Utak-atik Aturan Narapidana Khusus
Presiden Joko Widodo telah menegaskan tidak akan merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012. Namun, DPR sepertinya tak kehilangan akal. Peraturan coba dicabut melalui RUU Pemasyarakatan.
Presiden Joko Widodo telah menegaskan tidak akan merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012. Namun, DPR sepertinya tak kehilangan akal. Peraturan coba dicabut melalui RUU Pemasyarakatan.
Dorongan mencabut Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 yang muncul dalam rapat dengar pendapat antara Komisi III DPR dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Hamonangan Laoly, Rabu (1/4/2020), sempat memunculkan kegaduhan pada saat publik sedang tertekan menghadapi pandemi Covid-19.
Bagaimana tidak, PP No 99/2012 diterbitkan untuk mengatur pengetatan pemberian remisi dan asimilasi, serta pembebasan bersyarat bagi narapidana tindak pidana khusus. Mereka adalah narapidana korupsi, teroris, dan bandar narkoba, serta pelanggar HAM berat.
Jadi, jika PP itu dicabut, mereka berpeluang lebih cepat bebas. Padahal, kejahatan yang mereka lakukan merupakan kejahatan luar biasa yang dampaknya besar pada bangsa dan negara sehingga selama ini perlakuan terhadap narapidana itu dibedakan dengan narapidana tindak pidana umum.
Baca juga: Presiden: Pembebasan Bersyarat Hanya untuk Napi Pidana Umum, Bukan Koruptor
Niat untuk mencabut PP bukan kali ini saja muncul. Berdasarkan catatan Indonesia Corruption Watch, niat itu sudah muncul pada 2015, 2016, 2017, dan 2019. Kali ini, munculnya dorongan mencabut PP tak lepas dari kebijakan Kemenkumham mempercepat pembebasan narapidana tindak pidana umum guna mencegah penyebaran Covid-19 di lembaga pemasyarakatan (lapas) dan rumah tahanan (rutan).
Kondisi lapas dan rutan yang melebihi kapasitas membuat penyebaran Covid-19 dapat masif terjadi di dalam lapas ataupun rutan.
Pembebasan itu dilakukan dengan menerbitkan Peraturan Menkumham (Permenkumham) No 10/2020 tentang Pemberian Asimilasi dan Hak Integrasi bagi Napi dan Anak, serta Keputusan Menkumham No M.HH-19.PK.01.04.04/2020 tentang Pengeluaran dan Pembebasan Napi dan Anak Melalui Asimilasi dan Integrasi.
Pembebasan ini disebutkan Yasonna dalam rapat, tak termasuk narapidana yang diatur di dalam PP No 99/2012. Menurut peraturan tersebut, mereka harus berstatus justice collabolator atau orang yang bekerja sama dengan penegak hukum untuk bisa mendapatkan hak remisi, asimilasi, ataupun pembebasan bersyarat.
Pernyataan Yasonna itu mengundang protes banyak anggota Komisi III. Tak sedikit yang menilai kebijakan Menkumham diskriminatif karena tak mengikutsertakan narapidana korupsi.
”Saya melihat Permenkumham No 10/2020 diskriminatif karena napi kasus korupsi tidak dimasukkan. Apakah menteri bisa yakin mereka tidak akan kena virus korona?” kata anggota Komisi III dari Fraksi PKS, Nasir Djamil.
Mendapat tekanan itu, Yasonna mengungkapkan rencananya yang lain, yaitu pembebasan napi yang usianya di atas 60 tahun, penyandang disabilitas, dan sakit berkepanjangan yang harus dibuktikan dengan surat dokter. Napi dimaksud termasuk napi yang diatur oleh PP No 99/2012. Ia memperkirakan ada tambahan sekitar 300 napi bisa dibebaskan jika kelak usulan itu disetujui presiden.
RUU Pemasyarakatan
Tak puas dengan usulan tersebut, sejumlah anggota Komisi III DPR tetap mendesak agar PP dicabut. Namun, beberapa anggota lainnya tak kehilangan akal. Mereka mengingatkan sudah ada norma di RUU Pemasyarakatan yang akan membatalkan norma dalam PP. Oleh karena itu, pembahasan RUU Pemasyarakatan menjadi salah satu poin yang didesakkan agar segera dilanjutkan di DPR.
Baca juga: Banyak Opsi Tanpa Harus Bebaskan Napi Korupsi
Rapat Paripurna DPR, Kamis (2/4/2020), memperlihatkan hal tersebut. Rapat bahkan menyetujui RUU Pemasyarakatan untuk dilanjutkan pembahasannya ke tingkat II atau persetujuan pengesahan menjadi UU di Rapat Paripurna DPR.
RUU ini sebelumnya telah disetujui disahkan menjadi UU di tingkat I pada DPR periode 2014-2019. Hanya saja pengesahan waktu itu ditunda karena unjuk rasa besar-besaran di sejumlah daerah. Protes publik itu juga karena norma dalam RUU melonggarkan pemberian pembebasan bersyarat dan remisi bagi narapidana khusus, khususnya koruptor.
Sebagaimana diatur dalam draf RUU Pemasyarakatan, pemberian remisi atau pembebasan bersyarat untuk napi khusus hanya mengacu pada undang-undang dan putusan pengadilan. Tak ada lagi syarat justice collaborator seperti diatur di PP No 99/2012.
Perlawanan negara
Wakil Menkumham (2011-2014) Denny Indrayana mengingatkan, terbitnya PP No 99/2012 adalah politik hukum negara pada saat itu yang ingin lebih menegaskan perang melawan kejahatan-kejahatan luar biasa.
Jadi, kalau sekarang ada pemikiran melonggarkan syarat tersebut, hal itu perlu dikaji mendalam. Kebijakan mengubah PP tersebut dapat dipersepsikan bahwa politik hukum pemerintahan sekarang tidak pro pada pemberantasan kejahatan-kejahatan luar biasa.
Lagi pula, jika sasarannya untuk mengatasi kelebihan penghuni di lapas dan rutan, tidak tepat jika keputusan yang diambil mempercepat pembebasan narapidana khusus.
”Sepanjang pengetahuan saya, yang menyebabkan kepadatan lapas dan rutan itu ialah napi narkotika karena ketidakkonsistenan dalam menjalankan UU Narkotika. Akibatnya, pemakai narkotika dipenjara, sedangkan seharusnya direhabilitasi,” katanya.
Yang menyebabkan kepadatan lapas dan rutan itu ialah napi narkotika karena ketidakkonsistenan dalam menjalankan UU Narkotika. Akibatnya, pemakai narkotika dipenjara, sedangkan seharusnya direhabilitasi.
Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia M Isnur menambahkan, selama ini, narapidana korupsi tinggal dalam sel di lapas atau rutan yang terpisah dengan pelaku kejahatan lainnya. Dengan demikian, risiko mereka tertular Covid-19 tidak setinggi narapidana tindak pidana umum.
Kondisi lapas atau rutan pun tidak kelebihan kapasitas. Jika melihat data terakhir dari Sistem Database Pemasyarakatan, jumlah tahanan dan napi di Lapas Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat, misalnya, 454 orang, sedangkan kapasitas lapas 560 orang (Kompas, 3/4/2020).
Argumentasi Komisi III yang menyebutkan PP No 99/2012 diskriminatif juga sebenarnya telah lama terbantahkan. Berulang kali PP itu diuji materi ke Mahkamah Agung dan MA menolaknya. MA sepakat peraturan itu merupakan politik hukum yang tepat dalam upaya negara melawan kejahatan luar biasa.
”MA mengatakan secara terang benderang, PP No 99/2012 tidak bertentangan dengan UU dan secara tidak langsung tidak bertentangan dengan prinsip hak asasi manusia dan karena itu tidak diskriminatif,” kata Denny.
Mulai dari hulu
Menurut peneliti Center for Detention Studies (CDS), Gatot Goei, jika yang dijadikan patokan ialah kepadatan lapas, semestinya pemerintah mulai dari hulu, yakni revisi KUHP dan KUHAP. Dalam dua UU itu, mestinya ada ruang pengaturan terkait diversi atau alternatif penahanan atau pemidanaan pada kasus-kasus ringan dan kasus yang tidak berdampak pada korban.
”Perubahan ini pada level legislasi nasional yang melibatkan DPR dan Presiden. Perlu proses jangka panjang untuk mengganti kebijakan pemidanaan dan penahanan,” katanya.
Baca juga: Cegah Covid-19 Menyebar di Lapas, Pembebasan Narapidana Dipercepat
Kedua, memanfaatkan ruang kewenangan yang dimiliki kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Misalnya, grasi berdasarkan Pasal 14 Ayat (1) UUD 1945 merupakan kewenangan Presiden tetapi harus mendapatkan pertimbangan MA. Selain itu, ada amnesti berdasarkan Pasal 14 Ayat (2) UUD 1945 yang merupakan kewenangan presiden tetapi wajib mendapatkan pertimbangan DPR. Grasi atau amnesti bisa diberikan jika negara memutuskan urgensi mengurangi kepadatan di lapas dan rutan dalam situasi Covid-19.
Ketiga, cukup dengan menggunakan kebijakan Menkumham.
Dengan banyaknya opsi yang tersedia, sebenarnya sudah memadai untuk mengurangi kepadatan lapas tanpa perlu mengutak-atik PP No 99/2012. Jika ternyata masih diutak-atik, baik dengan mencabut PP maupun melalui UU, bukankah itu akan menguatkan kecurigaan publik selama ini bahwa pemerintah dan DPR tak serius memberantas korupsi dan kejahatan luar biasa lainnya?