Kemendagri Minta Bansos Tak Diberi Nama dan Wajah Pejabat
Kementerian Dalam Negeri mengingatkan agar bantuan sosial yang didistribusikan di tengah pandemi Covid-19 tidak diberi tambahan nama pribadi atau stiker wajah pejabat. Kemendagri akan mengevaluasi jika ada temuan itu.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Dalam Negeri meminta pemerintah daerah tidak memakai bantuan sosial di tengah wabah Covid-19 sebagai media kampanye para kepala daerah. Jika bantuan itu bersumber dari anggaran daerah atau negara, seyogianya distribusinya menggunakan lambang institusi sehingga tak memunculkan tafsir lain dari publik.
Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri Bahtiar saat dihubungi di Jakarta, Rabu (29/4/2020), mengatakan, penggunaan simbol-simbol politik di bansos harus dihindari agar tak menuai masalah di publik.
”Harus dihindari supaya tak ada fitnah. Ini masalah etika saja,” ujar Bahtiar.
Sebelumnya, Bupati Klaten, Jawa Tengah, Sri Mulyani mendapat sorotan di dunia maya karena pembagian hand sanitizer yang diberi stiker bergambar wajahnya. Pasalnya, setelah stiker dikelupas, tertulis bantuan Kementerian Sosial. Sri Mulyani mengklarifikasi bahwa hal itu terjadi karena kesalahan di lapangan.
Menurut Bahtiar, seyogianya bansos yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tidak menggunakan nama pribadi atau stiker wajah pribadi. Penggunaan nama institusi masih diperbolehkan agar tidak ada pihak-pihak yang asal klaim sehingga menimbulkan masalah di kemudian hari.
Namun, lanjut Bahtiar, terhadap pemda yang menggunakan simbol jabatan politik, itu akan menjadi bahan evaluasi Kemendagri agar tidak terulang kembali. Kemendagri meyakini bahwa pemerintah daerah akan memperhatikan suara publik.
”Yang kurang, kami dorong untuk diperbaiki dan dievaluasi agar sesuai harapan publik. Pemerintah daerah tentu akan memperhatikan suara publik dan menjadi bahan evaluasi,” ucap Bahtiar.
Bahtiar berharap persoalan ini tak lantas menyurutkan langkah pemda untuk memberikan bantuan kepada masyarakat yang sedang terdampak Covid-19.
Terkait dengan bantuan yang berasal dari uang pribadi, Bahtiar tak terlalu mempersoalkan jika memang terdapat simbol-simbol jabatan politik. Lagi pula, itu tidak bisa serta-merta disebut sebagai kampanye politik karena saat ini tahapan kampanye Pemilihan Kepala Daerah 2020 belum dimulai.
”Harus jelas, benar atau tidak itu ada kaitannya dengan pilkada. Harus dibuktikan. Pilkada juga belum ada sekarang. Masa kampanye, kan, belum,” tutur Bahtiar.
Menurut Bahtiar, persoalan semacam itu juga tidak bisa dipidanakan karena tak diakomodasi di undang-undang. Yang menjadi masalah adalah apabila kepala daerah tersebut menyalahgunakan dana bansos yang bersumber dari APBD atau APBN untuk kepentingan pribadi.
Sementara itu, Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Azyumardi Azra, menilai, simbol-simbol jabatan politik sangat lekat dengan sosok di baliknya. Oleh karena itu, jangan ada simbol-simbol di bansos karena dapat diasosiasikan sebagai politik pencitraan.
”Janganlah bansos itu dikaitkan dengan posisi atau jabatan tertentu, ditanggalkanlah yang begitu. Jabatan itu melekat ke orangnya. Ngawur lagi kalau dia sampai pasang foto sendiri atau namanya di bansos yang sebenarnya bukan berasal dari dananya,” ujar Azyumardi.
Azyumardi menyampaikan, sebaiknya di bansos dituliskan bantuan bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sehingga tidak mudah dipolitisasi. Jika terpaksa, pemerintah pusat bisa menggunakan nama instansi yang berwenang memberikan bansos, seperti Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) atau Kemensos.
Azyumardi mengapresiasi tindakan cepat Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo yang langsung menegur Bupati Klaten. Namun, menurut dia, itu akan sulit terjadi jika politisasi bansos dilakukan oleh seorang gubernur atau jabatan yang lebih tinggi.
Oleh karena itu, menurut Azyumardi, politisasi bansos ini lebih ke masalah etika. Pejabat seharusnya memiliki etika kepantasan, apalagi di tengah penderitaan rakyat akibat pandemi Covid-19. Tidak sepatutnya pejabat malah memikirkan kontestasi.
”Jadi, ini soal etika, nurani, soal memanfaatkan musibah orang, wabah korona ini untuk kepentingan politik dan pencitraan, untuk kepentingan politik, ini yang tidak boleh. Jadi, ini kembali lagi pada kesadaran nurani. Persoalan etika dan dikembalikan pada nurani. Jadi, berpolitiknya harus politik yang bernurani,” ucap Azyumardi.
Jika persoalan ini terus dibiarkan, kata Azyumardi, ini sangat berdampak pada politik. Jika bansos itu dimanfaatkan oleh petahana, bisa dijadikan media kampanye untuk pilkada yang akan datang. Kalaupun jabatan politiknya sudah dua periode, bisa dimanfaatkan untuk orang-orang di sekelilingnya yang akan maju ke pilkada yang akan datang.
”Bisa saja ke suami, istri, anak, atau kroninya. Jadi itu harus dihindari. Kalau dia memunculkan citra yang baik, kan, memengaruhi sikap politik orang, begitu pula sebaliknya. Jadi, harus bebas dari yang begitu-begitu (politisasi bansos) itu. Jangan ada asosiasi seperti itu,” kata Azyumardi.
Pilkada
Direktur Eksekutif Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit) Ferry Kurnia Rizkiyansyah sependapat bahwa seharusnya pejabat pemerintah mengedepankan etika politik dan komitmen untuk pencegahan penyebaran Covid-19 yang sudah menjadi bencana nasional.
”Fokuskan pada kerja kemanusiaan, jangan dimanfaatkan untuk kepentingan lainnya, dipolitisasi, apalagi kepentingan elektoral,” tutur Ferry.
Pelaksanaan pilkada, menurut dia, juga seyogianya bisa digelar setelah pandemi selesai sekitar September 2021. Dengan begitu, persiapan dan kualitas pemilu terjaga tanpa dinodai politisasi bansos yang dilakukan oleh pejabat daerah.
”Tahapan pilkada dilaksanakan setelah masa pandemi ini untuk mencegah upaya oknum-oknum tertentu memanfaatkan kondisi yang ada untuk kepentingan elektoral semata,” katanya.
Apalagi, lanjut Ferry, mengutip data Komisi Pemberantasan Korupsi, ada 218 yang berpotensi diisi petahana di Pilkada 2020. Adapun, Pilkada 2020 diselenggarakan di 9 provinsi dan 261 kabupaten/kota.
”Jadi, potensi abuse of power oleh oknum petahana, khususnya yang mencalonkan kembali atau calon kepala daerah, yang maju sangat besar untuk memanfaatkan bansos bagi kepentingan elektoral,” ujar Ferry.