Alih-alih Koruptor, Pemerintah Bisa Bebaskan Napi dengan Hukuman di Bawah 5 Tahun Penjara
Upaya pemerintah mengurangi penghuni LP dan rutan guna mencegah penyebaran Covid-19 diapresiasi berbagai kalangan. Namun, upaya itu diharapkan tak diboncengi kepentingan tertentu, seperti membebaskan napi kasus korupsi.
JAKARTA, KOMPAS — Pembebasan sejumlah narapidana dari lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan demi alasan pemberlakuan physical distancing atau pembatasan jarak perlu segera dilakukan. Akan tetapi, kebijakan itu diharapkan tidak ditunggangi kepentingan yang tidak relevan, seperti pembebasan koruptor.
”Koruptor-koruptor besar itu tidak ditahan di ruangan yang penuh sesak. Yang seharusnya dibebaskan adalah maling, penipu, pengguna (narkoba) yang hukumannya lima tahun ke bawah,” kata komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Amiruddin, Sabtu (4/4/2020).
Ia mengatakan, dari berbagai survei ke LP, sel-sel yang penuh dan sempit itu diisi oleh maling-maling keras teri. ”Satu ruangan bisa belasan orang,” katanya.
Hal tersebut terjadi karena sistem peradilan pidana di Indonesia memang cenderung ingin menjebloskan pelaku kejahatan ke penjara. Akibatnya, penjara penuh sesak karena pencuri yang dihukum tiga bulan penjara pun harus masuk ke LP atau rutan. Oleh karena itu, menurut Amiruddin, seharusnya narapidana dari kalangan inilah yang dibebaskan. Dengan demikian, ada ruang untuk menjaga jarak, termasuk untuk para koruptor kelas berat.
”Dalam konteks ini kita bicarakan hak atas kesehatan,” kata Amiruddin.
Oleh karena itu, jika ditinjau dari sisi HAM, ia mengatakan, napi yang mendapat hukuman lima tahun penjara ke bawah dan telah menjalani masa pidana selama dua tahunlah yang dibebaskan. Sebab, Covid-19 mudah menyebar di kerumunan manusia yang rapat. Sementara hampir semua LP/rutan di Indonesia kelebihan penghuni. Akibatnya, penjara berpotensi menjadi wadah bagi berjangkitnya Covid-19.
”Demi menyelamatkan manusia agar tidak terinfeksi, isi lapas harus dikurangi agar tercipta ruang untuk menjaga jarak,” kata Amiruddin.
Baca juga: Banyak Opsi Tanpa Harus Bebaskan Napi Korupsi
Sebelumnya, dalam rapat dengar pendapat antara Menkumham Yasonna H Laoly dan Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Rabu (1/4/2020), mengemuka dorongan dari anggota DPR agar pemerintah mencabut Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 yang menjadi halangan bagi napi tindak pidana khusus (korupsi, terorisme, narkotika, dan lainnya) mengikuti program asimilasi dan program integrasi. Sejumlah anggota DPR menilai kebijakan Menkumham tersebut diskriminatif karena tidak menyertakan napi-napi korupsi dan tindak pidana khusus lainnya.
Melalui Peraturan Menkumham No 10/2020 tentang Syarat Pemberian Asimilasi dan Hak Integrasi bagi Narapidana dan Anak, serta Kepmenkumham No M.HH-19.PK.01.04.04/2020 tentang Pengeluaran dan Pembebasan Napi dan Anak Melalui Asimilasi dan Integrasi, pemerintah memperkirakan akan bisa mengeluarkan 30.000-35.000 napi dari dalam lapas dan rutan. Pembebasan itu dilakukan untuk mengurangi kepadatan di dalam lapas dan rutan sehingga bisa mengurangi potensi penyebaran Covid-19. Namun, kedua peraturan itu mengecualikan tindak pidana khusus yang diatur di dalam Peraturan Pemerintah No 99/2012 tentangSyarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.
Konsistensi ditagih
Direktur Center for Detention Studies (CDS) Ali Aranoval, secara terpisah, mengatakan, jika pemerintah menyertakan empat jenis napi yang diatur di dalam PP No 99/2012 dalam program tersebut, sama halnya pemerintah tidak konsisten dengan aturan yang dibuatnya sendiri. Selain itu, posisi PP No 99/2012 lebih tinggi daripada permenkumham dan kepmenkumham sehingga seharusnya tidak dapat diterobos.
”Sebaiknya napi yang diatur di dalam PP No 99/2012 diabaikan saja dulu. Jangan terpengaruh gerakan politik di DPR. Jangan sampai keadilan dipolitisasi,” katanya.
Kalaupun Kemenkumham tetap ingin menyasar napi narkotika yang diatur di dalam PP No 99/2012, sebaiknya yang dilakukan ialah revisi terbatas hanya pada kasus narkoba. Diakui oleh Ali, memang ada persoalan dalam pelaksanaan PP No 99/2012 karena penegak hukum kerap tidak membedakan pemakai, pengedar, dan bandar sehingga memenjarakan mereka semua dengan aturan yang sama.
Baca juga: Penerapan Jaga Jarak di LP/Rutan Tak Harus Ubah PP No 99/2012
Beberapa di antara napi yang sebenarnya bukan bandar narkoba ternyata dipenjara dengan hukuman tinggi atau di atas lima tahun penjara sehingga hak-haknya sebagaimana diatur di dalam PP No 99/2012 dibatasi. Mereka tidak dapat mendapatkan remisi, asimilasi, dan pembebasan bersyarat, kecuali menjadi justice collabolator atau orang yang bekerja sama dengan penegak hukum untuk mengungkap jaringan kejahatannya. Kondisi ini menyumbang pada kepadatan lapas dan rutan.
”Sekitar 60 persen kepadatan lapas diakibatkan oleh napi narkotika. Dengan kondisi sekarang, kapasitas lapas dan rutan kita 130.000 orang, tetapi diisi dengan lebih dari 250.000 orang. Untuk bisa efektif, maka pelepasan napi sebaiknya bisa sampai 100.000 napi sehingga signifikan mengurangi kepadatan lapas,” katanya.
Selain menyisir napi narkotika dengan hukuman di bawah 5 tahun penjara, Kemenkumham juga dapat memprioritaskan napi perempuan dan anak serta kelompok rentan lain, seperti napi yang berusia di atas 60 tahun, difabel, atau sakit berkepanjangan yang disertai dengan surat dokter.
”Namun, syarat kelompok rentan itu harus tetap dikecualikan dari tipidsus yang diatur di dalam PP No 99/2012. Kalau tidak dikecualikan, berarti sama saja napi tipidsus bisa dibebaskan dengan kebijakan di tengah Covid-19 ini,” kata Ali.
Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Pemasyarakatan Kemenkumham Nugroho mengatakan, pihaknya sangat berhati-hati dalam melepaskan napi terkait dengan pencegahan Covid-19, termasuk usulan guna memberlakukan kebijakan itu untuk napi korupsi. ”Kami akan berhati-hati, jangan sampai kami yang bersusah payah ini dituduh mengambil kesempatan di tengah kesempitan. Kami tidak seperti itu. Kami berjuang dengan sangat hati-hati,” katanya.
Hingga Sabtu, 30.432 napi telah menjalani program asimilasi dan integrasi. Usulan bagi napi rentan, termasuk mereka yang lanjut usia, difabel, napi perempuan yang hamil dan menyusui, ataupun napi yang sakit berkepanjangan, menurut Nugroho, saat ini belum ada payung hukumnya. Sebagian dari napi rentan itu belum memenuhi syarat yang diatur di dalam Perkemkumham No 10/2020, yakni sedikitnya telah menjalani dua pertiga hukuman. Selain itu, ada pertimbangan memberikan kemudahan kepada napi rentan sekalipun bukan kasus pidana umum.
”Kalaupun itu diberikan, pertimbangannya murni kemanusiaan dan medis,” katanya.
Sebelumnya, Yasonna di dalam RDP dengan Komisi III DPR menyebutkan sedang mempertimbangkan untuk membebaskan napi rentan yang berusia di atas 60 tahun, difabel, dan sakit berkepanjangan, dengan tidak mengecualikan napi yang diatur di dalam PP No 99/2012. Artinya, napi kejahatan luar biasa, seperti korupsi, terorisme, narkoba, dan pelanggaran HAM berat, dapat diberi kebebasan asalkan memenuhi syarat kerentanan yang ditetapkan pemerintah.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Nasdem, Taufik Basari, mengatakan, status napi seharusnya sama antara napi tindak pidana umum dan pidana khusus. Mereka seharusnya diberi hak-hak yang sama, termasuk untuk menikmati remisi, asimilasi, dan pembebasan bersyarat. Permenkumham dipandang diskriminatif karena membedakan napi berdasarkan kejahatannya.
”Konsep pemidanaan modern bukan penghukuman dalam bentuk balas dendam, yang membikin sengsara. Konsep pemidanaan modern ialah sejalan dengan keadilan restoratif (restorative justice) yang bertujuan untuk membuat napi memperbaiki diri. PP No 99/2012 membuat napi kehilangan semangat untuk berbauat baik karena tidak ada reward (ganjaran) berupa keringanan hukuman atau remisi dan pembebasan bersyarat,” katanya.
Namun, menurut Taufik, persoalan paling besar dari PP No 99/2012 berada di dalam penanganan napi narkotika, bukan napi korupsi, terorisme, ataupun pelanggaran HAM berat.