Bahas RUU Bermasalah di Tengah Pandemi Covid-19, DPR Dinilai Tidak Peka
Di tengah penderitaan rakyat menghadapi Covid-19, DPR akan mengesahkan sejumlah RUU yang memantik unjuk rasa besar-besaran, akhir September 2019.
JAKARTA, KOMPAS — Selain Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja, Dewan Perwakilan Rakyat memutuskan melanjutkan pembahasan sejumlah RUU kontroversial yang memantik gelombang unjuk rasa di sejumlah daerah, akhir September 2019. DPR bahkan berencana langsung mensahkannya.
Langkah DPR itu dinilai merupakan bentuk ketidakpekaan DPR terhadap kondisi rakyat saat ini yang sedang didera kesulitan dalam aspek kesehatan, sosial, dan ekonomi akibat wabah coronavirus disease 2019 (Covid-19).
Dalam Rapat Paripurna DPR yang dipimpin Wakil Ketua DPR dari Fraksi Partai Golkar Azis Syamsuddin, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (2/4/2020), DPR membacakan surat presiden (surpres) tentang RUU Cipta Kerja. Pembacaan surpres membuka jalan pembahasan RUU yang dibentuk dengan metode omnibus law itu, di masa persidangan DPR kali ini.
Tak hanya itu, Rapat Paripurna DPR juga menyetujui RUU Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) dan RUU Pemasyarakatan untuk dilanjutkan pembahasannya ke tingkat II atau persetujuan pengesahan menjadi UU di Rapat Paripurna DPR. Kedua RUU ini sebelumnya telah disetujui disahkan menjadi UU di tingkat I pada DPR periode 2014-2019.
Baca juga: DPR Abaikan Desakan Publik Soal RUU Cipta Kerja
Untuk diketahui, kedua RUU itu termasuk di antara sejumlah RUU kontroversial yang ditentang publik sehingga memicu gelombang unjuk rasa besar-besaran di sejumlah daerah, akhir September 2019. Oleh karena protes publik itu, Presiden Joko Widodo meminta pengesahan RUU ditunda. DPR menyanggupi hal itu bahkan berjanji membuka kembali ruang pembahasan untuk pasal-pasal yang diprotes oleh publik, Kompas (2/11/2019).
Namun, dari pantauan Kompas, sejak RUU diputuskan ditunda pengesahannya hingga saat ini belum ada pembahasan oleh DPR dan pemerintah mengenai pasal-pasal yang dinilai publik bermasalah tersebut.
Baca juga : RKUHP Akan Dibahas Ulang
Dibukanya pintu untuk pembahasan RUU Cipta Kerja sempat memantik protes dari sejumlah anggota DPR. Anggota DPR dari Fraksi Partai Demokrat, Benny K Harman, mengingatkan, sebaiknya pembahasan RUU ditunda dulu. ”Kan, tidak enak pimpinan. Di tengah pandemi Covid-19, rakyat kita susah, untuk makan saja susah, kok kita tetap bicara omnibus law,” katanya.
Anggota DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Aboe Bakar Al-Habsyi, juga mengatakan hal serupa. ”Kondisi kita saat ini force majeure. Lucu kalau kita mengangkat omnibus law terlalu serious dengan (rapat) virtual. Banyak RUU yang tidak mudah dibahas secara virtual. Jadi, sebaiknya kita bersabar sedikit untuk fokus kepada Covid-19,” ujarnya.
Adapun terkait RKUHP dan RUU Pemasyarakatan, tak ada interupsi dari anggota DPR yang mengikuti rapat paripurna.
Diserahkan ke Baleg
Terkait RUU Cipta Kerja, Azis mengatakan, berdasarkan hasil rapat konsultasi pengganti Badan Musyawarah (Bamus) DPR, Rabu (1/4/2020), pembahasannya akan diserahkan ke Badan Legislasi (Baleg) DPR. Adapun untuk RKUHP dan RUU Pemasyarakatan masih menunggu koordinasi dengan pimpinan Komisi III DPR.
”Kami menunggu tindak lanjut dari pimpinan Komisi III yang meminta waktu satu pekan dalam rangka pengesahan untuk dibawa ke tingkat II (rapat paripurna),” katanya.
Baca juga : Revisi UU Pemasyarakatan Buka Celah Obral Pemberian Pembebasan Bersyarat
Wakil Ketua Baleg DPR Achmad Baidowi menambahkan, pihaknya berencana membentuk panitia kerja (panja) untuk membahas RUU Cipta Kerja, pekan depan depan. Baleg juga berjanji akan melakukan uji publik dengan mengundang pihak-pihak yang berkepentingan, termasuk kalangan buruh.
”Kami akan undang mereka secara fisik atau virtual. Kami akan dengarkan semuanya sehingga kehadiran RUU ini paling tidak bisa ditemukan titik persamaannya,” ujarnya.
Ia tidak bisa memperkirakan apakah pembahasan omnibus law itu akan selesai pada masa persidangan DPR kali ini. ”Sepertinya kalau masa sidang saat ini, agak berat. Tetapi, kita lihat saja perkembangannya,” katanya.
Rencana unjuk rasa
Atas rencana pembahasan RUU Cipta Kerja itu, elemen buruh yang tergabung dalam Majelis Pekerja Buruh Indonesia (MPBI) dan Presidium Gerakan Kesejahteraan Nasional bersiap berunjuk rasa.
Ketua Departemen Komunikasi dan Media Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Kahar Cahyono mengatakan, buruh kecewa dengan keputusan DPR yang tetap nekad membahas RUU Cipta Kerja di tengah pandemi Covid-19.
”Terpaksa kami harus turun ke jalan. Kami sudah memohon agar jangan dilanjutkan (pembahasannya). Kalau tetap, masa kami harus berdiam diri? Jangan salahkan rakyat, karena pemerintah dan DPR tidak mau mendengarkan suara rakyat,” ujar Ketua Konfederasi Aliansi Serikat Buruh Indonesia Nining Elitos.
DPR tidak peka
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan, keputusan DPR yang meneruskan pembahasan sejumlah RUU kontroversial di tengah kondisi masyarakat kesulitan menghadapi wabah Covid-19 menunjukkan lembaga perwakilan itu tidak mendengarkan atau menyerap aspirasi yang berkembang di tengah-tengah masyarakat.
Baca juga : Tunjukkan Rasa Kemanusiaan di Tengah Pandemi
”Saat ini, DPR disconnect atau tidak nyambung dengan kesulitan yang dihadapi rakyat. Mereka tidak peka, tidak cermat, dan boleh jadi menyelundupkan agenda-agenda sebelumnya yang mereka paksakan untuk bisa disahkan tanpa partisipasi publik yang memadai,” katanya.
Menurut Usman, saat ini rakyat terancam kehidupannya. ”Bisnis dan usaha rakyat terpuruk sehingga pemenuhan kebutuhan dasar rakyat belum ada jaminan. Rakyat perlu belajar, bekerja, dan hidup sehat. Dalam kondisi seperti ini mengapa DPR justru disibukkan dengan problem legislasi yang signifikansi dan urgensinya dipertanyakan,” katanya.
Alih-alih sibuk membahas RUU yang bisa memantik keresahan baru bagi publik, DPR lebih baik fokus bersama-sama pemerintah memikirkan pembenahan atas sistem kesehatan nasional, dan pengawasan penanganan Covid-19, termasuk jalannya realokasi anggaran untuk penanganan Covid-19.
”Bagaimana DPR ikut memastikan ekonomi masyarakat bawah itu bisa berjalan. Selain itu ialah memikirkan bagaimana mencegah keresahan sosial atau semacam civil unrest yang sudah mulai ada tanda-tandanya di sejumlah tempat,” kata Usman.
Baca juga : Layanan Kesehatan Hampir Kolaps
Sekalipun pembahasan diupayakan terbuka dengan layanan virtual, tetapi hal itu dipandang tidak akan optimal menyediakan ruang yang luas bagi publik, akademisi, tokoh masyarakat, tokoh agama, dan pihak terkait lainnya untuk turut serta membahas.
Pasal bermasalah
Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Genoveva Alicia, menekankan, masih banyak pasal kontroversial di dalam RKUHP sehingga sebaiknya tidak dipaksakan untuk dibahas. Pasal bermasalah itu antara lain penghinaan presiden dan pemerintah, larangan mempertunjukkan alat kontrasepsi, perzinaan, penggelandangan, aborsi, tindak pidana korupsi, penghinaan terhadap pengadilan, makar, tindak pidana terhadap agama, tindak pidana narkotika, dan pelanggaran HAM berat.
”Pandemi ini tidak boleh dijadikan kesempatan untuk mengesahkan RUU yang masih mengandung banyak permasalahan dan tidak dibahas secara inklusif,” kata Genoveva.
Pembahasan RKUHP, lanjut Genoveva, belum melibatkan banyak pihak. Selama ini pembahasan hanya fokus dilakukan oleh ahli-ahli hukum pidana tanpa mempertimbangkan pendapat dari bidang ilmu lain yang terdampak, seperti bidang kesehatan, kesehatan masyarakat, kriminologi, pariwisata, dan ekonomi.
Dengan melihat kondisi itu, ICJR bersama Aliansi Nasional Reformasi KUHP meminta DPR menunda pembahasan RKUHP dan fokus pada penanganan Covid-19.
Baca juga : Gelombang Baru Infeksi
Menikam rakyat
Adapun Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Asep Komarudin, menilai, keputusan DPR membahas RUU kontroversial itu seperti menikam rakyat dari belakang.
”Saat ini, masyarakat membutuhkan perhatian serius dari eksekutif dan legislatif terkait pandemi Covid-19 ini. Ide pembahasan omnibus law dan RUU Lain yang tak terkait penanganan Covid-19 itu sangat tidak elegan. Ini seperti menikam rakyat dari belakang ketika dipaksakan pembahasan di masa seperti ini,” katanya.
Greenpeace Indonesia, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, dan Lembaga Kajian Hukum Lingkungan Indonesia (ICEL) mewakili sejumlah organisasi masyarakat sipil memprotes keras pembahasan omnibus law.
Baca juga : Skenario Buruk Ekonomi Ganggu Persepsi Investor
Direktur Eksekutif ICEL Raynaldo Sembiring mengatakan, pihaknya mencatat sejumlah kelemahan atau cacat prosedur dan cacat substansi dalam omnibus law. Selain melanggar prinsip keterbukaan dan partisipasi publik dalam penyusunan di tingkat eksekutif dan kini bisa terulang lagi saat dibahas di tingkat DPR, ICEL pun menunjukkan sejumlah cacat prosedur lain.
Dalam UU No 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, pasal 96 mengatur partisipasi masyarakat dalam memberikan masukan atau respons terhadap pembentukan perundangan-undangan. Ayat 1 dan ayat 3 disebutkan masyarakat yang punya kepentingan langsung akan perundangan tersebut berhak memberikan masukan secara langsung.
”Dalam RUU Cipta Kerja itu dampaknya tidak hanya satu hingga dua kelompok masyarakat, tapi seluruh warga terdampak karena ini UU sapu jagat semua sektor masuk,” katanya. Dengan demikian, ia mempertanyakan ”masukan masyarakat terdampak” ini bisa difasilitasi oleh DPR dalam situasi saat ini.