Tentara di Pusaran Pandemi Virus Korona
Menghadapi Covid-19, berbagai negara mengeluarkan kebijakan mengerahkan segala kemampuan. Polisi dan tentara dikerahkan dalam kebijakan bernuansa melindungi, bukan memperkuat kekuasaan, apalagi dengan cara yang keras.
Di berbagai negara, aparat keamanan diikutsertakan secara aktif menanggulangi pandemi Covid-19 dalam bermacam bentuk pelibatan. Peran TNI dan Polri di Indonesia dalam menangani wabah ini sangat signifikan di banyak lini.
Dalam menghadapi wabah Covid-19, berbagai negara mengeluarkan kebijakan sesuai dengan karakteristik pemerintah dan masyarakatnya. Polisi dan tentara dikerahkan dalam kebijakan bernuansa melindungi, bukan memperkuat kekuasaan, apalagi dengan cara yang keras.
Baca juga : Pesawat TNI Jemput Alat Perlindungan Diri Tenaga Medis ke Shanghai
Tiap negara memiliki alat negara yang berbeda-beda. China yang cepat bertindak mengisolasi Wuhan, dengan kemampuan big data-nya, mengatur alur manusia dan logistik. Negara totaliter itu mengerahkan sekitar 10.000 personel militer, 4.000 di antara mereka tenaga medis militer.
Peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Curie Maharani dan Novi Jauhari, dalam artikel ”Prasyarat Lockdown dan Aspek Militer dalam Penanggulangan Covid-19” mencatat kepiawaian medis militer China. Jumlah medis militer China mencapai 79.000 orang dan telah pengalaman meneliti peperangan biokimia dan menangani wabah, seperti SARS. Akademi Ilmu Kedokteran Militer Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) berdiri sejak 1951 dan bermitra dengan lembaga serupa di AS dan Inggris.
Baca juga : Saatnya Melakukan Pemeriksaan secara Masif
Singapura yang walaupun warganya relatif sedikit, tetapi merupakan persilangan komunitas internasional, telah melaksanakan kebijakan terkait Covid-19 pada 2 Januari 2020, dua hari setelah China mengumumkan penyakit pneumonia misterius di Wuhan. Militer Singapura ditugaskan membantu distribusi masker ke masyarakat, membantu pengawasan penumpang di Changi, serta membantu penelusuran kontak.
Kehadiran tentara berseragam Singapura di mana-mana, menurut Vivian Ng, mantan anggota militer Singapura di situs The Diplomat, memberikan sinyal kepada masyarakat tentang kehadiran pemerintah. Apalagi, militer Singapura banyak berasal dari wajib militer. Kehadiran ayah, anak, adik, kakak, dan teman membangun rasa kebersamaan bahwa Covid-19 diatasi bersama-sama.
Di AS, sama seperti perang, semua pabrik dikerahkan. Presiden Donald Trump mengaktifkan Undang-Undang Produksi Pertahanan sehingga negara berhak memobilisasi industri swasta. Produsen otomotif GM dan Ford harus memproduksi ventilator sebanyak 3.500 per minggu. Gubernur New York Andrew Cuomo mengatakan, wilayahnya membutuhkan sekitar 30.000 ventilator. Di situs New York Post disebutkan, padahal, seluruh AS hanya punya 16.000 ventilator dan 7.713 operator yang bisa mengoperasikannya.
Di AS, sama seperti perang, semua pabrik dikerahkan.
Presiden Perancis Emmanuel Macron meluncurkan operasi militer ”Ketangguhan” untuk melawan Covid-19 dan membantu masyarakat. Dalam operasi itu, militer dikerahkan untuk bidang-bidang kesehatan, logistik, dan perlindungan. Helikopter, misalnya, akan dikerahkan untuk mengangkut pasien.
Di Jerman, Dw.com memberitakan, sudah ada 160 prajurit per 26 Maret lalu yang positif Covid-19, sementara 700 yang lain dikarantina. Militer Jerman menyiapkan 105 tempat tidur untuk ICU, lengkap dengan ventilator. Jumlah ini akan terus bertambah karena diperkirakan tidak cukup. Bahkan, anggaran untuk pembelian senjata dialihkan sebesar 261 juta dollar AS untuk membeli alat-alat perlindungan diri bagi dokter dan paramedis.
Banyak negara yang tidak merasa nyaman dengan lockdown, apalagi disertai dengan aparat keamanan yang mengacungkan senjata. Akan tetapi, angkatan bersenjata kini berperan di mana-mana. Mereka banyak yang masih berusia muda dan sangat baik digunakan dalam operasi yang sarat dengan logistik dengan persiapan yang singkat. Peralatan mereka lengkap, banyak sumber daya manusia, dan bisa dengan cepat memindahkan barang dalam jumlah banyak.
Kiprah TNI
Kiprah TNI di Indonesia juga menunjukkan pengabdian yang luar biasa. Mulai dari observasi di Natuna, Kepulauan Riau; membuat rumah sakit di Pulau Galang, mengambil APD dari Shanghai, hingga menurunkan tenaga medis dan membuat rumah sakit-rumah sakit militer siap menangani pasien Covid-19. Mereka telah berkontribusi luar biasa. Sistem di rumah sakit darurat Wisma Atlet tidak akan bisa berjalan tanpa kehadiran tenaga-tenaga medis militer. Masyarakat melihat bagaimana Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto dan segenap jajarannya berupaya keras di berbagai lini tanpa henti. KSAD Jenderal TNI Andika Perkasa juga telah memerintahkan jajaran RS TNI AD membangun tenda lapangan dan ruang isolasi.
Yang perlu diingat adalah prajurit TNI tidak kebal virus. Protokol harus direncanakan secara cermat dan dilaksanakan. Sudah adanya beberapa korban di jajaran TNI, bahkan meninggal, mengingatkan akan hal ini. Kultur TNI yang tidak ingin terlihat lemah malah bisa membahayakan seluruh jajaran karena Covid-19 menular dengan cepat. Walaupun disebutkan bahwa Covid-19 berbahaya bagi orang tua, data-data menunjukkan kalau orang muda juga rentan.
Catatan yang lain adalah bahwa Covid-19 juga berpengaruh pada kesiapan militer, baik langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, aparat sipil yang terlibat, mulai dari pemerintah daerah, kementerian/lembaga terkait, dan dinas-dinas, juga perlu sepenuh hati bekerja bersama-sama. Tidak jarang prajurit TNI merasa bingung karena hal-hal yang seharusnya bisa dikerjakan sipil harus dikerjakan oleh TNI. Perlu diingat, TNI itu karakternya dilatih untuk bertempur.
Penggunaan aparat di Indonesia, terutama TNI dan anggota Kepolisian Negara RI, tidak lepas dari kultur masyarakat yang masih memandang orang berseragam sebagai sosok yang harus didengar. Model-model kampanye untuk berjaga dari Covid-19 yang dilakukan berdampingan Polri dan TNI di desa-desa dengan menggunakan bahasa daerah sangat baik dan perlu diintensifkan.
Pada akhirnya, penggunaan aparat tidak menjadi masalah, asalkan digunakan dalam konteks yang tepat. Rasa-rasanya mustahil untuk menutup seluruh wilayah Indonesia secara fisik.
Militerisasi
Curie Maharani menekankan agar pemerintah menemukan cara mobilisasi dan penanganan bencana yang jauh dari militerisasi.
Anggota Komisi I DPR dari PDI Perjuangan, Tubagus Hasanuddin, mengatakan, dilihat dari kondisi lapangan, pemda-pemda tidak cepat tanggap dan penuh dengan prosedur yang memberi kesan lepas dari tanggung jawab dalam menghadapi wabah Covid-19. Karena itu, perlu dipikirkan untuk mengerahkan TNI dan Polri di daerah agar lebih aktif lagi dalam mengatasi Covid-19. Akan tetapi, ia tidak sepakat kalau diadakan situasi darurat sipil. Alasannya, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1959 tentang Penetapan Keadaan Bahaya itu tidak relevan dan tidak efektif untuk mengatasi Covid-19. Malah, nuansanya terlalu militeristik.
Hal senada dikatakan Fadli Zon dari Partai Gerindra yang menyoroti undang-undang tersebut memberikan kekuasaan koersif kepada pemerintah. Padahal, yang seharusnya dilakukan sekarang adalah menyelesaikan masalah-masalah nyata, seperti kekurangan APD, kekurangan ventilator, dan pelaksanaan pembatasan sosial berskala besar.
Pada akhirnya, yang kita harapkan adalah politik yang kompeten untuk melindungi masyarakat. Bukan sekadar mencari keuntungan golongan atau mencari-cari alasan.