DPR dituding sengaja membahas RUU Cipta Kerja di saat atensi publik tersita pada pandemi Covid-19. DPR bisa kehilangan kepercayaan publik.
Oleh
RINI KUSTIASIH / NIKOLAUS HARBOWO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Di tengah desakan publik agar Dewan Perwakilan Rakyat menunda pembahasan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja, Badan Legislasi DPR memutuskan untuk tetap membahas regulasi yang dibentuk dengan metode hukum sapu jagat tersebut.
Keputusan itu diambil dalam rapat pimpinan Baleg DPR di Jakarta, Senin (6/4/2020). Pada tahap awal pembahasan, Baleg DPR bakal menyerahkan draf RUU Cipta Kerja kepada setiap fraksi di DPR agar setiap fraksi bisa menyusun daftar inventarisasi masalah (DIM). Pada masa persidangan DPR kali ini juga, Baleg DPR akan menyerap aspirasi publik.
Wakil Ketua Baleg DPR dari Fraksi Partai Nasdem Willy Aditya mengatakan, di tengah pandemi Covid-19, DPR harus tetap menjalankan fungsinya membentuk UU. Namun, menurut Willy, cara DPR membentuk UU itu jauh lebih penting. Khusus untuk RUU Cipta Kerja, sesuai dengan mekanisme yang ada, fraksi-fraksi akan diajak bicara dan diberi kesempatan untuk menyusun DIM.
”Selasa (7/4/2020) ini, drafnya dibagikan kepada fraksi-fraksi dan nanti akan didengarkan pendapat fraksi soal ini. Mereka yang akan menentukan berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menyusun DIM. Pasti tidak bisa selesai dalam 1-2 bulan karena dalam kondisi darurat seperti ini, tentu tidak bisa cepat-cepat dalam mencermati persoalan,” katanya.
Bersamaan dengan penyusunan DIM oleh fraksi-fraksi, Baleg DPR akan berkomunikasi dengan pihak-pihak yang berkeinginan menyampaikan aspirasi mereka terkait RUU Cipta Kerja. Mereka, yang di antaranya berasal dari kalangan buruh, masyarakat sipil, dan pengusaha, telah bersurat kepada DPR.
”Mereka tentu harus diajak bicara dan kami dengarkan suaranya, bisa secara virtual ataupun fisik,” kata Willy.
Ia menekankan, pembahasan aturan sapu jagat itu pada masa persidangan DPR kali ini belum sampai pada pembahasan pasal per pasal. Bahkan, kecil kemungkinannya pembahasan masuk ke pasal-pasal di RUU pada masa sidang DPR yang jadwalnya berakhir pada 12 Mei 2020.
Menurut Willy, Baleg DPR yang ditugasi membahas undang-undang sapu jagat bersama pemerintah bakal menjadi fasilitator antara kepentingan pemerintah dan publik. Kedua kepentingan itu tidak ingin dipertentangkan, tetapi difasilitasi dalam jembatan komunikasi politik.
”Tidak tertutup kemungkinan, misalnya, kluster ketenagakerjaan kami keluarkan dari pembahasan omnibus law. Itu dimungkinkan saja, tetapi, kan, harus dikomunikasikan dan dibahas dengan semua pihak yang berkepentingan,” katanya.
Ketua Baleg DPR Supratman Andi Agtas pun berjanji, kalangan buruh akan didengar suaranya. Pertemuan dengan kalangan buruh bisa digelar fisik ataupun dalam rapat virtual dengan memanfaatkan teknologi telekonferensi. Penyerapan aspirasi juga disebutnya akan menjadi fokus Baleg DPR selama masa sidang DPR saat ini.
Manfaatkan momentum
Anggota Gerakan untuk Indonesia yang Adil dan Demokratis (GIAD), Alwan Ola Riantoby, mengatakan, keputusan untuk terus melanjutkan pembahasan RUU Cipta Kerja di tengah kondisi darurat Covid-19 menunjukkan DPR abai pada rasa kemanusiaan.
Pada saat semua pihak fokus pada penanganan Covid-19, demikian halnya pemerintah pusat dan daerah, DPR justru lebih memilih untuk mengikuti prosedur formal yang tidak ada kaitan sama sekali dengan problem kemanusiaan yang saat ini terjadi.
”Kita sama-sama tahu RUU omnibus law ini mendapatkan kritikan dari banyak elemen masyarakat. Kalau DPR ngotot membahas ini, sebenarnya yang sedang diperjuangkan aspirasi siapa, apakah DPR sedang memperjuangkan oligarki atau korporasi? Atau jangan-jangan DPR ini ingin mengambil momentum di tengah-tengah perhatian semua orang pada Covid-19 untuk meloloskan UU yang mereka setujui,” katanya.
Dengan sikap DPR yang seperti itu, kata Alwan, publik berpotensi tidak lagi memercayai DPR jika pilihan kebijakan yang diambil justru jauh dari kepentingan dan kebutuhan publik. Karena itu, di dalam kondisi darurat Covid-19 ini, warga kehilangan tidak hanya kepemimpinan dan teladan, tetapi juga disuguhi rendahnya rasa solidaritas sosial wakil rakyat.
”Rakyat punya catatan tersendiri bagaimana mereka memaksakan pengesahan RUU KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), September 2019. Bahkan, sampai timbul korban jiwa dalam peristiwa itu. Tentu catatan ini tidak akan dilupakan oleh rakyat dan bisa berdampak pada legitimasi mereka sebagai wakil rakyat. Rakyat bisa makin tidak percaya pada partai politik dan DPR,” katanya.
Hasil kajian Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Universitas Andalas menunjukkan, tetap dibahasnya RUU Cipta Kerja seolah menunjukkan DPR tidak ingin mendengarkan masukan masyarakat. Padahal, partisipasi publik dalam pembuatan UU diwajibkan Pasal 96 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Ditambah lagi, PUSaKO menilai, banyak kelemahan dan pelanggaran dari RUU tersebut, terutama yang menyangkut hak konstitusional warga.
Upaya terus membahas undang-undang sapu jagat saat kondisi darurat Covid-19 pun dinilai PUSaKO sangat jauh dari relevansi dan kebutuhan rakyat yang menderita karena Covid-19.
”Siapa yang akan berinvestasi di dalam kondisi darurat seperti ini. Negara mana yang akan berinvestasi ke Indonesia sehingga RUU itu dipaksakan untuk dibahas. Sama sekali tidak ada urgensi dibahas dalam kondisi darurat semacam ini,” kata Charles Simabura, pengajar Hukum Tata Negara Universitas Andalas yang juga peneliti PUSaKO.