Berikan Pemda Keleluasaan dalam Penanganan Covid-19
Pusat diharapkan memberikan lebih banyak diskresi kepada pemda dalam penanganan Covid-19. Di sisi lain, pemda dituntut untuk kreatif.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dihadapkan pada situasi darurat seperti pandemi Covid-19, peran pemerintah daerah sangat krusial. Ini karena mereka lebih memahami kondisi dan situasi pandemi di daerahnya serta kesulitan yang dihadapi warganya. Oleh karena itu, pemerintah pusat hendaknya memberikan keleluasaan pemerintah daerah untuk bergerak.
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng saat dihubungi di Jakarta, Senin (20/4/2020), mengatakan, birokrasi yang paling dekat dengan masyarakat adalah pemerintah daerah (pemda). Namun, yang terjadi, birokrasi yang berada di garda terdepan itu justru tidak dibekali senjata yang mumpuni dalam menangani pandemi Covid-19. Mereka terbatas dari sisi kebijakan dan fiskal.
”Ketika komando nasional bergerak lamban dan tak memperhatikan variasi dinamika lokal yang berbeda-beda, akhirnya kegagapan dan kegagalan dirasakan di tingkat paling riil di lapangan, di tingkat pemerintahan desa dan pemda. Itu yang sering disalahkan bukan presiden, tetapi kepala daerah karena bersentuhan langsung dengan banyak urusan masyarakat,” tutur Robert.
Adapun fakta di lapangan, menurut dia, pemda masih sangat bertumpu pada kebijakan pusat dan bergantung pada keuangan pusat.
Terkait kebijakan, seharusnya daerah diberikan kewenangan yang kuat agar ada percepatan penanganan pandemi. Sebab, daerah yang paling memahami kondisi dan situasi masyarakatnya.
Ia mencontohkan, sejumlah pemda sempat memutuskan kebijakan isolasi wilayah agar penyebaran virus korona baru tak semakin meluas, seperti yang dilakukan oleh Gubernur Papua Lukas Enembe dan Wali Kota Tegal, Jawa Tengah, Dedy Yon Supriyono. Namun, keputusan tersebut luruh setelah terdengar sampai ke pemerintah pusat. Presiden Joko Widodo pun memutuskan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) daripada karantina wilayah. Untuk PSBB pun, pemda baru bisa menerapkannya setelah memperoleh persetujuan menteri kesehatan.
”Diskresi harus semakin banyak diberikan kepada daerah. Model asimetris itu terutama untuk daerah-daerah yang tingkat kebencanaan dan kerawanan tinggi. Dia harus diberi keleluasaan agar bisa bergerak cepat,” ucap Robert.
Sentralisasi fiskal juga terasa menjadi penghambat utama daerah dalam penanganan Covid-19. Sejumlah daerah dinilainya tidak siap dan tidak memiliki kapasitas fiskal yang kuat.
”Negara ini, kan, masih 80 persen daerah sangat tergantung pada fiskal transfer pusat. Berarti butuh percepatan transfer. Ini tentang ketergantungan fiskal, bukan kemandirian fiskal. Situasi seperti ini baru terasa di masa krisis. Percepatan transfer enggak dilakukan. Hal ini membuat daerah-daerah yang tingkat kemandirian fiskalnya rendah karena masih tergantung pusat dan alokasi belanja pegawai begitu tinggi mulai kerepotan,” papar Robert.
Dengan kondisi itu, kepala daerah dituntut kreatif untuk memobilisasi dukungan dan sumber pendanaan di luar APBN ataupun APBD.
”Ketika transfer terlambat dan APBD kecil, berarti kepala daerah harus kreatif mencari sumber-sumber di luar itu. Nah, repotnya, kepala daerah kita selama ini punya perilaku buruk, yaitu tukang belanja. Dia menunggu uang datang, lalu ada uang dan dibelanjakan. Kalau tidak siap, ya, pemda kelimpungan,” tutur Robert.
Direktur Eksekutif Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Philip J Vermonte sependapat bahwa sepatutnya pemda diberi kewenangan yang besar karena mereka berada di garis terdepan dan berhubungan langsung dengan masyarakat.
Adapun pusat bisa menjadi pihak pendukung yang menyediakan dan memfasilitasi dari sisi ketersediaan payung hukum, atau memfasilitasi jaringan internasional serta bantuan luar negeri yang bisa dikelola pemda. ”Pemda yang lebih punya pengenalan terhadap situasi masyarakat,” ujar Philip.
Menurut Philip, pemda lebih tepat dalam pengambilan kebijakan karena mereka yang mengerti kondisi masyarakatnya. Terkadang, lanjut Philip, kebijakan pemerintah pusat tak bisa serta-merta diterapkan di situasi daerah.
”Mungkin permasalahan tiap tempat berbeda-beda, sementara pemerintah pusat cenderung melihat segala sesuatu dalam frame yang terstandardisasi sehingga mengurangi kemampuan untuk melihat keberagaman dan variasi kebijakan,” ucapnya.