Pelibatan TNI dalam tugas mengatasi terorisme perlu dijabarkan dengan lebih rinci. Hal ini perlu dilakukan untuk menghindari ketidakjelasan dan potensi tumpang tindih kewenangan TNI dengan lembaga lain.
Oleh
Edna C Pattisina
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Keterlibatan militer dalam penanganan terorisme bukan hal yang aneh dalam negara demokrasi. Akan tetapi, keterlibatan semua aktor keamanan harus dijabarkan secara rinci agar prinsip akuntabilitas dan proporsionalitas tercapai.
Peneliti di Pusat Penelitian Politik–Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2P-LIPI), Muhamad Haripin, mengatakan, keterlibatan TNI bisa menjadi hal positif karena berarti operasi kontraterorisme dilakukan oleh banyak pihak di berbagai lini. Misalnya, ada BNPT, Densus, Badan Intelijen Negara, dan kini juga ada TNI.
”Tapi, kalau tidak terkelola dengan baik, bisa malah terjadi pergesekan dan tumpang tindih,” kata Haripin dalam bincang buku Peran TNI dalam Tugas Selain Perang secara daring di kanal Youtube P2P LIPI, Jumat (15/5/2020).
Keterlibatan TNI bisa menjadi hal positif karena berarti operasi kontraterorisme dilakukan oleh banyak pihak di berbagai lini.
Pemerintah tengah merancang draf Peraturan Presiden tentang Tugas TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme. Draf perpres tersebut telah dikirimkan oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia ke Dewan Perwakilan Rakyat pada 5 Mei lalu. Pemerintah ingin meminta pertimbangan DPR terkait rancangan perpres tersebut. Hingga kini, surat Menkumham tersebut belum dibawa ke Rapat Paripurna DPR untuk kemudian ditentukan alat kelengkapan Dewan mana yang akan membahas draf perpres tersebut.
Dalam diskusi tersebut, peneliti LIPI lainnya, Diandra Mengko, mengatakan, perpres yang digagas pemerintah saat ini terlalu luas memberikan ruang kepada TNI. Walaupun demikian, ia mengakui ada perubahan pola terorisme sejak adanya Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS).
Haripin menambahkan, perubahan pola ancaman terorisme di Indonesia dan global memang menunjukkan adanya peningkatan skala. Apalagi sejak pola-pola aksi terorisme itu dilakukan oleh NIIS. Meskipun demikian, kejelasan ruang lingkup operasi, terutama antara penegakan hukum dan operasi militer, tetap diperlukan.
”Jangan dicampur, tetapi dikombinasikan dengan prinsip-prinsip akuntabilitas dan proporsionalitas tadi,” katanya.
Jangan dicampur, tetapi dikombinasikan dengan prinsip-prinsip akuntabilitas dan proporsionalitas tadi.
Di Indonesia, keikutsertaan TNI dalam menangani aksi terorisme telah tercantum di dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Akan tetapi, merujuk pada aksi terorisme sejak peristiwa Bom Bali, Polri dianggap telah cukup mampu mengatasi aksi-aksi teror yang ada. Kondisi berubah dalam aksi terorisme di Poso, Sulawesi Tengah, di mana masuknya TNI dalam Operasi Camar-Maleo pada September 2015 menunjukkan kiprahnya.
”Walau perlu ada riset lagi tentang efisiensi TNI-Polri karena jumlah pasukan yang diturunkan sangat besar, yaitu sekitar 1.500 anggota Polri dan 1.700 TNI,” katanya.
Haripin mengatakan, aturan untuk mengatasi terorisme seharusnya lebih inovatif. Dengan sifat ancaman yang berubah, potensi teknologi dan pendekatan persuasif juga perlu ditingkatkan.