Senin ini, Komnas HAM mengeluarkan rekomendasi kebijakan kepada Presiden agar penanggulangan Covid-19 dapat optimal dan efektif, tanpa mengurangi pelaksanaan HAM. Kebijakan yang diambil juga harus proporsional.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah perlu mempertimbangkan masalah hak asasi manusia dalam penanganan Covid-19. Kebijakan yang diambil oleh pemerintah dalam penanggulangan Covid-19 juga harus dilakukan secara proporsional.
Komisioner Komnas HAM, Choirul Anam, mengatakan, Komnas HAM telah mengeluarkan rekomendasi kebijakan kepada Presiden agar penanggulangan Covid-19 dapat optimal dan efektif tanpa mengurangi pelaksanaan HAM. Rekomendasi tersebut dibuat di Jakarta, Senin (30/3/2020).
Salah satu kebijakan tersebut terkait dengan karantina wilayah yang harus dilakukan secara proporsional. ”Dalam prinsip HAM dan pada masa darurat, kebijakan pembatasan dapat diambil, tetapi tidak boleh mengurangi hak nonderogable (HAM yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun),” kata Choirul.
Ia menjelaskan, pembatasan dapat dilakukan dengan mempertimbangkan ukuran proporsionalitas dalam pelaksanaan. Sebagai contoh, jika hanya daerah A saja yang dikarantina, jangan sampai daerah B juga dikarantina. Begitu juga ketika daerah A dan B dikarantina, maka jangan sampai hanya salah satu daerah yang dikarantina.
Dalam prinsip HAM dan pada masa darurat, kebijakan pembatasan dapat diambil, tetapi tidak boleh mengurangi hak nonderogable (HAM yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun).
Selain karantina wilayah, pemerintah juga perlu memperkuat legalitas. Menurut Choirul, Undang-Undang Karantina Kesehatan tidak mencukupi untuk penanganan Covid-19 karena dampak yang ditimbulkan sangat kompleks.
Dalam UU tersebut tidak mengatur bagaimana nasib buruh yang dirumahkan dan tidak mengatur perlindungan bagi tenaga kerja Indonesia (TKI) yang berada pada negara yang terkena Covid-19 juga. Selain itu, UU ini tidak mengatur karantina kesehatan di lembaga pemasyarakatan atau rumah tahanan.
Pembatasan jarak di LP/rutan tidak dapat dilakukan karena saat ini kondisinya sedang kelebihan beban. Hingga saat ini, jumlah penghuni LP/rutan di Indonesia mencapai 270.721 orang, padahal kapasitasnya hanya 131.931 orang.
Menurut Choirul, surat yang sudah dikeluarkan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia belum memadai dalam kondisi darurat kesehatan seperti saat ini. ”Karakter kebijakan Menkumham masih (sebatas) menghentikan penambahan, belum mengurangi jumlah (penghuni LP/rutan),” ujar Anam.
Oleh karena itu, ia berharap agar Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Darurat Kesehatan agar segera dikeluarkan. Perppu tersebut harus disesuaikan dengan kondisi saat ini.
Ia menjelaskan, darurat kesehatan bertujuan untuk memastikan kondisi kesehatan masyarakat yang terancam sehingga dibutuhkan kerja sama yang serius dengan masyarakat, termasuk solidaritas dari sesama yang tidak terkena dampak Covid-19.
Tujuannya pada kerja kesehatan dan bukan penertiban. Sebagai contoh, mendorong keaktifan perangkat pemerintah terkecil, seperti RT dan RW, termasuk puskesmas, untuk menjadi garda komunikasi terdepan. Jika ada masyarakat yang melanggar kepentingan kesehatan, akan ada denda dan kerja sosial.
Perlu hati-hati
Deputi Direktur Riset Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Wahyudi Djafar mengatakan, pemerintah harus berhati-hati menggunakan dasar hukum untuk meminimalkan bias tafsir dan penggunaan kewenangan yang lebih tepat sasaran.
”Presiden hendaknya segera mengeluarkan keputusan (keppres) terkait penetapan status bencana nasional yang akan menjadi payung hukum penerapan kebijakan pembatasan sosial,” kata Wahyudi dalam rilis pers Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan.
Presiden hendaknya segera mengeluarkan keputusan (keppres) terkait penetapan status bencana nasional yang akan menjadi payung hukum penerapan kebijakan pembatasan sosial.
Ia mendesak pemerintah untuk membuat alur komando kendali bencana yang lebih jelas. Ketiadaan pengaturan struktur komando kendali bencana dalam Keppres Nomor 9 Tahun 2020 membuat penanganan bencana Covid-19 berjalan secara parsial dan tidak terkoordinasi. Komando kendali ini harus langsung dipimpin oleh Presiden Joko Widodo.
Mengingat pembatasan sosial akan disertai sanksi, ia mendesak pemerintah untuk berpijak pada UU Karantina Kesehatan. Wahyudi menilai, pemerintah belum saatnya menerapkan keadaan darurat militer dan darurat sipil. Optimalisasi penggunaan UU Kekarantinaan Kesehatan dan UU Penanggulangan Bencana masih dapat dilakukan pemerintah dalam penanganan wabah Covid-19.
Pemerintah juga harus memikirkan juga konsekuensi ekonomi, sosial, dan kesehatan masyarakat yang terdampak kebijakan tersebut, terutama bagi kelompok-kelompok yang rentan. Keppres soal penetapan status bencana nasional itu harus mengatur pula dampak sosial, ekonomi, dan kesehatan terhadap masyarakat.