Pemerintah diminta untuk menarik kembali dan merevisi draf Perpres Tugas TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme. Cakupan perpres itu dinilai terlalu luas sehingga perlu diatur tersendiri dalam RUU Perbantuan Tugas TNI.
Oleh
Rini Kustiasih
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kalangan masyarakat sipil mendorong agar rancangan Peraturan Presiden tentang Tugas Tentara Nasional Indonesia dalam Mengatasi Aksi Terorisme sebaiknya dicabut atau diperbaiki dulu sebelum dikonsultasikan dengan Dewan Perwakilan Rakyat. Perpres itu mengatur kewenangan TNI secara luas, yang semestinya kewenangan itu diperjelas di dalam Undang-Undang tentang Perbantuan Tugas TNI, termasuk dalam operasi militer selain perang.
Deputi Direktur Riset Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Wahyudi Djafar mengatakan, materi di dalam rancangan perpres itu terlalu luas sehingga sebaiknya secara formil diatur tersendiri di dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perbantuan Tugas TNI, sebagai turunan dari UU No 34/2004 tentang TNI.
Akan lebih baik kalau pemerintah memformulasikan kembali rancangan perpres itu supaya lebih spesifik mengenai cakupan peran apa saja yang dimiliki TNI dalam pemberantasan terorisme jika mengacu pada UU No 5/2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme sehingga tidak bertentangan dengan Pasal 7 UU TNI yang mengatur tentang operasi militer selain perang.
”Akan lebih baik kalau pemerintah memformulasikan kembali rancangan perpres itu supaya lebih spesifik mengenai cakupan peran apa saja yang dimiliki TNI dalam pemberantasan terorisme jika mengacu pada UU No 5/2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme sehingga tidak bertentangan dengan Pasal 7 UU TNI yang mengatur tentang operasi militer selain perang,” kata Wahyudi, yang dihubungi Jumat (15/5/2020), dari Jakarta.
Aspek peran TNI jika merujuk pada rancangan perpres yang beredar sangatlah luas, meliputi pencegahan, penindakan, dan pemulihan. Padahal, UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme masih mengacu pada penegakan hukum, bukan pendekatan perang atau militer yang menekankan pada pelibatan militer.
”Kalaupun militer dilibatkan, itu semata-mata dalam tugas perbantuan. Sayangnya, tugas perbantuan itu belum diatur bentuk pelibatannya. Mandat UU Perbantuan TNI yang diminta juga oleh UU TNI juga belum dirumuskan,” katanya.
Sementara itu, DPR belum membahas surat Menteri Hukum dan HAM tertanggal 5 Mei 2020 terkait dengan Rancangan Perpres Tugas TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme. Perpres itu belum dibahas di dalam Badan Musyawarah (Bamus) dan belum pula dibacakan dalam rapat paripurna. Oleh karena itu, bentuk konsultasi yang akan dilakukan oleh DPR terkait dengan substansi perpres tersebut belum ditentukan, apakah cukup melalui pimpinan DPR ataukah ditunjuk komisi tertentu.
Kalaupun militer dilibatkan, itu semata-mata dalam tugas perbantuan. Sayangnya, tugas perbantuan itu belum diatur bentuk pelibatannya. Mandat UU Perbantuan TNI yang diminta juga oleh UU TNI juga belum dirumuskan.
Anggota Komisi I DPR dari Fraksi Partai Golkar, Dave Akbarshah Fikarno, mengatakan, tindak lanjut pembahasan surat dari Menkumham belum ditentukan. ”Belum dibacakan di rapat paripurna sehingga belum tahu apakah nantinya akan dibahas di komisi ataukah hanya dengan pimpinan DPR,” katanya.
Namun, secara pribadi, Dave menilai pelibatan TNI dalam pemberantasan terorisme diperlukan untuk kondisi-kondisi tertentu. ”Menurut saya, substansi perpres itu sudah benar, tetapi mungkin ada sedikit yang perlu disempurnakan bahasa hukumnya. Akan tetapi, arahnya sudah benar,” kata Dave.
Sebelumnya, anggota Komisi I dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Charles Honoris, mengatakan, banyak persoalan di dalam draf rancangan perpres tersebut sehingga sebaiknya draf itu diperbaiki atau ditarik kembali untuk disempurnakan. Menurut Charles, ada kosakata tertentu, seperti ”penangkalan”, yang tidak diatur di dalam UU No 5/2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, tetapi ternyata diatur di dalam perpres yang merupakan turunan UU tersebut. Selain itu, TNI di dalam perpres itu juga disebutkan memiliki kewenangan untuk melakukan operasi mandiri, yang kemungkinan akan bertentangan dengan UU lainnya, yakni UU TNI.
Anggota Komisi I DPR dari Fraksi Nasdem, Willy Aditya, mengatakan, secara substansi dirinya tidak berkeberatan dengan muatan perpres tersebut. Namun, ia menekankan perlunya pengawasan dalam pelaksanaan perpres itu di lapangan.
”Rancangan perpres ini dilandasi oleh Pasal 43I UU No 5/2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Di dalam UU yang sama, diatur tentang mekanisme pengawasan yang dilakukan tim pengawasan penanggulangan terorisme oleh DPR, yakni Pasal 43J. Dengan demikian, assessment itu bersifat otomatis karena juga menjadi amanat UU. DPR juga sudah punya tim khusus pelaksanaan pasal pengawasan penanggulangan terorisme ini,” katanya.
Rancangan perpres ini dilandasi oleh Pasal 43I UU No 5/2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Di dalam UU yang sama, diatur tentang mekanisme pengawasan yang dilakukan tim pengawasan penanggulangan terorisme oleh DPR, yakni Pasal 43J.
DPR, melalui Komisi I, menurut Willy, nantinya akan mengawasi bagaimana perpres tersebut diterjemahkan secara detail oleh peraturan pelaksanaan yang dikeluarkan oleh Panglima TNI. ”DPR akan menjaga dan mengawasi agar penugasan TNI nantinya sesuai aturan yang ada, memenuhi dan menghormati hak asasi manusia, serta tepat sasaran sesuai tujuan pengaturannya,” katanya.
Sementara itu, Pelaksana Harian Kepala Biro Humas Kemenkumham Ria Wijayanti mengatakan, perpres itu telah diharmonisasikan sejak 2019. Proses harmonisasi dilakukan untuk memastikan perpres itu tidak bertentangan dengan undang-undang atau peraturan lain di atasnya. Draf perpres pun sudah diserahkan ke DPR pada 5 Mei 2020 dan kini tinggal menunggu jadwal konsultasi dengan DPR.