Pemberian bantuan sosial kepada masyarakat di tengah pandemi Covid-19 memberikan ekses. Seyogianya tak sertakan simbol jabatan politik. Selain tak etis, praktik itu menunjukkan ketidakpedulian elite kepada publik.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemberian bantuan sosial kepada masyarakat di tengah pandemi Covid-19 seyogianya tidak menyertakan simbol-simbol terkait jabatan politik. Selain tidak etis, praktik tersebut juga merefleksikan sikap kepala daerah yang tidak peduli terhadap penderitaan rakyat.
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Azyumardi Azra saat dihubungi di Jakarta, Rabu (29/4/2020), mengatakan, simbol-simbol jabatan politik sangat lekat dengan sosok di baliknya. Oleh karena itu, jangan ada simbol-simbol di bansos karena dapat diasosiasikan sebagai politik pencitraan.
”Janganlah bansos itu dikaitkan dengan posisi atau jabatan tertentu, ditanggalkanlah yang begitu. Jabatan itu melekat pada orangnya. Ngawur lagi kalau dia sampai pasang foto sendiri atau namanya di bansos, yang sebenarnya bukan berasal dari dananya,” ujar Azyumardi.
Janganlah bansos itu dikaitkan dengan posisi atau jabatan tertentu, ditanggalkanlah yang begitu. Jabatan itu melekat pada orangnya. Ngawur lagi kalau dia sampai pasang foto sendiri atau namanya di bansos, yang sebenarnya bukan berasal dari dananya.
Sebelumnya, dugaan penyalahgunaan bantuan sosial untuk kepentingan popularitas dalam Pemilihan Kepala Daerah 2020 itu dilakukan petahana Bupati Klaten, Jawa Tengah, Sri Mulyani. Bupati tersebut mendapat sorotan di ruang maya karena pembagian hand sanitizer yang diberi stiker bergambar wajahnya. Pasalnya, setelah stiker dikelupas, tertulis bantuan Kementerian Sosial.
Azyumardi menyampaikan, sebaiknya di bansos dituliskan bantuan bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sehingga tidak mudah dipolitisasi. Jika terpaksa, pemerintah pusat bisa menggunakan nama instansi yang berwenang memberikan bansos, seperti Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) atau Kemensos.
Azyumardi mengapresiasi tindakan cepat Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo yang langsung menegur Bupati Klaten. Namun, menurut dia, hal itu akan sulit terjadi jika politisasi bansos dilakukan oleh seorang gubernur atau jabatan yang lebih tinggi, bahkan Presiden.
Oleh karena itu, menurut Azyumardi, politisasi bansos ini lebih pada masalah etika. Pejabat seharusnya memiliki etika kepantasan apalagi di tengah penderitaan rakyat akibat pandemi Covid-19. Tidak sepatutnya pejabat malah memikirkan kontestasi.
”Jadi, ini soal etika, nurani, soal memanfaatkan musibah orang, wabah korona ini untuk kepentingan politik dan pencitraan, untuk kepentingan politik, ini yang tidak boleh. Jadi ini kembali lagi kepada kesadaran nurani. Persoalan etika dan dikembalikan kepada nurani. Jadi berpolitiknya harus politik yang bernurani,” ucap Azyumardi.
Jika persoalan ini terus dibiarkan, kata Azyumardi, ini sangat berdampak pada politik. Jika bansos itu dimanfaatkan petahana, maka bisa dijadikan media kampanye untuk pilkada yang akan datang. Kalaupun jabatan politiknya sudah dua periode, maka bisa dimanfaatkan untuk orang-orang di sekelilingnya, yang akan maju ke pilkada yang akan datang.
”Bisa saja ke suami, istri, anak, atau kroninya. Jadi itu harus dihindari. Kalau dia memunculkan citra yang baik, kan, memengaruhi sikap politik orang, begitu pula sebaliknya. Jadi harus bebas dari yang begitu-begitu (politisasi bansos) itu. Jangan ada asosiasi seperti itu,” kata Azyumardi.
Pilkada
Direktur Eksekutif Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit) Ferry Kurnia Rizkiyansyah menyampaikan, seharusnya pejabat pemerintah harus mengedepankan etika politik dan komitmen untuk pencegahan penyebaran Covid-19, yang sudah menjadi bencana nasional.
Fokuskan pada kerja kemanusiaan, jangan dimanfaatkan untuk kepentingan lainnya, dipolitisasi, apalagi kepentingan elektoral.
”Fokuskan pada kerja kemanusiaan, jangan dimanfaatkan untuk kepentingan lainnya, dipolitisasi, apalagi kepentingan elektoral,” kata Ferry.
Pelaksanaan pilkada, menurut dia, juga seyogianya bisa digelar setelah pandemi selesai sekitar September 2021. Dengan demikian, persiapan dan kualitas pemilu terjaga.
”Tahapan pilkada dilaksanakan setelah masa pandemi ini untuk mencegah upaya oknum-oknum tertentu memanfaatkan kondisi yang ada untuk kepentingan elektoral semata,” kata Ferry lagi.