Arief Budiman akademisi terkemuka yang mengenalkan teori ketergantungan saat jargon pembangunan Orde Baru menghegemoni. Ia juga seorang aktivis tulen yang tak pernah menempatkan aktivis sebagai posisi sementara.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO / FX LAKSANA AGUNG SAPUTRA
·4 menit baca
Sekitar 10 tahun silam, Arief Budiman hadir di Kampoeng Percik, Salatiga, Jawa Tengah, untuk berbicara dalam sebuah forum. Kakak kandung Soe Hok Gie— aktivis muda yang meninggal saat mendaki Gunung Semeru akhir 1960-an—itu baru kembali ke Tanah Air setelah pensiun dari tugasnya sebagai guru besar di University of Melbourne, Australia.
Di sela-sela kegiatan itu, ia sempat bercerita soal niatnya tinggal enam bulan di Salatiga dan enam bulan di Australia. Salah satu alasannya tinggal enam bulan di Australia untuk mencari ketenangan.
”Kalau menonton televisi, saya suka mikir.... Apalagi kalau denger pidato pejabat negara, (saya) suka emosional. Kalau di Australia, perdana menterinya pidato, saya enggak terlalu mikir,” ucap Arief, saat itu, dengan tangan kiri yang kerap gemetar.
Kala itu, Arief sudah menderita sindrom parkinson. Pada Kamis (23/4/2020), Arief berpulang. Pria dengan nama kecil Soe Hok Djin itu mengembuskan napas terakhir dalam usia 79 tahun di Rumah Sakit Ken Saras, Bergas, Kabupaten Semarang, tak jauh dari Salatiga.
Di Salatiga, laki-laki kelahiran Jakarta, 3 Januari 1941, itu memiliki rumah yang asri di Jalan Kemiri, dekat dari Kampus Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW). Arief tinggal di sana bersama sang istri, Leila Ch Budiman, psikolog yang lama mengasuh rubrik psikologi di Kompas.
UKSW pernah menjadi tempat Arief mengajar. Dia juga mendirikan program pascasarjana pembangunan di kampus itu. Seusai menyelesaikan program doktor sosiologi di Harvard University, Amerika Serikat, tahun 1980-an, Arief Budiman memilih berkarya di UKSW. Ia mengajar di kampus itu hingga kemelut internal pada 1990-an membuatnya dipecat. Tahun 2015, pihak Rektorat UKSW meminta maaf kepada Arief Budiman.
Arief berhasil menutup bukunya sebagai aktivis tulen. Bagi banyak orang, menjadi aktivis adalah status sementara. Identitas mereka dituntut berubah karena usia yang bertambah, juga peluang, kebutuhan, dan kondisi hidup yang juga berubah.
Dari sisi keilmuan, Arief Budiman sosok yang memiliki terobosan ide. Freedom Institute menyebut Arief menawarkan pandangan berbeda saat semua orang terpana oleh teori modernisasi dan jargon pembangunan Orde Baru. ”Saya bukan pembuat teori ketergantungan. Saya cuma pengecer,” kata Arief, rendah hati, dalam wawancara dengan Kompas (5/8/2006).
Sosok langka
Profesor emeritus di Monash University, Australia, Ariel Heryanto, menyampaikan, Arief berhasil menutup bukunya sebagai aktivis tulen. Bagi banyak orang, menjadi aktivis adalah status sementara. Identitas mereka dituntut berubah karena usia yang bertambah, juga peluang, kebutuhan, dan kondisi hidup yang juga berubah.
”Arief berbeda. Ia tetap aktivis hingga masa tuanya. Dalam hal ini, ia makhluk langka,” ucap Ariel, yang pertama mengenal Arief di Salatiga pada 1980.
Nama Arief lekat dengan generasi tahun 1960-an. Sejak muda, ia terlibat aktif dalam sejumlah gerakan antikemapanan. Pada 1963, Arief menjadi salah seorang penanda tangan Manifes Kebudayaan atau dulu disebut Manikebu.
Delapan tahun berselang, Arief menginisiasi gerakan golongan putih (golput) karena tidak setuju dengan sistem tiga partai yang diterapkan Orde Baru. Arief pula yang memperkenalkan istilah golput.
Suara Arief makin keras ketika ia memprotes pembangunan Taman Mini Indonesia Indah karena menggusur rakyat pada 1971-1972. Karena protes itu, Arief tercatat pernah ditahan beberapa malam bersama beberapa aktivis lain.
Direktur Institut Asia dan profesor studi Asia di University of Melbourne, Vedi Hadiz, mengatakan, Arief adalah kombinasi pribadi yang jujur, intelektual dengan pemikiran tajam, dan sosok yang solider kepada masyarakat marjinal.
”Ia adalah kombinasi yang sangat unik, yang sangat sukar ditemukan di mana-mana. Saya kira, tidak ada orang yang bisa mengisi kekosongan yang ditinggalkannya,” kata Vedi yang mulai mengenal Arief saat menjadi aktivis mahasiswa pada tahun 1980-an. Vedi kini ”mewarisi” ruang kerja Arief di University of Melbourne.
Sahabat Arief, Yosep ”Stanley” Adi Prasetyo, mengungkapkan, semasa hidup, Arief memang tak pernah kendur mengkritik persoalan bangsa, termasuk kritik-kritik terhadap situasi yang ada di lingkungannya, termasuk Salatiga. Kurun 1980-1990-an, ia aktif menjadi mentor diskusi aktivis mahasiswa, menelurkan kritik sosial, mulai dari hal yang dekat dengan lingkungan sekitar, seperti penggusuran tukang becak Salatiga, hingga advokasi penggusuran warga untuk pembangunan Waduk Kedungombo di Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah.
Melawan ideologi
Direktur Percik Salatiga Pradjarta Dirdjosanjoto pun mengenang sosok Arief yang kritis dan lugas dalam pemikiran. Suatu ketika, Pradjarta pernah bertanya kepada Arief, ”Bagaimana kamu bisa hidup dengan tenang di tengah konflik?” Arief menjawab enteng bahwa yang ia lawan adalah ideologi, bukan pribadinya.
”Jadi, saya tak pernah memikirkan risiko,” katanya, seperti dikenang Pradjarta.
Hal itu tecermin dari perjalanan hidup Arief. Menurut Pradjarta, setiap dihadapkan pada konflik, Arief tak pernah memusuhi orang-orang yang kontra dengan pandangannya.
”Ia tak semata-mata menggolongkan yang kontra harus dimusuhi, tetapi yang kontra itu harus diyakinkan,” ujarnya.
Sosok itulah yang dibutuhkan saat ini. Pradjarta menyampaikan, sekarang semua hal bisa dipolitisasi dan meletakkan orang pada satu pihak yang kontra sehingga mengancam persatuan. Ketika masuk ke pihak kontra, orang itu selalu dianggap salah.
”Jadi, saat ini kita kesulitan mencari orang yang bisa menjadi jembatan, yang bersih dari kepentingan. Saya melihat Arief berusaha untuk berdiri pada kakinya sendiri. Artinya, ia berdiri atas pendapatnya. Kalau ia merasa salah, ia pun mengakui saja. Itulah hidup tanpa beban,” ucap Pradjarta.
Arief Budiman kini telah tiada. Dia menyusul sang adik yang lebih dahulu meninggalkannya setengah abad lalu.
Selamat jalan, Pak Arief Budiman. Semoga di Indonesia masih akan tumbuh sosok-sosok seperti almarhum.