Menjaga Kualitas Pilkada di Tengah Pandemi Virus Korona
Sebanyak 62 daerah yang menyelenggarakan Pemilihan Kepala Daerah 2020 telah mengonfirmasi kasus positif Covid-19. Penundaan keseluruhan tahapan pilkada perlu dipertimbangkan untuk menjamin kualitas pemilihan.
Sebanyak 62 daerah penyelenggara Pilkada 2020 telah mengonfirmasi kasus positif Covid-19. Penundaan keseluruhan tahap pemilihan perlu dipertimbangkan untuk menjamin kualitas dari pelaksanaan pemilihan kepala daerah.
Dukungan terhadap penundaan seluruh tahapan pemilihan kepala daerah diungkapkan oleh 91,8 persen responden dalam jajak pendapat Litbang Kompas pada 24-25 Maret 2020. Jajak pendapat dilakukan secara daring dengan melibatkan responden dari 27 provinsi.
Pandangan responden ini tidak terlepas dari semakin banyaknya daerah penyelenggara pilkada yang terjangkit Covid-19. Hingga Minggu (29/3/2020), sebanyak 62 dari 270 daerah penyelenggara Pilkada 2020 telah mengonfirmasi adanya kasus positif Covid-19. Data ini belum termasuk wilayah dengan pasien dalam pengawasan (PDP) dan orang dalam pemantauan (ODP).
Pada tingkat pemilihan gubernur, sebanyak delapan dari sembilan provinsi penyelenggara telah mengonfirmasi kasus positif Covid-19. Tinggal Bengkulu yang hingga kini belum ditemukan kasus positif.
Sementara dari 37 daerah yang akan menyelenggarakan pemilihan wali kota, 22 kota di antaranya telah terjangkit Covid-19. Beberapa kota, seperti Medan, Depok, Tangerang Selatan, Surakarta, Surabaya, Balikpapan, dan Makassar, telah mengumumkan adanya pasien positif Covid-19.
Kondisi serupa juga terjadi pada tingkat kabupaten. Sebanyak 32 wilayah dari total 224 daerah penyelenggara pemilihan bupati telah mengumumkan adanya pasien positif Covid-19. Kabupaten Bandung, Kutai Kartanegara, dan Merauke di antaranya.
Baca juga: Enam Fraksi di DPR Setuju Penundaan Pilkada 2020
Kualitas
Seiring semakin banyaknya daerah penyelenggara pilkada yang terdampak Covid-19, Komisi Pemilihan Umum telah menunda empat tahapan penyelenggaraan pilkada, yakni pelantikan Panitia Pemungutan Suara (PPS), verifikasi syarat dukungan calon perseorangan, pembentukan petugas pemutakhiran data pemilih, serta tahapan pemutakhiran dan penyusunan daftar pemilih.
Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI) Aditya Perdana mengatakan, penundaan tahapan pilkada hingga waktu pemungutan suara perlu dipertimbangkan seiring semakin bertambahnya daerah yang terjangkit Covid-19. Penundaan penting demi menjaga kualitas penyelenggaraan pilkada.
Menurut dia, jika pilkada dipaksakan untuk tetap digelar, dikhawatirkan akan mengganggu tahapan pilkada berikutnya. Pasalnya, penundaan tahapan yang telah diputuskan KPU dapat berpengaruh pada tahapan lainnya.
Penundaan pelantikan PPS, misalnya. Jika merujuk pada Pasal 18 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, PPS harus telah terbentuk enam bulan sebelum penyelenggaraan pilkada. Artinya, pelantikan PPS harus telah dilakukan sebelum 23 Maret lalu untuk memberikan rentang waktu kerja selama enam bulan sebelum pemilihan. Jadi, jika pelantikan PPS ditunda, hal itu bisa berimbas pada penundaan waktu pemungutan suara, 23 September 2020.
Baca juga: Antisipasi Penundaan Total
”Tahapan pemilihan kepala daerah dilakukan secara linier. Jika satu tahapan tertunda, tahapan lainnya akan terdampak. Jadi, sebaiknya waktu pemilihan ditunda agar kualitas pilkada menjadi lebih baik,” kata Aditya.
Harapan penundaan juga diungkapkan oleh responden dalam jajak pendapat.
Sebanyak 73,7 persen responden berharap agar waktu pemungutan suara ditunda di seluruh daerah yang menyelenggarakan Pilkada 2020. Adapun 15,6 persen responden lainnya menilai penundaan pilkada dapat dilakukan secara parsial pada daerah penyelenggara yang terjangkit Covid-19.
Meskipun berharap ditunda, publik antusias untuk tetap berpartisipasi aktif dalam penyelenggaraan pilkada. Sebanyak 88 persen responden menyatakan bersedia mengikuti pilkada meski waktu penyelenggaraan ditunda. Ini menjadi modal sosial bagi penyelenggaraan pilkada yang berkualitas, khususnya dari sisi partisipasi pemilih.
Dasar hukum
Mekanisme penundaan pilkada tidak tercantum dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Dalam aturan itu hanya terdapat opsi pilkada lanjutan atau susulan jika daerah penyelenggara mengalami bencana alam, kerusuhan, gangguan keamanan, dan gangguan lain.
Baca juga: Perang Gerilya Lawan Korona
Pada pemilihan gubernur, penetapan pilkada lanjutan atau susulan dapat dilakukan jika 40 persen jumlah kabupaten/kota atau 50 persen pemilih dari jumlah pemilih terdaftar tidak dapat menggunakan haknya untuk memilih. Penetapan dilakukan oleh menteri dalam negeri setelah menerima usulan dari KPU provinsi.
Sementara pada tingkat kabupaten/kota, penetapan pemilihan lanjutan atau susulan dapat dilakukan oleh gubernur berdasarkan usul dari KPU tingkat kabupaten/kota. Keputusan ini dapat diambil jika 40 persen jumlah kecamatan atau 50 persen pemilih dari jumlah pemilih terdaftar tidak dapat menggunakan haknya untuk memilih.
Namun, menilik dari sejarah penyelenggaraan pilkada, penundaan pilkada pernah dilakukan beberapa kali pada sejumlah wilayah. Tahun 2005, misalnya, pilkada gagal dilaksanakan pada 11 kabupaten dan 3 kota di Aceh. Saat itu, Aceh tengah fokus pada proses penanggulangan bencana gempa dan tsunami yang melanda pada Desember 2004.
Kondisi serupa dialami oleh Kabupaten Nias Selatan. Akibat gempa bermagnitudo 8,7 pada Maret 2005, tahapan pilkada tidak dapat dilakukan. Pemerintah kala itu segera menerbitkan aturan khusus yang mengatur penundaan pemilihan kepala daerah. Aturan pertama tertuang dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 3 Tahun 2005 yang merupakan perubahan terhadap UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.
Baca juga: Penundaan Pilkada Bisa Beri Kepastian Hukum
Dalam perppu yang diundangkan tanggal 27 April 2005 itu, disisipkan aturan dalam Pasal 236A yang mengatur bahwa pemilihan dapat ditunda jika pada daerah pemilihan terjadi bencana alam, kerusuhan, gangguan keamanan atau gangguan lainnya. Penundaan pilkada harus ditetapkan melalui peraturan pemerintah.
Pada saat yang bersamaan pemerintah juga menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2005 yang mengatur tentang penundaan pemilihan kepala daerah pada tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Dalam aturan tersebut, penundaan tahapan pemilihan wali kota atau bupati harus diajukan oleh gubernur kepada menteri dalam negeri.
Penundaan pilkada juga pernah dilakukan saat pemilihan Wali Kota Yogyakarta tahun 2006. Dengan menggunakan landasan hukum yang sama seperti tahun 2005, pilkada yang awalnya akan dilaksanakan pada 16 Juli 2006 akhirnya ditunda karena gempa yang terjadi 1,5 bulan menjelang waktu pemungutan suara.
Baca juga: Ketika Kesehatan dan Keselamatan Warga Menjadi yang Utama
Penundaan pilkada yang pernah dilakukan dengan menerbitkan perppu dan peraturan pemerintah bisa jadi acuan bagi KPU terhadap penyelenggaraan pilkada di tengah pandemi Covid-19 saat ini.
Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi dalam rilisnya juga menekankan pentingnya alternatif kebijakan agar pelaksanaan pilkada tidak membahayakan keselamatan warga negara.
Bagaimanapun, di samping kualitas, kesehatan penyelenggara dan pemilih juga perlu menjadi perhatian dalam penyelenggara pemilihan kepala daerah. Pengalaman dari banyaknya korban pada Pemilu 2019 tentu perlu menjadi pelajaran berharga bagi setiap pelaksanaan pesta demokrasi di Indonesia. (LITBANG KOMPAS)