Pemerintah keluarkan anggaran untuk tangani Covid-19 lewat Perppu No.1/2020. Meski demikian, Pasal 27 perppu itu tetap tak memberikan hak imunitas terhadap pejabat pengguna dana jika menyimpang dan menyalahgunakananya.
Oleh
INK/PDS
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Pasal 27 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 yang memberikan hak imunitas terhadap pejabat pengguna dana tanggap darurat wabah Covid-19 tetap memiliki kekuatan pidana. Pasal itu tidak bisa melindungi pihak-pihak yang memiliki niat jahat untuk menyimpangkan keuangan negara.
”Kebijakan memang tidak bisa dipidana, tetapi penyimpangan (atas kebijakan tersebut) tidak bisa tidak dipidanakan,” kata Feri Amsari, Direktur Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas, Padang, Jumat (3/4/2020).
Pasal 27 Ayat (2) Perppu No 1/2020 mengatur, pejabat yang berkaitan dengan pelaksanaan perppu tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan aturan.
Menurut Feri, yang tidak boleh dipidanakan adalah kebijakan yang dianggap keluar dari prosedur normal. Sebab, dalam kondisi darurat bencana wabah Covid-19, tak mungkin menjalankan prosedur sebagaimana mestinya. Akan tetapi, apabila ada pihak yang mencari keuntungan dari kebijakan terkait penanganan Covid-19, sanksi pidana bisa diterapkan kepada yang bersangkutan.
”Kebijakan memang tidak bisa dipidana, tetapi penyimpangan (atas kebijakan tersebut) tidak bisa tidak dipidanakan”
Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rohman, pun mengingatkan potensi korupsi yang selalu ada dalam situasi bencana. Korupsi dana bencana sudah beberapa kali terjadi, seperti pada saat bencana alam di Aceh, Nusa Tenggara Barat, dan Sulawesi Tengah.
Zaenur mengapresiasi langkah pemerintah yang menyediakan dana Rp 405,1 triliun untuk tanggap darurat Covid-19. Dana itu, tambahnya, rentan dikorupsi karena adanya kelonggaran dalam perencanaan dan penggunaan dana. Untuk itu, perlu pendampingan dan pengawasan secara ketat untuk mencegah pihak-pihak tertentu mencari keuntungan pribadi.
Terkait komitmen pengawasan, Komisi Pemberantasan Korupsi telah mengambil sejumlah langkah. Ketua KPK Firli Bahuri telah menerbitkan surat edaran terkait penggunaan anggaran pelaksanaan pengadaan barang dan jasa dalam rangka penanganan Covid-19.
”Salah satu kegiatan penting saat ini adalah pengadaan barang dan jasa dalam penanganan Covid-19, seperti pengadaan APD (alat pelindung diri). Maka, KPK dalam upaya pencegahan korupsi, pemantauan, dan koordinasi membantu Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 di tingkat nasional dan daerah terkait dengan pencegahan korupsi”
KPK pun telah mengkaji modus-modus korupsi dana bencana, yaitu persekongkolan atau kolusi dengan penyedia barang/jasa, menerima pembayaran balik dari penyelia, penyuapan, gratifikasi, benturan kepentingan, perbuatan curang, dan sejumlah modus lainnya.
”Salah satu kegiatan penting saat ini adalah pengadaan barang dan jasa dalam penanganan Covid-19, seperti pengadaan APD (alat pelindung diri). Maka, KPK dalam upaya pencegahan korupsi, pemantauan, dan koordinasi membantu Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 di tingkat nasional dan daerah terkait dengan pencegahan korupsi,” tutur Firli.
KPK pun telah membentuk tim khusus yang akan bekerja bersama satuan tugas di tingkat pusat dan daerah serta dengan pemangku kepentingan lainnya. Langkah ini adalah respons KPK terkait dengan arahan Presiden agar KPK turut mengawasi proses percepatan penanganan Covid-19.