Residu Kongres Picu Mundurnya Hanafi Rais
Kongres Partai Amanat Nasional di Kendari, Sulawesi Tenggara, Februari lalu, masih meninggalkan residu di internal partai. Putra pendiri PAN, Amien Rais, pun mundur dari kepengurusan PAN, DPR, dan ketua fraksi.
JAKARTA, KOMPAS — Kongres Partai Amanat Nasional yang berlangsung di Kendari, Sulawesi Tenggara, Februari lalu, hingga kini masih meninggalkan residu di internal partai. Putra Amien Rais, Ahmad Hanafi Rais, dikabarkan mengundurkan diri, Selasa (5/5/2020), setelah surat pengunduran dirinya tersebar di publik. Kendati surat tersebut secara resmi belum diterima oleh pengurus pusat PAN, tersebarnya surat pengunduran diri itu mengonfirmasi masih terjadinya dinamika di internal PAN pascakongres lalu.
Wakil Ketua Umum PAN Yandri Susanto, Rabu (6/5/2020), yang dihubungi dari Jakarta, mengatakan, sampai hari ini surat pengunduran diri yang beredar luas di publik itu belum diterima pengurus Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PAN. Surat itu sebelumnya diketahui beredar luas di publik, baik media massa maupun media sosial.
Surat yang ditandatangani Hanafi itu menyebutkan alasan pengunduran dirinya karena menilai PAN melewatkan momentum untuk memperbaiki diri lebih bijaksana dalam berorganisasi dan bersikap. Surat juga menyebutkan PAN memiliki kecenderungan melakukan konformitas terhadap kekuasaan sekalipun didahului dengan kritik-kritik. Hal itu, menurut surat Hanafi tersebut, bukan sikap yang adil di saat banyak kader dan simpatisan menaruh harapan PAN menjadi antitesis dari pemegang kekuasaan.
Baca juga : Di Bawah Bayang-bayang Amien Rais
Dalam surat itu, Hanafi menyatakan mengundurkan diri dari kepengurusan DPP PAN 2020-2025, sebagai Ketua Fraksi PAN DPR, dan dari anggota DPR Fraksi PAN 2019-2024. ”Hanya rida Allah yang saya tuju. Mohon maaf lahir dan batin atas segala kekurangan saya. Semoga Allah mengampuni dosa dan kesalahan saya dan kita semua,” tutup Hanafi dalam suratnya itu.
Sampai hari ini surat pengunduran diri yang beredar luas di publik itu belum diterima pengurus Dewan Pimpinan Pusat PAN. Surat itu sebelumnya diketahui beredar luas di publik, baik media massa maupun media sosial.
Terkait beredarnya surat dari Hanafi itu, Yandri mengatakan, sampai hari ini surat tersebut belum diterima secara fisik oleh DPP PAN. Surat itu pun masih harus dikonfirmasi oleh DPP PAN kepada Hanafi untuk memastikan apakah betul surat itu berasal darinya dan akan dikirimkan kepada DPP PAN. Selain itu, jika benar surat itu berasal dari Hanafi, masih ada proses komunikasi yang akan dilakukan DPP PAN menindaklanjuti surat tersebut.
”Kami akan klarifikasi dulu apakah betul itu suratnya dan kenapa alasan mundur. Kalau memang betul mundur, apakah tidak bisa dibatalkan pengunduran diri itu. Tetap akan kami buka opsi itu. Kalau misalnya yang bersangkutan bulat tetap pada keputusannya dan tanpa ada paksaan, atau ada pertimbangan khusus lain, seperti intervensi dari siapa pun, apakah itu DPP dan ketua umum, tentu DPP akan memproses pengunduran diri itu sesuai prosedur,” tutur Yandri.
Pengunduran diri Hanafi itu pun akan melalui beberapa proses karena di dalam suratnya dinyatakan ia mundur sebagai pengurus DPP, ketua fraksi, sekaligus anggota DPR. ”Kalau memang yang bersangkutan mengundurkan diri, tentu harus ada reshuffle dalam kepengurusan. Demikian juga untuk penggantian ketua fraksi, ada mekanisme yang telah disepakati dalam rakernas kemarin,” katanya.
Dalam Rakernas PAN yang dilakukan secara virtual, partai menyepakati penggantian pimpinan fraksi dilakukan dengan menampung aspirasi dari DPP, DPW, dan DPD. Setiap perwakilan dari pengurus daerah dan pusat itu bisa mengusulkan pimpinan fraksi yang baru manakala pimpinan fraksi yang ada saat ini berhalangan atau dalam posisi kosong. Usulan dari pengurus itu kemudian dibahas dalam rapat pengurus harian partai.
Menurut Yandri, posisi ketua fraksi sangat menentukan di DPR. Karena itu, prosesnya pun harus sesuai dengan mekanisme yang disepakati di internal partai. Bagaimanapun, jika benar Hanafi mundur, penggantinya harus segera diproses karena roda fraksi mesti tetap berjalan. Ketua fraksi antara lain sangat krusial karena administrasi fraksi bergantung kepadanya. Demikian halnya dalam penunjukan anggota fraksi tugas-tugas di dalam komisi dan pembahasan rancangan undang-undang, pengaturan lalu lintas keuangan, serta peran strategis lain di DPR.
”Karena itu, harus kami pastikan dulu apakah betul yang bersangkutan mundur dari PAN dan apakah itu bisa dinegosiasikan. Kalau memang mundur, harus segera kami proses karena banyak anggota DPR lain yang juga berkompeten. Demikian juga soal pengunduran diri sebagai anggota DPR, yang pasti terkait dengan gaji dan tugas kenegaraan beliau sebagai anggota DPR,” kata Yandri.
Selama ini, komunikasi dengan Hanafi terus dilakukan melalui Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan. Namun, Yandri tidak dapat memastikan apakah dari komunikasi itu telah diperoleh kepastian mundurnya Hanafi.
Belum ”move on”
Lebih jauh Yandri pun mengakui polemik mundurnya Hanafi tidak terpisahkan dari hasil kongres, Februari lalu. Ia mengakui dinamika yang terjadi di Kendari merupakan yang paling keras sepanjang sejarah partai dalam memilih ketua umum. Namun, PAN dalam perjalanannya memang selalu dinamis di dalam kongres. Kader pun keluar masuk PAN akibat kongres.
”Jadi, kalau mau dikatakan residu, ya bisa juga. Mungkin belum move on, tidak terima kekalahan. Padahal, kalahnya telak. Ya beginilah berpartai, siap tarung dan siap kalah. Tetapi, sekali lagi persoalan mengundurkan diri itu dari yang bersangkutan, bukan diminta mundur,” tambahnya.
Yandri mencatat, pascakongres sebenarnya sudah ada beberapa kali pertemuan antara Hanafi dan Zulkifli, serta anggota partai yang lain. Bahkan, Hanafi pernah datang ke rumah Zulkifli untuk berkomunikasi langsung. Sebelum surat pengunduran diri itu beredar, Hanafi pun pernah ikut rapat harian dan rapat fraksi yang dipimpin Zulkifli.
”Waktu itu saya kira sudah normal kembali nuansa batin di PAN. Tetapi, dengan munculnya surat ini, saya baca itu masih soal kongres kalau benar Hanafi mundur,” katanya.
Dalam sejarahnya, PAN selalu dinamis dalam kongresnya. Yandri mengatakan, banyak kader keluar-masuk dalam kongres dan mencatatkan jejak politis yang cenderung kurang mengenakkan pascakongres. Ia mencatat kongres Yogyakarta membuat Faisal Basri dan kawan-kawan keluar dari PAN.
Lalu, kongres di Semarang juga membuat Fuad Bawazier keluar dari PAN. Kongres di Batam membuat Soetrisno Bachir, yang ketika itu menjadi ketua umum, bahkan tidak hadir dalam kongres dan langsung nonaktif total karena ada persoalan dengan Hatta Rajasa. Berikutnya, Kongres PAN di Bali, yang ketika itu dimenangi Zulkifli, juga memicu Hatta nonaktif total dan gerbong pendukung Hatta tidak ada yang aktif.
Menurut Yandri, Zulkifli dalam Kongres PAN di Kendari sudah mengupayakan agar tidak ada pemungutan suara, tetapi musyawarah untuk mufakat. Akan tetapi, hal itu tidak direspons oleh kubu Amien. Akibatnya, dinamika cukup keras terjadi di internal partai. Bahkan, beberapa kader mengalami luka-luka akibat kursi yang dilemparkan di dalam ruangan kongres.
Yandri pun membantah isi pernyataan Hanafi dalam surat itu yang seolah mengatakan PAN semata-mata bersikap kompromistis dengan pemerintah atau kekuasaan. ”Itu menurut saya tidak benar karena kami keras sekali mengkritik tenaga kerja asing yang masuk ke Indonesia. Itu dua hal yang bertentangan kalau dikatakan PAN kompromistis dengan Pak Jokowi. Sebaliknya tidak bisa juga kami membabi buta menyerang Pak Jokowi kalau kebijakannya secara rasional dirasakan benar. Jadi, sikap dukungan atau penolakan itu tidak bisa membabi buta,” tuturnya.
Ideologi dan oligarki
Menurut peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Syarif Hidayat, ada dua hal yang melatarbelakangi mundurnya Hanafi dari PAN, yakni faktor ideologi dan oligarki di internal partai.
Mudahnya kader mundur dari parpol menunjukkan ideologi partai tidak bekerja. Kalau di dalam partai ideologi itu tumbuh, seharusnya kesamaan platform tersebut membuat mereka tidak mudah diguncang atau digoda oleh kepentingan praktis. Faktor kuatnya ideologi itu pula yang membuat soliditas partai baik.
”Mundurnya Hanafi boleh jadi karena ia merasa PAN tidak lagi sesuai dengan ideologi PAN yang dikonsep Amien Rais, bapaknya, selaku pendiri partai. Namun, untuk mengonfimasi hal ini, harus dielaborasi dengan faktor oligarki yang menguat di tubuh partai,” katanya.
Dalam perkembangannya, ideologi PAN berubah atau direvitalisasi melalui zaman dan pimpinan yang berganti. Kompromi ideologi terjadi sejak Amien tidak lagi menjabat ketua umum. Namun, dalam prosesnya, Amien tidak berkeberatan dengan hal itu, yang ditunjukkannya sebagai pendiri partai yang selalu mengiringi perkembangan partai, dua dekade ini. Ia juga masih memainkan peran signifikan di internal partai.
Ada kemarahan politik dalam hal ini. Hanafi bagaimanapun merupakan bagian dari oligarki partai, sebagai perwujudan dari kubu Amien Rais di PAN. Namun, karena kini Amien sama sekali tidak diberi peran, barulah dipersoalkan urusan ideologi itu.
”Pertanyaannya, jika faktor ideologi itu yang dijadikan alasan Hanafi mundur, yang digambarkannya sebagai sikap kompromistis terhadap kekuasaan, kenapa baru sekarang penolakan dilakukan. Kenapa sikap kompromistis PAN terdahulu tidak digugat oleh kubu Amien,” ujarnya.
Baca juga : Eksistensi PAN Tanpa Amien Rais
Menurut Syarif, sikap kritis kubu Amien dengan mundurnya Hanafi dari tubuh partai membuat peran Amien kehilangan peran di internal partai. ”Ada kemarahan politik dalam hal ini. Hanafi bagaimanapun merupakan bagian dari oligarki partai, sebagai perwujudan dari kubu Amien Rais di PAN. Namun, karena kini Amien sama sekali tidak diberi peran, barulah dipersoalkan urusan ideologi itu,” katanya.
Dalam kasus PAN, menurut Syarif, unsur perebutan kuasa di dalam sistem oligarki partai memicu konflik dan dinamika internal, lebih dari faktor ideologi yang dijadikan alasan mundurnya Hanafi. Belajar dari pengalaman partai-partai lain, dinamika internal akan keras bilamana oligarki lama tidak diganggu, atau mereka tetap berkuasa. Namun, ketika oligarki lama itu dikalahkan oleh oligarki lainnya, yang terjadi ialah perpecahan atau konflik internal.
Konflik internal partai, tambah Syarif, tidak hanya terjadi di PAN, tetapi juga di partai-partai lain di Tanah Air. Masih bercokolnya oligarki di dalam sistem kepartaian Indonesia berkontribusi pada dinamika politik yang keras di internal partai.