Pengamat: Pengunduran Diri Belva Tak Sesederhana Istana Kepresidenan
Staf Khusus Presiden Joko Widodo, yang berasal dari kalangan milenal, Adamas Belva Syah Devara, mengundurkan diri secara resmi pada Selasa ini. Ia sebelumnya disorot publik karena dinilai diduga konflik kepentingan.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO DAN EDNA C PATTISINA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Staf Khusus Presiden Joko Widodo, yang berasal dari kalangan milenal, Adamas Belva Syah Devara, mengundurkan diri secara resmi pada Selasa (21/4/2020) ini. Ia sebelumnya disoroti publik terkait dengan platform Ruangguru yang menjadi salah satu penyedia aplikasi ruang belajar dalam Program Kartu Prakerja yang baru dimulai dan digagas pemerintah untuk memberikan solusi bagi mereka yang terdampak akibat pandemi Covid-19.
Selain Belva, sebelumnya juga ada Andi Taufan Garuda Putra, yang melalui surat edaran dengan kop Sekretariat Kabinet, meminta para camat di sejumlah daerah untuk mendukung sukarelawan PT Amartha Mikri Fintek dalam proyek penanggulangan Covid-19. Di perusahaan fintek itu, Andi merupakan CEO. Andi melalui siaran pers beberapa waktu lalu menyatakan, apresiasi dan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah mengkritiknya. Hal itu akan ia jadikan pelajaran penting memberikan kontribusi untuk negeri. Selanjutnya, ia meminta maaf dan menarik kembali surat tersebut.
Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia Yunarto Wijaya, saat dihubungi Selasa, di Jakarta, menilai, masalah pengunduran diri Staf Khusus Presiden tersebut, yang juga pendiri Ruangguru, Adamas Belva Syah Devara, tak sesederhana yang dikira.
Ada dua masalah. Pertama, ini sebenarnya puncak gunung es dari potensi konflik kepentingan (conflict of interest) dari siapa pun yang masih memiliki bisnis dan masih menempati posisi yang aktif dalam manajemen perusahaan. Belva hanya sebagai satu contohnya.
”Beberapa (stafsus) yang lain juga CEO, yang menjalankan bisnisnya dengan posisi sangat aktif. Ketika dia memutuskan menjadi stafsus, kode etiknya harusnya dia mengundurkan diri dari manajemen perusahaan.”
”Tetapi, kan, bukan hanya Belva. Beberapa (stafsus) yang lain juga CEO, yang menjalankan bisnisnya dengan posisi sangat aktif. Ketika dia memutuskan menjadi stafsus, kode etiknya harusnya dia mengundurkan diri dari manajemen perusahaan,” ujar Yunarto menambahkan.
Yunarto menuturkan, walaupun pekerjaan stafsus hanya pekerjaan part time, tetapi tidak boleh diasumsikan sebagai pekerjaan sambilan. Ini bisa menyebabkan terjadi konflik kepentingan. Pengunduran diri Belva, menurut Yunarto, tidak menyelesaikan masalah karena proyek kartu prakerja tetap jalan.
”Dia mundur dari stafsus. Artinya, kan, dia mengutamakan bisnisnya. (Pekerjaan stafsus) hanya dianggap sebagai sambilan. Harusnya tidak dong. Walau bersifat part time, tetapi porsi utama pekerjaan sebagai stafsus harus di atas yang lain karena ini bertugas untuk negara. Konsekuensinya sudah berbeda,” tutur Yunarto.
Pelajaran yang bisa direfleksikan dari masalah ini, lanjut Yunarto, adalah pertegas kode etik lingkaran dalam istana.
”Dan itu harusnya dimulai dari Presiden sendiri untuk belajar dari pengalaman ini, meminta bagaimana para staf khusus ini harus mengambil posisi yang jelas. Jangan nunggu kasus satu per satu. Kode etik itu ditegaskan sebagai bentuk pencegahan, bukan sebagai bentuk sanksi. Karena itu, yang paling bertanggung jawab bukan anak-anak muda ini yang mungkin masih belajar etika politik, tetapi harusnya istana yang dari awal memberikan batasan-batasan kode etik ketika ingin memberikan ruang lebih bagi anak-anak muda ini,” katanya.
Kedua, dari masalah ini, lanjut Yunarto, pemerintah harus mengevaluasi ulang penempatan anggaran dalam program kartu prakerja agar disesuaikan dengan kondisi krisis bangsa saat ini.
Problem mengenai program kartu prakerja tidak selesai dengan pengunduran diri Belva. Sebab, masalah utama sebenarnya adalah bagaimana adanya anggaran yang dianggap tidak tepat guna dalam situasi krisis pandemi Covid-19.
”Ini bukan momen yang tepat kartu prakerja dikonsepsikan untuk menghabiskan sebesar Rp 5,6 triliun seperti itu. Fokusnya lebih baik dalam bentuk incentive cash. Karena sekarang yamg dibutuhkan itu,” ujarnya.
Keppres pengangkatan staf khusus
Hal senada disampaikan peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW, Wana Alamsyah. Ia mengatakan, mundurnnya Belva Devara itu tidak cukup berhenti begitu saja. Semua mitra program kartu prakerja tidak hanya harus dievaluasi, tetapi juga ditunda pelaksanaannya.
”Hari ini, 21 April 2020, ICW mengirimkan surat kepada Kementerian Sekretariat Negara untuk meminta informasi mengenai Keputusan Presiden yang mengatur pengangkatan Staf Khusus Presiden.”
Wana juga menyoroti staf khusus secara umum. Ia mengatakan, hingga kini pemerintah tidak menyediakan informasi terkait Keputusan Presiden tentang pengangkatan staf khusus presiden. Sesuai dengan Pasal 21 Ayat 1 Peraturan Presiden No 17/2002 tentang Utusan Khusus Presiden, Staf Khusus Presiden, dan Staf Khusus Wakil Presiden ditetapkan dengan Keputusan Presiden. ”Tapi sampai hari ini, berdasarkan pantauan ICW di situs web Setneg, tidak ada dokumen itu,” kata Wana.
Padahal, menurut dia, keterbukaan informasi mengenai Keputusan Presiden tentang pengangkatan Staf Khusus sangat diperlukan publik. Dugaan konflik kepentingan yang terjadi beberapa waktu lalu telah memunculkan polemik. Polemik ini semakin diperuncing dengan ketiadaan informasi yang jelas mengenai tugas dan tanggung jawab staf khusus beserta dasar hukum pengangkatannya.
”Hari ini, 21 April 2020, ICW mengirimkan surat kepada Kementerian Sekretariat Negara untuk meminta informasi mengenai Keputusan Presiden yang mengatur pengangkatan Staf Khusus Presiden,” kata Wana melanjutkan. ICW pun meminta Kementerian Sekretariat Negara untuk segera membuka informasi mengenai Keputusan Presiden tentang pengangkatan 13 orang Staf Khusus Presiden. Informasi tersebut harus dapat diakses oleh publik luas. Sesuai dengan Pasal 21 UU KIP, Kementerian Sekretariat Negara harus memberikan informasi tersebut dengan prinsip cepat dan tepat waktu.