Polri menyiapkan empat batalion personel di Mabes Polri, dan di tiap Polda disiapkan 200 personel lengkap dengan alat perlindungan dirinya sebagai rencana kontingensi Covid-19. Namun, pendekatan persuasif diutamakan.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kepolisian Republik Indonesia mengutamakan pendekatan persuasif dalam melaksanakan kebijakan apa pun yang diambil pemerintah terkait upaya pencegahan penyebaran penyakit Covid-19. Polri menyiagakan dua per tiga kekuatan untuk mendukung kebijakan pemerintah, sekaligus pelaksanaan Maklumat Kepala Polri tentang Kepatuhan terhadap Kebijakan Pemerintah dalam Penanganan Penyebaran Covid-19.
Kapolri Jenderal (Pol) Idham Azis dalam rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat, Selasa (31/3/2020), di Jakarta, mengatakan, Polri mendukung penuh setiap kebijakan yang dikeluarkan pemerintah, termasuk dengan penerapan pembatasan sosial berskala besar (PPSB) yang sebelumnya diwacanakan dibarengi dengan darurat sipil.
Namun, dalam keterangan terbarunya, Presiden Joko Widodo menetapkan status Darurat Kesehatan Masyarakat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Bersamaan dengan status itu, pemerintah memberlakukan karantina kesehatan berupa pembatasan sosial berskala besar (PPSB).
Rapat dipimpin oleh Ketua Komisi III Herman Herry dan diikuti oleh anggota Komisi III secara virtual. Di dalam rapat, Idham menegaskan, sebagai aparat negara, dirinya melaksanakan apa pun yang diputuskan oleh pemerintah, termasuk bila status PPSB diatur oleh pemerintah. Demikian halnya bila pilihan darurat sipil yang sebelumnya diwacanakan akhirnya diterapkan.
Idham menegaskan, Polri mengedepankan tindakan preemptif dan preventif. Menurut dia, masyarakat dengan diimbau sudah bisa menyadari bahwa kebijakan penjarakan itu untuk kepentingan masyarakat. Dalam maklumat sudah dicantumkan bahwa kepentingan masyarakat adalah hukum tertinggi.
”Kalaupun di beberapa daerah ada sikap anak buah kami yang keras atau bicaranya kasar ketika membubarkan kerumunan masyarakat, itu akan menjadi bahan analisis dan evaluasi kami, dan apa pun alasannya tidak dapat ditoleransi,” kata Idham.
Menanggapi pertanyaan sejumlah anggota Komisi III DPR mengenai wacana darurat sipil yang sempat mengemuka, Idham mengatakan, hal itu bukan kewenangannya. Sebagai aparat negara, ia hanya melaksanakan dan mendukung kebijakan pemerintah, termasuk bila kebijakan PPSB diambil, bahkan jika diperluas jadi darurat sipil. Kondisi darurat sipil akan menjadikan Polri sebagai ujung tombak pelaksanaan kebijakan pemerintah itu.
Menanggapi dinamika yang berkembang terkait dengan kebijakan pemerintah dalam penanganan Covid-19, Idham mengatakan, Polri mengantisipasinya dengan menyiapkan rencana contigency (tidak terduga). Polri juga meningkatkan operasi rutin dan operasi simpatik untuk mengimbau masyarakat tetap berada di rumah dan tidak mudik. Operasi khusus juga disiapkan oleh Polri untuk menghadapi kemungkinan bencana alam.
”Saya juga perintahkan kepada semua kapolda, yang jumlahnya 34, serta 493 polres untuk menyiapkan sispam (sistem pengamanan) kota apabila ada perkembangan satu-dua hari ke depan. Terkait dengan apa yang menjadi kebijakan pemerintah, kami akan amankan,” katanya.
Kemungkinan apa pun, termasuk dalam larangan mudik, juga telah diantisipasi Polri. Kalaupun mudik dibolehkan, Polri memiliki operasi rutin, yakni Operasi Ketupat, yang biasa dilakukan menjelang Lebaran.
Idham juga menuturkan sudah menyiapkan empat batalion personel di Mabes Polri, dan setiap Polda ada 200 personel lengkap dengan alat perlindungan dirinya (APD), sebagai salah satu antisipasi untuk menghadapi semua kemungkinan. ”Itulah operasi contigency. Kami betul-betul siapkan, dan kerja sama terus dilakukan dengan rekan-rekan TNI,” katanya.
Idham mengatakan, anggaran pengadaan barang di lingkungan Polri semuanya dialihkan untuk kepentingan penanganan penyakit Covid-19.
Tingkatkan koordinasi
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Nasdem, Taufik Basari, meminta Polri berkoordinasi dengan penegak hukum lainnya untuk mencegah penyakit Covid-19
menyebar di lembaga pemasyarakatan (lapas) yang saat ini kepadatannya melebihi kapasitas.
”Kapolri harus berani mengambil tindakan ekstrem terkait dengan hal ini. Penahanan harus selektif sehingga tidak terjadi penyebaran Covid-19 di dalam lapas,” katanya.
Idham mengatakan, penahanan saat ini menjadi kebijakan terakhir yang diambil Polri. Bahkan telah ada pernyataan dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) untuk mengeluarkan 30.000 tahanan dengan klasifikasi tertentu. Untuk mengurangi kemungkinan penyebaran Covid-19 di lingkungan kepolisian, Polri meniadakan layanan yang melibatkan tatap muka langsung, seperti pembuatan SIM dan surat keterangan catatan kepolisian (SKCK).
Anggota Komisi III dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Aboe Bakar Al-habsyi, meminta Polri memperhatikan pendekatan kemanusiaan dalam menangani penyebaran penyakit Covid-19 di tengah masyarakat. Pilihan penetapan darurat kesehatan masyarakat yang didasarkan pada UU No 6/2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan lebih sesuai daripada wacana darurat sipil.
Dalam kesimpulannya, Komisi III DPR mendorong Polri mengantisipasi kemungkinan terjadinya kejahatan yang memanfaatkan fokus Polri terhadap penanganan Covid-19. Sebagai contohnya ialah terorisme, narkoba, ataupun penimbunan alat kesehatan, dan bahan kebutuhan pokok.
Komisi III juga meminta Polri berkoordinasi lebih intensif dengan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Gugus Tugas Percepatan Penanganan Penyakit Covid-19, TNI, Kementerian Kesehatan, dan pemerintah daerah. Koordinasi itu juga untuk antisipasi penyebaran kabar bohong (hoaks) yang sifatnya provokatif terkait dengan penanganan Covid-19.