Perubahan Desain Keserentakan Pilkada Harus Dikaji Komprehensif
Usulan Komisi II DPR agar desain pilkada serentak diubah dan disesuaikan dengan masa jabatan satu periode lima tahun dinilai tidak tepat. Penataan pilkada harus didukung simulasi dan kajian komprehensif.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penataan desain pilkada harus dilihat secara holistik dalam bingkai keserentakan pemilu sehingga tak bisa serta-merta disesuaikan dengan masa jabatan satu periode lima tahun. Opsi keserentakan pemilu harus berorientasi pada efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan pemilu, peningkatan literasi demokrasi bagi pemilih, serta efektivitas sistem presidensial.
Sebelumnya, dalam rapat dengar pendapat Komisi II DPR bersama Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, serta penyelenggara pemilu, Selasa (14/4/2020), Komisi II DPR mengusulkan kepada pemerintah agar pilkada disesuaikan dengan masa jabatan satu periode lima tahun sehingga pilkada digelar pada 2020, 2022, 2023, 2025, dan seterusnya. Hal ini diusulkan jadi bagian perubahan Pasal 201 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada melalui peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu).
Jika dipenuhi pemerintah, ini berarti mengubah desain keserentakan pilkada yang diatur dalam UU No 8/2015 tentang Pilkada yang kemudian diubah dengan UU No 10/2016. Dalam UU No 8/2015, pilkada didesain bergelombang dengan tujuan akhir pilkada serentak nasional tahun 2027. Dalam UU No 10/2016, waktu pilkada serentak nasional dimajukan menjadi tahun 2024.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi Titi Anggraini saat dihubungi di Jakarta, Rabu (15/4/2020), mengatakan, penataan jadwal pilkada dibutuhkan agar beban kerja bagi penyelenggara pemilu di pilkada serentak nasional 2024 tidak terlalu besar. Selain itu, penataan jadwal pilkada juga bertujuan menghindari potensi kerawanan pemilu yang tinggi akibat percampuran isu nasional dan lokal.
Titi khawatir, fenomena yang terjadi di pilkada serentak 2019 terulang saat pilkada serentak nasional 2024. Jika pemilu digabungkan, proses literasi demokrasi kepada pemilih akan semakin sulit karena terlalu banyak percampuran isu. Akibatnya, tingkat suara tidak sah menjadi sangat tinggi. Di Pemilu 2019, suara tidak sah di pemilu DPD 29 juta dan DPR mencapai 17,5 juta.
Di pilkada serentak, lanjut Titi, para kandidat kesulitan berkampanye yang berorientasi program karena kompetisi yang tinggi. Akibatnya, yang dipilih pendekatan pragmatis, seperti politik uang atau politik identitas.
Namun, kata Titi, penataan jadwal pilkada tetap tak boleh menghilangkan desain keserentakan pemilu. Hal itu telah diatur dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019.
Dalam putusan MK tersebut, ada enam pilihan model keserentakan pemilu yang tetap dapat dinilai konstitusional. Namun, untuk pemilihan model, MK menyerahkannya kepada pembentuk undang-undang; pemerintah dan DPR.
”Kalau memang DPR serius ingin melakukan penataan penjadwalan pemilu, upaya itu harus didukung dengan simulasi dan kajian komprehensif sehingga kita enggak bongkar pasang pengaturan jadwal yang bisa berdampak pada ketidakpastian dalam penataan jadwal itu sendiri,” ujar Titi.
Titi tidak sepakat apabila penataan jadwal pilkada hanya didasari pada masa jabatan satu periode lima tahun. Belajar dari penyelenggaraan Pemilu 2019, pengambilan keputusan opsi penataan jadwal pilkada harus menjadi bagian dari mewujudkan efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan pemilu, peningkatan literasi demokrasi bagi pemilih, serta efektivitas sistem presidensial.
”Jangan sekadar berorientasi pada periode masa jabatan. Kalau itu, kan, orientasinya sangat politis. Tetapi juga harus holistik melihat kepentingan penataan jadwal pemilu sesuai dengan tujuan untuk efektivitas pemerintahan dan penyelenggaraan pemilu yang betul-betul demokratis,” tutur Titi.
Belum bersikap
Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kemendagri Bahtiar menyampaikan, hingga kini, pemerintah belum bersikap terhadap usulan Komisi II DPR terkait penataan jadwal pilkada sesuai dengan masa jabatan satu periode lima tahun. Sebab, penerapan putusan MK Nomor 55/PUU-XII/2019 berkaitan langsung dengan substansi UU No 7/2017 tentang Pemilu.
”Putusan MK tersebut berimplikasi kepada desain pemilu dan pilkada secara lengkap sehingga tak bisa serta-merta hanya mengubah keserentakan pilkada,” ucap Bahtiar.
Menurut Bahtiar, pengubahan keserentakan pilkada lebih tepat menjadi materi simplikasi UU Pemilu, yang juga masuk Prolegnas 2020. Setiap opsi yang ada di putusan MK pun, lanjut dia, harus dilakukan simulasi secara tepat dan terukur.
”Opsi-opsi keserentakan dalam putusan MK ada enam opsi dan bahkan terbuka opsi lainnya sepanjang masih sejalan dengan putusan MK sehingga materi tersebut harus dilakukan simulasi secara tepat dan terukur terkait masa depan desain pemilu di Indonesia,” ujarnya.