DPR dan Pemerintah Harus Peduli Penderitaan Rakyat
DPR dan pemerintah diminta peduli dengan penderitaan rakyat yang tengah dilanda wabah Covid-19. Untuk itu, pembahasan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana, yang ditargetkan seminggu dibahas, harus segera ditunda.
Oleh
Edna C Pattisina
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah diminta peduli dengan penderitaan rakyat yang tengah dilanda wabah coronavirus disease 2019 atau Covid-19. Untuk itu, pembahasan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang oleh DPR akan diselesaikan dalam waktu satu minggu diharapkan dihentikan.
Hal ini disampaikan Iftitahsari, peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) yang menjadi juru bicara Aliansi Nasional Reformasi KUHP, Jumat (3/4/2020), di Jakarta. Sebelumnya, DPRmenunjukkan ketidakpekaannya dengan meminta tes Covid-19 bagi anggota dan keluarganya, selain juga rencana DPR mengesahkan RKUHP dalam sepekan di masa darurat Covid-19. Hal ini dinilai akan menambah catatan buruk DPR dan pemerintah.
Tindakan itu dinilai Iftitahsari sebagai tindakan terburu-buru yang dipastikan akan mengesampingkan kualitas substansi. RKUHP yang akan disahkan juga kemungkinan mengandung ketentuan-ketentuan yang tidak akan relevan lagi dengan konteks sosial masyarakat Indonesia ke depan. Ditambah masih banyak masalah yang timbul dari pasal-pasal yang saat ini harusnya lebih dalam dan menyeluruh untuk dibahas.
Saat ini merupakan kesempatan yang baik bagi pemerintah dan DPR untuk menimbang kembali semua isi RKUHP dengan memperhatikan perubahan tatanan sosial politik ekonomi setelah pandemi ini dapat ditangani nantinya.
Menunda pembahasan RKUHP akan menunjukkan keberpihakan pemerintah dan DPR kepada rakyat. Saat ini merupakan kesempatan yang baik bagi pemerintah dan DPR untuk menimbang kembali semua isi RKUHP dengan memperhatikan perubahan tatanan sosial politik ekonomi setelah pandemi ini dapat ditangani nantinya.
Tim Peneliti Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Charles Simabura, menilai bahwa DPR dan pemerintah hendak ”menggunting dalam lipatan” atau ”memancing di air keruh”, mencuri kesempatan dalam kesempitan ketika seluruh bangsa tengah fokus menghadapi Covid19. DPR terlihat terburu-buru membahas dan hendak mengesahkan tiga paket Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja, KUHP, dan Pemasyarakatan (PAS). Padahal, sebelumnya, pemerintahan Presiden Joko Widodo menerbitkan paket peraturan dan kebijakan yang menghendaki seluruh institusi dan anggaran negara difokuskan menghadapi ancaman wabah Covid-19.
”DPR dan wakil pemerintah tampaknya lupa bahwa di dalam Perppu Nomor 1 Tahun 2020 telah ditentukan upaya untuk mengalihkan anggaran dana untuk menanggulangi wabah Covid-19,” kata Charles. Padahal, mereka seharusnya mengoptimalkan fungsi pengawasan atas penanggulangan tanggap darurat. Persidangan DPR malah akan membebani keuangan negara. ”Pembahasan ini adalah bentuk ketidakpedulian dan minimnya empati terhadap bencana,” kata Charles.
Napi korupsi
Upaya memangkas masa hukuman narapidana (napi) korupsi tidak sesuai dengan prinsip kemanusiaan dan upaya pemberantasan korupsi yang sepatutnya dijalankan negara. Dalam pembahasan RUU PAS, salah satu gol pembahasan ini adalah mendesak membuat aturan yang dapat memotong masa tahanan napi koruptor, termasuk meminta pemerintah melalui Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia mengubah PP No 99/2012 yang selama ini membatasi pemotongan masa tahanan untuk napi korupsi.
Charles menilai, beberapa alasan yang dikemukan pihak pemerintah, DPR, dan pimpinan KPK adalah adanya overcapacity penjara dan dikhawatirkannya menyebar wabah Covid-19 di dalam penjara. Alasan itu terlihat dipaksakan karena pada dasarnya melimpahnya penghuni penjara disebabkan perkara-perkara tindak pidana ringan (tipiring) selalu berakhir dengan pemenjaraan.
Alasan itu terlihat dipaksakan karena pada dasarnya melimpahnya penghuni penjara disebabkan perkara-perkara tindak pidana ringan (tipiring) selalu berakhir dengan pemenjaraan.
Selain itu juga banyaknya kasus-kasus pidana narkotika yang melibatkan pencandu (bukan pengedar) yang berakhir di penjara. Padahal, rehabilitasi lebih layak untuk mereka dan efektif dalam memberantas korupsi karena mengurangi jumlah orang yang akan membeli pasokan narkotika.
Penjara terbukti tidak menghilangkan kecanduan, tetapi malah seringkali menjadi pasar jual-beli narkoba (hal itu dapat dilihat dari kasus-kasus pengedaran narkotika di penjara).
Akibatnya, pembahasan RUU PAS dengan target memotong masa tahanan koruptor tidak lebih hanya menjadi upaya untuk memanfaatkan keadaan masa genting wabah Covid-19. Hal itu tentu memperlihatkan betapa manipulatifnya pembentukan UU dan peraturan-peraturan turunannya.