LP dan Rutan Tidak Menerima Tahanan Baru
Menkumham Yasonna H Laoly mengeluarkan kebijakan untuk tidak menerima tahanan baru masuk ke LP dan rutan untuk mencegah meluasnya pandemi Covid-19. Kebijakan serupa perlu dipertimbangkan oleh polisi, jaksa, dan hakim.
JAKARTA, KOMPAS — Upaya pencegahan penyebaran wabah Covid-19 di lingkup peradilan, termasuk kepada tahanan, dinilai belum dilakukan secara maksimal. Hingga kini, baru Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia yang mengeluarkan kebijakan penghentian pengiriman tahanan baru ke rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan. Sementara aparat penegak hukum belum memiliki kebijakan untuk membatasi penggunaan kewenangan penahanan.
Sebelumnya, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM mengakui kesulitan untuk menerapkan kebijakan jaga jarak (physical distancing) di dalam LP dan rutan. Pasalnya, hampir seluruh LP dan rutan di Indonesia sudah kelebihan penghuni.
Berdasarkan data penghuni LP/rutan per Maret 2020, terdapat 271.037 narapidana dan tahanan yang tersebar di 524 LP/rutan yang berada di bawah pengelolaan Ditjen Pemasyarakatan. Padahal, kapasitas LP dan rutan seluruh Indonesia hanya 131.931 narapidana/tahanan.
Direktur Eksekutif Indonesia Judicial Research Society (IJRS) Dio Ashar Wicaksana, Minggu (29/3/2020), di Jakarta, mengatakan, koalisi pemantau peradilan menilai mekanisme kontrol dan pengawasan tahanan di tengah pandemi Covid-19 belum optimal. Baru Menkumham yang sudah mengantisipasi terjadinya penyebaran Covid-19 dengan menunda penambahan jumlah tahanan baru masuk ke LP dan rutan. Menkumham Yasonna H Laoly telah menyampaikan kebijakannya itu melalui surat kepada Kepala Kepolisian Negara RI, Jaksa Agung, dan Ketua Mahkamah Agung pada Selasa (24/3/2020).
Poin utama dalam surat Menkumham itu adalah soal menunda kegiatan kunjungan, penerimaan tahanan baru, dan sidang mulai Rabu (18/3/2020) sampai batas waktu yang belum ditentukan. Menkumham juga menunda pengiriman tahanan LP dan rutan.
”Dalam suratnya, Menkumham menginstruksikan untuk menutup akses pengiriman tahanan ke rutan atau lapas, tetapi tidak merekomendasikan agar penahanan dibatasi. Secara tidak langsung pernyataan ini memberikan kesan agar tahanan ditempatkan di kantor polisi atau kantor kejaksaan,” kata Dio Ashar.
Baca juga: Antisipasi Covid-19 di Lapas, Pengunjung Hanya Bisa ”Video Call”
Menurut Dio, langkah Menkumham tersebut sudah tepat. Sebab, Menkumham tidak berwenang untuk melarang atau memerintahkan penahanan karena kewenangan itu hanya dimiliki oleh penyidik, penuntut umum, dan hakim. Menkumham hanya bisa memberikan rekomendasi kepada aparat penegak hukum agar tidak menahan di tengah kondisi pandemik Covid-19.
”Oleh karena itu, koalisi memberikan beberapa rekomendasi pada Menkumham dan aparat penegak hukum agar penanganan tahanan di tengah pandemi Covid-19 dapat dijalankan sesuai dengan ketentuan KUHAP dengan tetap mengutamakan keselamatan para tahanan,” ujar Dio Ashar.
Rekomendasi
Koalisi pemantau peradilan yang terdiri dari berbagai masyarakat sipil tersebut mendesak Mahkamah Agung, Jaksa Agung, dan Kapolri segera menerbitkan peraturan bersama terkait dengan pengetatan penggunaan kewenangan penahanan. Langkah ini perlu segera diambil lantaran pandemik Covid-19 terus meluas. Bahkan, muncul informasi liar tentang penularan Covid-19 di lingkup lapas dan rutan.
Selain itu, koalisi juga memberikan rekomendasi kepada aparat penegak hukum untuk memperhatikan Pasal 21 Ayat (4) KUHAP yang menyebutkan penahanan hanya dapat dilakukan terhadap pelaku tindak pidana dengan ancaman penjara 5 tahun atau lebih. Selain itu, aparat juga perlu memastikan bahwa penahanan memenuhi syarat jika ada kekhawatiran tersangka atau terdakwa melarikan diri, merusak, atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana.
Jika penahanan dilakukan secara selektif, banyak kasus dengan ancaman hukuman 5 tahun tak perlu ditahan. Pelaku tindak pidana ringan, tindak pidana tanpa korban, dan tindak pidana yang tidak melibatkan kekerasan tidak perlu ditahan. Aparat dapat memanfaatkan semaksimal mungkin mekanisme penahanan alternatif, misalnya jaminan yang memperbolehkan tersangka atau terdakwa tidak perlu ditahan.
Untuk tahanan yang tetap harus ditahan karena memenuhi syarat Pasal 21 Ayat (4) KUHAP, opsi selain penahanan di rutan harus dimaksimalkan. Pasal 22 KUHAP, misalnya, memberikan opsi tahanan rumah dan tahanan kota. Dengan demikian, tahanan tidak ditempatkan dalam rutan, kepolisian, dan kejaksaan yang berisiko tinggi penyebaran Covid-19. Penahanan rumah dan kota dapat diberikan dengan mempertimbangkan tempat tinggal yang jelas dan pekerjaan sehari-hari sehingga tahanan tidak mungkin meninggalkan tempat tinggalnya.
”Dalam situasi ini, proses hukum tetap berjalan dan putusan berupa penjara bisa dilaksanakan setelah pandemi usai,” terang Dio Ashar.
Selain itu, koalisi juga meminta aparat penegak hukum untuk memaksimalkan penggunaan mekanisme penangguhan penahanan ataupun pembantaran untuk mereka yang membutuhkan perawatan dan pendampingan medis. Mekanisme rujukan ke fasilitas kesehatan terdekat juga harus tersedia untuk melakukan isolasi, karantina, atau tindakan medis lainnya bagi tahanan yang terdampak.
Dengan mempertimbangkan kondisi tersebut beberapa syarat penahanan yang sudah diatur dalam KUHAP, tahanan yang sudah habis masa penahanannya harus segera dikeluarkan dan tidak diperpanjang. Sebab, hal itu dapat mengurangi jumlah penghuni yang ada sehingga pencegahan Covid-19 dapat dilakukan efektif sesuai kemampuan rutan atau lapas.
Koalisi juga mendesak adanya pengelolaan mitigasi dan edukasi yang komprehensif pada petugas rutan dan LP di tengah pandemi Covid-19. Manajemen mitigasi dan materi edukasi dapat melibatkan lintas sektor, termasuk penanggulangan bencana, kesehatan, sosial, dan lainnya.
Pemerintah juga perlu memastikan ada aturan pelaksana dan juga aturan turunan dari KUHP yang lebih detail untuk mengantisipasi hal tersebut. Sebab, sistem penahanan di Indonesia masih membutuhkan aturan mengenai sistem jaminan, pengawasan alternatif penahanan, dan lainnya. Agenda jangka panjang tersebut dapat dimulai dengan memasukkan sistem hakim pemeriksaan pendahuluan (judicial scrutiny) dalam rancangan revisi KUHAP.
Masih banyak sidang
Upaya pencegahan penyebaran Covid-19 di lingkungan pengadilan yang berada di bawah MA juga dinilai belum optimal. Ketua Komisi Yudisial Jaja Ahmad Jayus mengungkapkan hasil pantauannya pada pekan kemarin, masih banyak sidang perkara pidana dan jinayat yang digelar di pengadilan tingkat pertama. Di Pengadilan Negeri Bandung, misalnya, pada 24 Maret lalu, dalam sehari masih ada 70 agenda sidang yang didominasi perkara pidana.
Kondisi tersebut memicu keprihatinan di tengah kebijakan pembatasan fisik dan sosial yang dilakukan oleh pemerintah. Dengan banyaknya pengunjung persidangan, aparat penegak hukum ataupun pengunjung sangat rentan terpapar virus korona baru. Oleh karena itu, KY segera berkoordinasi dengan Mahkamah Agung agar dapat membuat kebijakan mengenai situasi kedaruratan tertentu kebencanaan ini.
”Yang sedang KY pikirkan adalah bagaimana supaya mendorong agar ada solusi bagi para hakim di pengadilan tingkat pertama,” kata Jaja.
Jaja mengakui, saat ini masih ada kendala dalam aturan KUHAP. Soal persidangan virtual atau e-litigasi, misalnya, belum bisa diterapkan karena terganjal aturan KUHAP. Selain itu, terdakwa juga tidak semuanya didampingi oleh penasihat hukum. Jika digelar persidangan virtual, tidak semuanya paham teknis pelaksanaan persidangan secara konferensi video misalnya. Kendala teknis ini semuanya harus segera dicarikan solusinya. Sebab, KY menilai unsur keselamatan baik dari hakim, pengacara, pihak yang berperkara maupun masyarakat umum harus dijaga.
”Instansi lain sudah diimbau untuk melakukan pembatasan sosial. Dari sisi peradilan ini belum optimal. KY sedang berpikir bagaimana mencari solusinya,” kata Jaja.
Baca juga: MA Perketat Aturan Cegah Covid-19, Sejumlah Sidang Tetap Harus Digelar
Hak keadilan
Sebelumnya, Kepala Hukum dan Biro Humas Mahkamah Agung Abdullah mengatakan, MA tidak bisa mengatur penangguhan persidangan perkara pidana terutama yang masa penahanannya hampir habis karena menyangkut hak keadilan terdakwa. Terdakwa memiliki hak agar perkaranya segera diputus. Selain itu, MA juga menjaga supaya perkara pidana tersebut tidak lepas demi hukum.
”Kalau sidangnya ditunda, status terdakwa di rutan atau di lembaga pemasyarakatan apa? Ditahan atau dibantarkan?” tutur Abdullah.
Menurut Abdullah, dalam memutuskan penangguhan persidangan, khususnya perkara pidana, MA tidak bisa memutuskan sendiri. MA harus berkoordinasi dengan berbagai pihak, terutama Kemenkumham dan kejaksaan. Harus ada inisiatif dari setiap pihak untuk membahas hal tersebut. Sementara itu, dalam situasi darurat Covid-19 ini, pertemuan tersebut belum bisa difasilitasi.
Adapun terkait memaksimalkan peralatan modern dalam persidangan, seperti e-court dan e-litigasi, hal itu belum bisa digunakan dalam perkara pidana. Sebab, jika ingin menyidangkan perkara pidana melalui elektronik, Indonesia perlu mengubah dulu aturan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Hal itu tentu membutuhkan waktu yang lama karena harus dibahas bersama dengan DPR.