KPU mengkaji implikasi dari penundaan Pilkada 2020 akibat wabah Covid-19. Implikasi itu di antaranya pada daftar pemilih dan syarat dukungan pasangan bakal calon perseorangan.
Oleh
INGKI RINALDI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penundaan Pemilihan Kepala Daerah 2020 berpotensi berimplikasi pada daftar pemilih dan syarat dukungan yang telah diserahkan oleh 179 pasangan bakal calon perseorangan. Komisi Pemilihan Umum mengkaji implikasi tersebut sebelum mengambil keputusan yang tidak merugikan peserta pemilu ataupun pemilih.
Kesepakatan untuk menunda Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020 diambil dalam rapat Komisi II DPR, perwakilan pemerintah, dan penyelenggara pemilu di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (30/3/2020).
Ada tiga opsi penundaan, yaitu pemungutan suara yang semula digelar 23 September 2020 ditunda menjadi digelar 9 Desember 2020. Opsi kedua, ditunda menjadi digelar 17 Maret 2020. Opsi ketiga, waktu pemungutan suara ditunda satu tahun sehingga baru digelar pada 29 September 2020.
Sebelum keputusan penundaan, sebanyak 179 pasangan bakal calon perseorangan telah menyerahkan syarat dukungan dan berkas lain yang dibutuhkan ke Komisi Pemilihan Umum (KPU). Mulai awal Maret lalu, seharusnya dijalani proses verifikasi administrasi dan faktual terhadap syarat dukungan para bakal calon perseorangan tersebut.
Namun, dengan kini proses itu turut ditunda, kelanjutannya kelak harus dibahas terlebih dulu oleh KPU. Komisioner KPU, Ilham Saputra, saat dihubungi, Selasa (31/3/2020), mengatakan banyak hal yang harus dibahas sebagai konsekuensi dari penundaan pilkada. Ini terutama menyangkut syarat dukungan yang telah diserahkan oleh para bakal calon.
Bisa jadi, menurut Ilham, mereka yang telah memberikan dukungan, ternyata kelak saat proses verifikasi administrasi ataupun faktual dilanjutkan, pendukung itu sudah pindah tempat tinggal atau meninggal. Terhadap kasus-kasus seperti itu, perlu ada kebijakan yang dikeluarkan KPU.
Hal lain yang dipikirkan KPU sebagai konsekuensi penundaan pilkada adalah terkait Daftar Penduduk Potensial Pemilih Pemilu (DP4). Ilham mengatakan, DP4 harus dibahas kembali dengan Kementerian Dalam Negeri. Sebab, dengan waktu pemungutan suara berubah, data calon pemilih sangat mungkin berubah.
”Kemudian kita harus mengatur kembali aturan teknisnya. Nah, ini yang sedang kami pikirkan,” ujar Ilham.
Menurut Ilham, setelah kesepakatan bersama DPR dan pemerintah dicapai kemarin, peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) menjadi hal yang paling dinantikan karena akan dipakai sebagai patokan. Jika kemudian perppu diterbitkan, ujar Ilham, KPU berharap perppu tidak menyebutkan secara detail kelanjutan dari Pilkada 2020.
Ia menambahkan, keputusan untuk waktu melaksanakan kembali pilkada sebaiknya diserahkan kepada KPU. Ini setelah masa darurat wabah Covid-19 dinyatakan selesai dan kondisi telah aman.
Pengaturan detail
Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Firman Noor berharap pengaturan teknis detail bagi peserta, penyelenggara, dan masyarakat disertakan. Hal ini untuk memberikan kepastian hukum terkait dengan jangka waktu yang dibutuhkan.
Selain itu, terkait juga dengan tahapan-tahapan kegiatan dalam pilkada yang harus dilakukan. Hal-hal ini berhubungan dengan kepastian konsolidasi politik, kandidasi, dukungan logistik, dan sebagainya.
Firman menjelaskan. perppu pada dasarnya tidak boleh terlalu banyak pergeseran, tetapi hanya menjelaskan hal-hal yang sifatnya penjelasan mengenai tahapan.
”(Isinya) hal-hal yang sifatnya detail dan menjelaskan kepada kontestan dan peserta kontestasi elektoral. Pelaksana harus mendetailkan. Reasoning (pertimbangan) kenapa ada pembaruan tahapan,” sebut Firman.