Pandemi Covid-19 bisa menjadi ganjalan dalam upaya penguatan demokrasi yang menjadi salah satu amanat reformasi. Apalagi dalam beberapa tahun belakangan, kemunduran demokrasi di Tanah Air dinilai menguat.
Oleh
TIM KOMPAS
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pandemi Covid-19 bisa menjadi ganjalan dalam upaya penguatan demokrasi yang menjadi salah satu amanat reformasi. Apalagi dalam beberapa tahun belakangan, kemunduran demokrasi di Tanah Air dinilai menguat.
Kajian The Varieties of Democracy (V-Dem) Institute, Swedia, yang diluncurkan April 2020, menunjukkan, 48 negara berisiko tinggi mengalami kemunduran demokrasi, 34 negara berisiko sedang, dan 47 negara masuk kategori risiko rendah. Indonesia termasuk dalam negara dengan kategori sedang.
Pandemic Backsliding Risk Index itu melacak keputusan negara-negara dalam menghadapi pandemi Covid-19, lalu melihatnya dari nilai demokrasi. Ada belasan indikator yang dikaji untuk menentukan indeks, antara lain peran legislatif, media, pengawasan atas eksekutif, dan kekerasan aparat.
”Saat krisis bermula, orang khawatir ini tak hanya membahayakan kesehatan, tetapi juga mengancam demokrasi. Hal itu terjadi karena beberapa negara bertindak sangat eksesif,” ujar Anna Luhrmann, Wakil Direktur The V-Dem Institute sekaligus pengajar di Departemen Politik Gothenburg University, Swedia, kepada Kompas, Rabu (20/5/2020).
Dalam kajian soal Indonesia, V-Dem menjadikan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19 yang telah disahkan jadi UU No 2/2020 sebagai salah satu rujukan. Hal lain yang dijadikan rujukan, penunjukan pejabat militer sebagai penanggung jawab Rumah Sakit Khusus Covid-19 di Wisma Atlet, Jakarta.
Potensi kemunduran demokrasi akibat pandemi bisa berbahaya jika tak dicegah karena kualitas demokrasi Indonesia berdasarkan beberapa indeks cenderung turun. Indeks Demokrasi Elektoral V-Dem Institute tahun 1998-2019 menunjukkan, Indonesia meraih skor tertinggi pada 2004 (0,73), tetapi tahun 2019 menjadi 0,64. Dari skor 0-1, makin mendekati 1, makin baik kualitasnya.
Adapun Indeks Demokrasi The Economist Intelligence Unit 2006-2019 menunjukkan tren serupa. Skor tertinggi Indonesia tercatat pada 2015 (7,03) dan tahun 2019 turun menjadi 6,48. Dari skor 1-10, kian tinggi skornya, makin baik kualitasnya.
Sejumlah akademisi dalam dan luar negeri saat diwawancarai Kompas, 15-21 Mei 2020, juga mengungkapkan kekhawatiran atas kemunduran demokrasi di Tanah Air. Menurut Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Firman Noor, dalam tiap krisis, ada tendensi penguatan peran penguasa. Hal ini tak terkecuali di Indonesia.
Ia mencontohkan UU No 2/2020. Dalam regulasi itu, penyelenggara anggaran diberi keistimewaan kebal hukum. Regulasi itu juga menjadi dasar hukum pemerintah mengubah APBN, tanpa melibatkan DPR. Padahal, sesuai UUD 1945, DPR memiliki hak penganggaran, ikut menyusun atau merevisi APBN.
”Ini kan bahaya karena demokrasi itu lebih kepada terjadinya satu upaya dialog, diskusi, pembagian tugas, dan pengawasan,” katanya.
Guru Besar Kajian Asia dan Direktur Institut Asia di University of Melbourne Vedi Hadiz juga melihat kebijakan-kebijakan yang diputuskan tidak dari hasil perdebatan publik yang serius. Transparansi dan akuntabilitas rendah. Kondisi kian parah karena sistem pengawasan dan keseimbangan tak berjalan optimal akibat dominasi koalisi partai pendukung pemerintah di parlemen.
Namun, Made Supriatma, peneliti tamu pada ISEAS-Yusof Ishak Institute, Singapura, yakin, sekalipun ada kecenderungan pemerintah ingin membawa kekuasaan ke tangannya, hal itu tak akan berhasil. ”Saya punya keyakinan kuat, demokrasi kita tak bisa dibalik,” katanya.
Untuk mencegah dampak merusak Covid-19 pada demokrasi, Anna Luhrmann mengingatkan, perlu ada batas waktu dari kebijakan-kebijakan luar biasa yang diambil pemerintah. Kedua, sekalipun krisis, elemen demokrasi, seperti parlemen, harus tetap bekerja mengawasi pemerintah. Hal lain yang penting, tetap menjaga kebebasan pers. Selain itu, metode apa pun dari pemerintah tak boleh dijalankan dengan kekerasan.
Pasca-demokrasi
Kemunduran demokrasi selama pandemi Covid-19 di Indonesia, menurut Firman, memperburuk demokratisasi selama 22 tahun reformasi. Ia menilai yang terjadi beberapa tahun belakangan ini sebagai fenomena pasca-demokrasi, keadaan negara seolah-olah telah melalui fase demokrasi, padahal realitasnya tak lagi demokratis. ”Misalnya, kini kita memiliki parlemen, tetapi mekanisme check and balance tak berjalan baik,” katanya.
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Azyumardi Azra pun mendorong pentingnya reformasi demokrasi. ”Demokrasi kita harus direkonsolidasikan karena beberapa tahun terakhir demokrasi Indonesia mengalami backsliding dan menjurus jadi flawed democracy (demokrasi cacat),” ujarnya.
Menurut dia, pada masa pandemi Covid-19, demokrasi memburuk dengan menjurus menjadi illiberal democracy, yaitu demokrasi yang tak lagi menjalankan prinsip demokrasi. ”Hal ini antara lain ditandai dengan Perppu No 1/2020,” kata Azyumardi.
Ia melihat kemunduran kian cepat terjadi dua tahun terakhir, antara lain dalam hal kebebasan berpendapat, pemberantasan korupsi, dan masuknya perwira TNI/Polri aktif guna mengisi jabatan sipil.
Namun, Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden Sigit Pamungkas menegaskan, tak ada intensi negara memundurkan demokrasi. Yang dilakukan negara dalam mengatasi Covid-19 semata untuk mengefektifkan pengambilan keputusan. ”Ini kondisi darurat. Cara menilai situasi normal di tengah kondisi abnormal tak tepat. Saat situasi sudah normal, tentu respons kembali normal,” katanya.
Sigit mencontohkan, dalam Perppu No 1/2020, pemerintah juga menetapkan kapan tindakan luar biasa itu berakhir. Misalnya, di Pasal 2 Ayat 1 Huruf a Angka 1 disebutkan, defisit anggaran melampaui 3 persen PDB untuk mengatasi Covid-19 paling lama sampai berakhirnya tahun anggaran 2022.
Ia juga menekankan, institusi demokrasi untuk menjalankan fungsi check and balance masih berjalan. Warga dapat berjuang melalui wakilnya di DPR ataupun menempuh uji materi di Mahkamah Konstitusi.
Sigit tak menampik kondisi demokrasi Indonesia secara umum mengalami erosi, tetapi tak separah negara lain yang mengalami kemunduran demokrasi. Hal ini terlihat pada Laporan Keadaan Demokrasi Global 2019 dari International IDEA. ”Namun, itu terjadi lebih karena respons terhadap populisme. Negara harus hadir kuat guna menjaga demokrasi,” katanya. (REK/PDS/NAD/