Pemanfaatan internet untuk menyampaikan informasi lembaga juga dilakukan Badan Pengawas Pemilu. Ini, misalnya, dilakukan pada Selasa (17/3) saat Bawaslu mengumumkan rekomendasi agar dilakukan pemetaan terhadap kesiapan 270 daerah di Indonesia yang menggelar Pilkada 2020 di tengah wabah Covid-19.
Ketua Badan Pengawas Pemilu Abhan bersama anggota Bawaslu menggelar konferensi pers secara daring lewat kanal Youtube Bawaslu. Sebelum siaran pers lewat jejaring virtual dilakukan, terdapat tautan daring yang dibagikan di grup Whatsapp yang dikelola Humas Bawaslu. Dalam jumpa pers daring itu, lima unsur pimpinan Bawaslu memberikan keterangan cukup lengkap.
Kendala pendalaman
Akan tetapi, kekurangan terbesar muncul di sesi wawancara. Pertanyaan-pertanyaan yang sebelumnya diajukan lewat grup Whatsapp Bawaslu, dan dibacakan ulang, tak semuanya direspons. Jawaban yang muncul juga tidak bisa dikejar lebih jauh secara langsung untuk mendapat kedalaman informasi.
Di parlemen, penyesuaian juga terjadi. Biro Pemberitaan Parlemen Sekretariat Jenderal DPR lebih mengoptimalkan penggunaan teknologi informasi dan layanan live streaming di saluran TV Parlemen untuk menyampaikan berita dan memfasilitasi keterangan pers.
”Semua bisa dilakukan melalui daring karena dari dulu kami memiliki perangkat untuk melakukan itu. Kami juga bekerja sama dengan media tertentu untuk menyiarkannya secara langsung, misalnya TVRI,” kata Kepala Biro Pemberitaan Parlemen Sekretariat Jenderal dan Badan Keahlian DPR Hanny Tahapary.
Siaran langsung konferensi pers itu juga bisa disaksikan di semua media sosial DPR, baik Youtube, Instagram, Twitter, maupun Facebook.
Sementara itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terakhir kali melayani wawancara tatap muka dengan wartawan pada Selasa. Saat itu, Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK Ali Fikri menjelaskan kebijakan bekerja dari rumah yang akan dijalankan pegawai KPK hingga 31 Maret 2020.
Sejak saat itu, informasi terkait dengan perkembangan penindakan dan pencegahan yang dilakukan KPK disampaikan di grup Whatsapp. Anggotanya terdiri dari juru bicara KPK serta wartawan dari sejumlah media. KPK belum mengambil kebijakan menyampaikan informasi melalui jumpa pers lewat telekonferensi. Ali mengatakan, cara tersebut perlu dibicarakan lebih lanjut bersama dengan tim Humas KPK.
Komunikasi dua arah
Dosen dan peneliti Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia, Endah Triastuti, saat dihubungi, Jumat malam, mengatakan, masih ada kecenderungan sebagian orang untuk tidak merasa serius jika tidak bertatap muka. Efeknya bisa bermacam-macam. Di antaranya termasuk kecenderungan komunikasi satu arah saat jumpa pers virtual dilakukan sekalipun relatif mudah untuk membuat aktivitas interaktif dengan komunikasi dua arah.
Sementara itu, pengamat komunikasi politik Universitas Pelita Harapan, Emrus Sihombing, menuturkan, penggunaan teknologi dalam konferensi pers masih terlihat belum efektif karena baru tahap awal.
Kelemahan yang paling utama adalah wartawan tak dapat melihat secara langsung gestur narasumber, seperti pandangan mata, gerakan tubuh, atau tekanan suara. Menurut dia, orang yang berbohong bisa dilihat dari simbol nonverbal itu. Ketika merasa ada informasi yang tidak benar atau kurang mendalam, wartawan dapat menanyakan lebih lanjut berdasarkan data yang sudah dikumpulkan.
Akan tetapi, kesempatan itu sulit diwujudkan dalam konferensi pers melalui video, apalagi lewat siaran pers atau pesan melalui Whatsapp. Karena itu, ia menegaskan, dalam penggunaan teknologi untuk konferensi pers, harus ada dialog antara narasumber dan wartawan agar tidak terjadi komunikasi satu arah. Komunikasi dua arah dibutuhkan karena pemerintah sering kali hanya menyampaikan informasi dari perspektifnya saja.
Wartawan, kata dia, dalam skala tertentu juga dapat dikatakan representasi rakyat. Ini karena publik akan mendapatkan informasi yang dibutuhkan lewat laporan media setelah informasi itu lebih dulu melewati mekanisme verifikasi.
Pertanyaannya, dengan perubahan pola interaksi komunikasi ini, akankah pejabat negara menjamin komunikasi publiknya benar-benar jadi dua arah?