PSBB, Pertaruhan Jokowi
Presiden Joko Widodo baru akhir Maret lalu, menetapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar dan status Kedaruratan Kesehatan untuk mengatasi penyebaran Covid-19 yang saat ini massif. Efektifkah? Inilah pertaruhan Jokowi.
Melawan pandemi Covid-19, Presiden Joko Widodo memilih Pembatasan Sosial Berskala Besar atau PSBB, dan bukan "lockdown" atau penutupan kawasan. Efektif atau tidaknya keputusan itu, genderang "perang" sudah ditabuh.
Presiden Joko Widodo baru akhir Maret lalu, menetapkan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar dan status Kedaruratan Kesehatan untuk mengatasi penyebaran Covid-19 menyusul hampir sebulan lalu diawali dengan adanya dua warga Indonesia yang dinyatakan positif Covid-19.
Masyarakat sempat dibayangi kepanikan dan ketakutan menghadapi virus korona baru tersebut. Tak terkecuali, pemerintah daerah saat mengambil keputusan. Sejumlah pemerintah daerah seolah memutuskan sendiri dengan mengambil kebijakan isolasi wilayah agar penyebaran virus tak semakin meluas, seperti Papua dan Tegal, Jawa Tengah.
Baca Juga: Dampak Pembatasan Sosial Berskala Besar Mesti Diperhitungkan
Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB)--sebagai kelanjutan dari pembatasan sosial (social distancing)-- yang diputuskan Presiden Jokowi dengan dasar Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 dinilai oleh sebagian kalangan masih belum menjawab persoalan wabah Covid-19 secara komprehensif. Dengan PSBB, Presiden Jokowi mengacu pada Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 mengenai Kekarantinaan Kesehatan, dan tidak memilih lockdown, dalam arti penutupan suatu kawasan atau karantina wilayah.
"Pilihan PSBB didasari karena Presiden tidak ingin adanya lockdown, yang berarti semua orang tak boleh keluar rumah, transportasi umum dan pribadi dilarang serta aktivitas kantor dan ekonomi dihentikan. Lalu, bagaimana kesehatan dan kehidupan ekonomi warga miskin yang tak punya apa-apa. Sebaliknya, dengan PSBB, yang dipilih, maka pergerakan orang dibatasi, semua aktivitas, terutama ekonomi tetap berjalan. Hanya setiap orang diminta disiplin dan patuh menjaga jarak (phisical distancing), menghindari kerumuman, jaga kebersihan tangan, dan memakai masker. Jika tidak penting, dianjurkan tak keluar rumah"
Pilihan PSBB didasari karena Presiden tidak ingin adanya lockdown, yang berarti semua orang tak boleh keluar rumah, transportasi umum dan pribadi dilarang serta aktivitas kantor dan ekonomi dihentikan. Lalu, bagaimana kesehatan dan kehidupan ekonomi warga miskin yang tak punya apa-apa. Sebaliknya, dengan PSBB, yang dipilih, maka pergerakan orang dibatasi, semua aktivitas, terutama ekonomi tetap berjalan. Hanya setiap orang diminta disiplin dan patuh menjaga jarak (phisical distancing), menghindari kerumuman, jaga kebersihan tangan, dan memakai masker. Jika tidak penting, dianjurkan tak keluar rumah.
Pakar Hukum Tata Negara Umiversitas Gadjah Mada Yogyakarta Zainal Arifin Mochtar, dalam diskusi Satu Meja The Forum bertajuk ”Babak Baru Lawan Corona” yang ditayangkan Kompas TV, Rabu (1/4/2020), mengatakan, di tengah situasi penyebaran virus yang tak menentu, seharusnya Presiden punya kewenangan besar menutup wilayah episentrum wabah terlebih agar lagi tak menyebar ke wilayah lain.
Penambahan kewenangan itu, menurut Zainal, tak menjadi masalah ketika suatu negara menghadapi keadaan darurat. "Tinggal perspektifnya mau dibawa ke mana, penyelamatan rakyat dari pembengkakan kewenangan itu, ataukah menyelamatkan wilayah-wilayah lain. Saya berharap pembengkakan untuk penyelamatan rakyat," ujar Zainal.
Dalam diskusi yang dipandu Wakil Pemimpin Redaksi Harian Kompas Tri Agung Kristanto, hadir sejumlah pembicara di antaranya Pelaksana Tugas Deputi II Kepala Staf Kepresidenan Abetnego Tarigan, dan anggota Komisi XI DPR Fraksi Partai Demokrat Didi Irawadi Syamsuddin. Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir juga ikut meski lewat video telekonferensi.
Dinilai Tak Rinci
Zainal menyadari bahwa Presiden dihadapkan pada dua kondisi pelik saat memutus antara karantina wilayah atau PSBB. Dua hal itu yakni menyelamatkan nyawa masyarakat atau menyelamatkan kondisi perekonomian negara. Namun, apapun pilihannya, seharusnya negara mampu antisipasi.
Ia menyayangkan keputusan PSBB diambil dengan pembentukan PP yang terlalu minimalis. Ada detail yang tak dijelaskan ke publik terkait pemilihan PSBB sehingga terkesan memenuhi faktor hukum semata. "Harusnya banyak faktor yang dibicarakan secara multidisiplin hingga akhirnya negara menentukan ke arah (PSBB) sana, seperti faktor logistik, pembatasan sejauh mana, sampai wilayah mana, dan lain-lain. Ada semacam informasi yang tak terbagi rinci," ucap Zainal.
Belum selesai masalah itu, pemerintah juga memunculkan wacana darurat sipil. Zainal menilai, ide darurat sipil sangat rancu karena mengacu Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya, yang sebetulnya mengatur kondisi bencana alam, bukan nonalam.
"Bayangan saya, kalau memang ada kondisi memburuk, dinaikkannya ke arah karantina wilayah atau penegakan hukum di UU Kekarantinaan Kesehatan. Tetapi kok ini melompat ke Perppu 23/1959. Jadi, konsep (darurat sipil) ini sama sekali tak nyambung," tutur Zainal.
Didi pun sependapat darurat sipil tak dibutuhkan pada saat ini. "Saya kira berlebihan. Saya pikir ini (konsep darurat sipil) dikesampingkan. Sekarang lakukan penyelamatan nyawa manusia, dan penyelamatan dampak ekonomi," ujar Didi.
Anggaran Rp 405,1 triliun yang diambil pemerintah dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2020 guna mengatasi pandemi Covid-19, dinilai Didi bukan nominal kecil. Oleh karena itu, pemerintah lewat Menteri Keuangan, harus mampu melakukan perhitungan matang penggunaan dana tersebut. Kucuran dana harus mampu menjamin ketersediaan fasilitas kesehatan bagi tenaga medis, serta menjamin dampak sosial akibat virus korona. "DPR akan melihat implementasinya, apakah penyaluran anggaran itu efektif, tepat sasaran dan tepat guna," tanyanya.
Menyiapkan panduan
Terkait pilihan PSBB, Abetnego berharap masyarakat tak melihat keputusan pemerintah secara parsial. Pemilihan PSBB telah mempertimbangkan aspek geografis dan sosiologis bangsa Indonesia sehingga tak bisa serta-merta disamakan dengan negara-negara lain menghadapi wabah Covid-19, seperti Italia atau India.
Presiden pun, kata Abetnego, memutuskan kebijakan tersebut berdasarkan angka-angka potensi dan wilayah yang paling terdampak virus korona. Harapannya, dengan intervensi PSBB ini, pemberlakuan karantina wilayah, bahkan darurat sipil, tak lagi dibutuhkan.
"Jangan sampai kita pada situasi yang misalnya bias, dalam arti hanya mengandalkan intuisi dan tak didukung data. Ketika sebagian orang mengatakan lockdown, datanya kayak apa? Misal karantina wilayah juga kayak apa? Kita tak boleh lihat parsial," ujar Abetnego.
Pemerintah kini tengah menyusun panduan pelaksanaan PSBB. "Ini, kan, dalam waktu dekat, akan segera ada panduan terkait pelaksanaan PSBB sehingga harus cukup clear mana yang dilarang, mana yang tidak," tuturnya.
Abetnego berharap, penerapan PSBB bisa memutus rantai penyebaran Covid-19 dan meningkatkan kemampuan daerah menangani Covid-19. Dalam konteks ini, upaya-upaya kerja sama pemerintah dan masyarakat menjadi sangat penting. "Sebab, pengalaman-pengalaman di negara lain, kesukseskan bukan hanya pemerintahnya berani dan sebanyak-banyaknya sumber daya, tetapi butuh dukungan lebih luas dari masyarakat," kata Abetnego.
Dilematis BUMN
Di bawah kendali Erick Thohir, BUMN juga terus bergerak melawan pandemi Covid-19. Saat ini, pelayanan nyata ke publik dalam penanganan virus korona tetap menjadi prioritas. Itu terbukti dari penyediaan rumah sakit khusus pasien virus korona, serta hotel BUMN yang bisa digunakan untuk penginapan tenaga medis.
"Ini tak mudah. Berat sekali. Tetapi, kami tak boleh terlena karena virus ini, kami tak terus membangun. Kami harus pastikan proyek-proyek strategis tetap jalan. Jangan sampai negara-negara lain pulih, kita masih dalam situasi ini"
Namun, Erick mengakui BUMN menghadapi situasi yang tak mudah karena harus tetap menjaga laju keuangan perusahaan BUMN agar tetap kondusif. Padahal, gara-gara Covid-19, Semua BUMN kini terimbas kemampuan.
Baca Juga: Untuk Menekan Penularan Covid-19, Pembatasan Sosial Mesti Dikawal hingga di Lapangan
Bahkan, Erick menyebut, setiap hari di tengah wabah korona, seluruh direksi BUMN terus menggelar rapat untuk memastikan antara korporasi dan pelayanan publik berjalan optimal. Untuk itu, dia membentuk dua tim untuk perang melawan virus korona. Yang satu fokus pada penanganan virus korona, satunya lagi fokus pada korporasi.
"Ini tak mudah. Berat sekali. Tetapi, kami tak boleh terlena karena virus ini, kami tak terus membangun. Kami harus pastikan proyek-proyek strategis tetap jalan. Jangan sampai negara-negara lain pulih, kita masih dalam situasi ini," ujarnya.
"Perang" melawan Covid-19 pada akhirnya memang tak bisa dihadapi sendiri, tetapi harus bersama-sama, bergotong-royong. Namun, seberapa cepat dan efektif penyelesaian pandemi Covid-19 yang dicanangkan dengan memilih PSBB, inilah pertaruhan Presiden Jokowi sebagai panglima tertinggi negara.