Disparitas Kapasitas Daerah Bisa Menghambat Basis Data Tunggal
Data solid untuk perencanaan kebijakan bisa menyelesaikan separuh dari masalah. Namun, disparitas kapasitas daerah bisa menghambat pembentukan data tunggal yang akurat.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO / DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Disparitas infrastruktur dan kapasitas sumber daya manusia menjadi dua hal yang harus serius diatasi guna mewujudkan data tunggal berbasis identitas kependudukan yang bisa digunakan untuk segala keperluan. Tanpa pembenahan itu, jalan menuju penggunaan data sebagai basis perumusan kebijakan publik akan terhambat.
Persoalan infrastruktur internet dan sumber daya manusia, misalnya, juga menjadi satu dari sejumlah variabel yang menghambat laporan realokasi APBD untuk penanganan Covid-19. Sebanyak 380 daerah diberi sanksi penundaan transfer dana alokasi umum (Kompas, 5/5/2020).
Presiden Inadata Consulting di California, Amerika Serikat, Elwin Tobing saat dihubungi melalui surat elektronik dari Jakarta, Selasa (5/5/2020), mengatakan, seluruh perencanaan dan pengambilan kebijakan publik harus berorientasi pada data, mulai dari tingkat nasional hingga desa. Oleh karena itu, penguasaan data yang akurat dan analisis data yang solid sangat penting dimiliki oleh aparaturnya.
Namun, kenyataannya, ketersediaan infrastruktur dan sumber daya manusia masih menjadi masalah di sejumlah daerah. Persoalan lain meliputi pemahaman jajaran pimpinan daerah, seperti kepala daerah, legislatif, dan birokrat, terhadap peranan esensial data dalam penyusunan dan evaluasi kebijakan pembangunan.
Perencanaan yang didasari penguasaan data yang akurat dan analisis data yang solid itu bisa menjawab hampir 50 persen dari masalah.
”Disparitas (kemampuan) daerah soal data cukup besar. Keberadaan data yang tunggal pun diterima secara mentah-mentah tanpa diikuti analisis yang solid dan kompeten,” ujar Elwin.
Elwin memaparkan, ada juga kemungkinan disparitas ini disebabkan oleh tingkat kemajuan serta struktur ekonomi daerah. Dia mencontohkan, daerah berbasis pertanian primer dan masih relatif terbelakang mungkin menganggap data kurang penting sebagai basis dalam menyusun kebijakan pertanian.
”Tentu ini salah kaprah besar. Justru data sangat diperlukan. Misalnya, berapa jiwa penduduk yang hidupnya tergantung pertanian primer tersebut, berapa produksi, berapa konsumsi, dan bagaimana distribusi hasil-hasil pertanian tersebut. Ketersediaan data menyangkut semua itu pun terkadang amat sangat diperlukan di sektor lain,” tutur Elwin.
Bahkan, lanjut Elwin, pemerintah harus berani mengeluarkan anggaran sampai 10 persen dari nilai anggaran kebijakan untuk persiapan perencanaan dan evaluasi yang didukung data dan analisis yang solid. Sebab, perencanaan yang didasari penguasaan data yang akurat dan analisis data yang solid itu bisa menjawab hampir 50 persen dari masalah.
Pemerintahan berbasis elektronik
Rini Widyantini, Deputi Bidang Kelembagaan dan Tata Laksana Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan dan RB), menyampaikan, data sangat dibutuhkan dalam pengembangan sistem pemerintahan berbasis elektronik (SPBE).
Oleh karena itu, Presiden Joko Widodo menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2019 tentang Satu Data Indonesia. Perpres tersebut sejalan dengan Peraturan Presiden Nomor 95 Tahun 2018 tentang Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik.
Dengan pemanfaatan satu data, menurut Rini, tidak ada lagi perbedaan data antara satu instansi dan instansi lain. Adapun sistem satu data nasional itu sedang disiapkan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas).
”Kalau datanya berbeda, kita membangun electronic government(e-government) atau SPBE juga menjadi terhambat. Jadi, salah satu syarat dalam arsitektur SPBE nasional adalah adanya satu data nasional,” ujar Rini.
Data tunggal, kata Rini, seharusnya menjadi fondasi dalam tata kelola pemerintahan. Ini penting karena data tersebut sangat berguna untuk sejumlah kepentingan, seperti informasi yang akurat kepada publik, perumusan kebijakan, perubahan tata kelola pemerintahan, serta optimalisasi pelayanan publik.
”Jadi, kalau birokrasi mau membangun perbaikan sistem e-government, tentu saja harus punya satu data, data yang sama, bisnis proses yang sama. Dengan sistem tata kelola pemerintahan yang baik, output kepada masyarakatnya pun baik,” tuturnya.
Rini mengatakan, sembari menunggu satu data nasional, Kemenpan dan RB mendorong setiap pemerintah daerah agar menerapkan SPBE sesuai karakteristik dan kemampuan daerah. Kemenpan dan RB, lanjut Rini, selalu memonitor proses tersebut.
”Tak boleh saling menunggu. Jadi, ketika satu datanya telah siap, seluruh pemerintah daerah juga siap menjalankan,” ujar Rini.
Kultur statistik
Guru Besar Statistika IPB University Asep Saefuddin menambahkan, Indonesia sebagai negara kepulauan membuat disparitas itu semakin lebar. Tidak semua daerah memiliki aparatur pemerintahan yang benar-benar paham terkait data statistik. Karena itu, menurut Asep, kultur statistik harus dibangun. Itu bisa dimulai dengan menerapkan satu sarjana statistika di satu desa.
Dengan hadirnya satu sarjana di tingkat desa, lanjut Asep, setiap penyelesaian masalah di desa selalu berorientasi data. Kebijakan yang datang dari pusat pun bisa dijalankan secara optimal dengan hitung-hitungan atau target yang matang.
”Kalau sejak desa tidak menganggap statistik atau data itu penting, semua serba dikira-kira nantinya. Perencanaan pembangunan tanpa data itu buruk sekali. Kalau berbasis data, bisa dihitung, mau diprioritaskan apa terlebih dahulu, penanggulangan kemiskinan, kesehatan, pendidikan, atau infrastruktur. Itu semua tergantung kekuatan data,” ucap Asep.
Data dinamis
Sekretaris Jenderal Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia Najmul Akhyar mengatakan, memang belum semua pemerintah daerah menerapkan sistem pendataan tunggal dan terpadu. Hal ini disebabkan kombinasi kemauan politik kepala daerah serta hambatan teknis seperti infrastruktur terbatas dan sumber daya manusia yang kurang.
Hanya saja, dia meyakini pembangunan data tunggal berbasis identitas kependudukan sebenarnya bisa dilakukan di semua daerah. Sebab, perangkat negara di daerah itu ada sampai tingkat dusun. Kepala dusun dapat menjadi ujung tombak penyusunan sistem data terpadu ini.
”Perangkat negara itu ada sampai di wilayah terkecil, yaitu dusun. Ini bisa dimanfaatkan oleh kepala daerah sebagai ujung tombak pendataan. Nanti, setelah itu baru dibangun sistem akumulasi datanya,” ujar Najmul.