Di Tengah Pandemi Covid-19, Polri Bersiaga Antisipasi Aksi Teroris
Di tengah kesibukan menangani dan mencegah pandemi Covid-19, Kepolisian Negara RI terus berjaga dan bersiaga mengantisipasi kelompok teroris yang tidak pernah habis.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Terduga teroris yang ditangkap Detasemen Khusus 88 Kepolisian Negara RI di Jawa Tengah, Senin (30/3/2020), ditengarai tengah menyiapkan aksis teror. Mereka memanfaatkan kondisi negara dan masyarakat yang tengah fokus menangani dan mencegah pandemi Covid-19.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigjen (Pol) Raden Prabowo Argo Yuwono saat konferensi pers daring, Senin, di Jakarta, mengatakan, Densus 88 mengamankan lima terduga teroris di Batang, Jateng. Selain ZN, MS, MW, dan MT, juga ada MF yang merupakan bagian dari jaringan kelompok teroris Jamaah Ansharut Daulah (JAD).
Berdasarkan barang bukti yang diamankan dari terduga ZN, Argo menyebutkan, ada senjata api, casing pembuatan bom rakitan, serta bahan racikan yang dilengkapi switching. Dari hasil pemeriksaan, ZN pernah menguji coba bom yang dirakitnya itu. Namun, bom itu belum sempat diledakkan karena Densus 88 terlebih dahulu menangkapnya.
”Yang bersangkutan juga pernah uji coba, tetapi lokasi uji coba tidak bisa kami sampaikan. Yang terpenting, sebelum melakukan kegiatan teror, (terduga teroris) sudah terlebih dahulu diamankan aparat,” kata Argo.
Pakar terorisme dan pendiri Yayasan Prasasti Perdamaian, Noor Huda Ismail, menyatakan, jika dilihat secara global, jaringan JAD dikategorikan sebagai kelompok oportunis. Mereka melakukan aksi saat negara dan warga lengah. ”Sebab, tujuan utama mereka menyerang polisi, merendahkan pemerintah, dan sekaligus menunjukkan eksistensinya kepada publik,” ujar Noor Huda.
Jaringan JAD itu sendiri tidak saling terhubung satu dengan yang lain, tetapi memiliki kelompok masing-masing. Satu kelompok dengan yang lain bisa jadi tidak pernah bertemu dan di antara mereka pun terjadi kompetisi untuk menunjukkan eksistensinya melakukan aksi-aksi teror. Dengan aksi teror tersebut, mereka mendapat pengakuan dari kelompok teroris lain, baik secara nasional maupun global.
Aksi menyerang ketika aparat dinilai lengah, katanya, dapat ditemukan ketika Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan 2015-2019 Wiranto diserang saat berkunjung ke Pandeglang, Banten, tahun lalu. Saat itu, Wiranto diserang dengan senjata tajam oleh dua penyerang.
Saat ini, menurut Noor Huda, bisa jadi dianggap oleh para teroris momen yang tepat untuk menjalankan aksi teror. Sebab, pemerintah beserta aparat kepolisian yang tengah fokus menangani wabah Covid-19 diperkirakan sibuk dan lengah.
Oleh karena itu, aparat penegak hukum diharapkan tetap waspada terhadap kelompok-kelompok teror, terutama JAD. Masyarakat pun mesti waspada, misalnya jika ada warga dengan gerak-gerik mencurigakan di lingkungan sekitarnya.
Tak pernah habis
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, Arsul Sani, mengatakan, dalam rapat dengar pendapat dengan Kepala Polri Jenderal (Pol) Idham Azis selalu disampaikan bahwa sel-sel atau kelompok teroris tidak pernah habis atau mati, bahkan mereka cenderung bertambah. Untuk itu, Polri dipercaya senantiasa menyadari hal itu.
Menurut Arsul, saat ini Polri tengah menjadi tulang punggung pemerintah dalam pencegahan meluasnya wabah Covid-19. Tanggung jawab Polri akan bertambah jika kemungkinan pemerintah memberlakukan darurat sipil atau pembatasan sosial berskala besar.
”Di tengah situasi seperti itu, bukan berarti tidak ada kejahatan. Sebaliknya, kejahatan luar biasa, seperti terorisme dan peredaran narkotika, saat ini berpotensi akan tetap terus terjadi,” kata Arsul.
Untuk mengantisipasi hal itu, lanjutnya, pihaknya mengusulkan agar Polri memberlakukan siaga I bagi satuan-satuan khusus, seperti Densus 88, Badan Intelijen Keamanan Polri, dan satuan narkotika. Agar lebih maksimal, lembaga-lembaga lain, seperti Badan Intelijen Strategis (Bais) dan Badan Intelijen Negara (BIN), juga mesti terus meningkatkan kewaspadaan.
”Jangan karena fokus penegakan hukum terkait karantina wilayah atau pembatasan fisik, perhatian polisi berkurang untuk hal lain,” ujar Arsul.