Reformasi sektor keamanan masih perlu ditingkatkan, baik terkait profesionalitas sumber daya manusianya maupun sistem pengawasannya.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah masih memiliki pekerjaan rumah yang besar di sektor keamanan, baik terkait dengan profesionalitas aparat maupun pengawasan terhadap kinerja aparat. Akibatnya, praktik kekerasan terhadap warga sipil terus bermunculan. Jika persoalan ini tidak segera diatasi, kohesi sosial dikhawatirkan dapat terganggu.
Indeks Negara Rentan (Fragile States Index/FSI) 2020 menunjukkan Indonesia menghadapi tugas berat dalam pengelolaan sektor keamanan. Dalam indeks itu, indikator aparatur keamanan memburuk dari tahun lalu 5,9 menjadi 6,1 pada tahun 2020. Dengan skala nilai 0-10, semakin tinggi skor, makin buruk capaian sebuah negara pada indikator itu.
Indeks Negara Rentan (Fragile States Index/FSI) 2020 menunjukkan Indonesia menghadapi tugas berat dalam pengelolaan sektor keamanan
Selama lima tahun terakhir, indikator aparatur keamanan secara longitudinal berfluktuasi di kisaran 6,2-5,9. Indikator ini memotret antara lain monopoli penggunaan kekuatan, relasi keamanan dan warga negara, penggunaan kekuatan secara terukur, dan kepemilikan senjata.
Direktur Imparsial Al Araf saat dihubungi di Jakarta, Kamis (28/5/2020), mengatakan, aparatur keamanan Indonesia belum berbenah secara optimal karena masih mewarisi kultur militerisme dari Orde Baru. Kultur itu sering kali berdampak pada cara pandang aparat sehingga masyarakat sipil dipandang sebagai ancaman.
”Kultur Orde Baru tampaknya belum selesai. Masih ada sisa warisan di TNI-Polri. Akhirnya inilah yang membuat karakter dan pola pendekatan kekerasan masih digunakan secara terus-menerus,” ujar Al Araf.
Kultur Orde Baru tampaknya belum selesai. Masih ada sisa warisan di TNI-Polri. Akhirnya inilah yang membuat karakter dan pola pendekatan kekerasan masih digunakan secara terus-menerus. (Al Araf)
Selain itu, Al Araf menilai, alasan lain memburuknya indikator aparatur keamanan karena proses reformasi di tubuh TNI-Polri belum tuntas. Proses reformasi itu terdiri dari kultural, struktural, dan instrumental.
Pada Polri, misalnya, problem kultural masih menjadi pekerjaan rumah yang besar. Pendekatan kekerasan yang merupakan warisan masa lalu masih kental hingga saat ini. Hal serupa juga terjadi pada TNI.
Namun, di tubuh TNI, ada persoalan yang lebih krusial dari sisi instrumental, salah satunya terkait aturan hukum. Menurut Al Araf, revisi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer mendesak dilakukan. Proses penghukuman bagi aparat harus lebih terbuka dan menimbulkan efek jera.
”Problem akuntabilitas belum kuat di dua institusi itu. Ini yang jadi masalah,” kata Al Araf.
Pengawasan
Selain masalah internal, Al Araf pun menyampaikan bahwa perbaikan di sektor keamanan sulit dilakukan jika pengawasan terhadap institusi TNI-Polri lemah. Pengawasan bisa meliputi internal ataupun eksternal melalui parlemen dan masyarakat.
Untuk pengawasan terhadap institusi Polri, Al Araf menilai peran Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) perlu ditingkatkan. Pemerintah dan DPR diharapkan dapat menyusun regulasi untuk memperkuat peran dan fungsi Kompolnas.
”Jadi, dia (Kompolnas) tidak hanya sebatas menerima pengaduan, terus bingung mau apa. Dia harus punya otoritas yang kuat untuk memaksimalkan peran pengawasan,” ucap Al Araf.
Sementara itu, pengawasan terhadap institusi TNI perlu diperkuat melalui parlemen. Hanya saja, Al Araf melihat fungsi itu tak berjalan optimal sehingga praktik-praktik kekerasan dan penyimpangan terus terjadi.
Untuk memperbaiki persoalan yang ada, lanjut Al Araf, perubahan harus dimulai dari basisnya, yakni kultur. Perubahan itu bisa dicapai melalui pendidikan dan perubahan doktrin, salah satunya dengan mengedepankan penghormatan terhadap hak asasi manusia.
”Pendidikan dan pelatihan pada ujungnya, kan, memastikan profesionalisme TNI dan Polri berjalan dengan baik dan itu harus dibangun secara bertahap. Ini dimaksudkan supaya kerja-kerja perlindungan masyarakat menjadi lebih optimal,” tutur Al Araf.
Sementara itu, Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik sependapat bahwa indikator sektor keamanan tak kunjung membaik karena aparat masih mengedepankan pendekatan kekerasan dalam menghadapi masyarakat. Dia menyebut ada tren di beberapa kota, demonstrasi berujung kerusuhan, kemudian kepolisian menanganinya dengan tak profesional.
”Ketika kerusuhan terjadi, polisi tak siap mengantisipasi, maka muncullah praktik-praktik kekerasan itu,” ujar Ahmad.
Sebagai contoh, praktik pelanggaran HAM itu terjadi pada saat Polri mengamankan demonstrasi pada 21-23 Mei 2019. Aparat kepolisian melakukan tindak kekerasan kepada anak-anak yang ikut dalam aksi demonstrasi yang berakhir ricuh tersebut.
Dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh kepolisian juga terjadi dalam penanganan massa aksi #ReformasiDikorupsi pada rentang waktu 24-30 September 2019.
Buruknya sektor keamanan, menurut Ahmad, pun terlihat di Papua. Eskalasi kekerasan di wilayah tersebut tidak pernah menurun. Selain karena kehadiran kelompok kriminal bersenjata (KKB), operasi gabungan TNI-Polri juga menimbulkan dampak sosial pada masyarakat sipil, baik korban meninggal maupun pengungsi.
Ahmad Taufan mengatakan, jika pendekatan seperti ini terus menguat dan dibiarkan, relasi antara masyarakat dan aparat pun tak akan baik. ”Aparat keamanan menjadi bagian dari penciptaan kohesi sosial masyarakat. Jika relasi keduanya buruk, konflik akan terus terjadi di tengah masyarakat,” ucapnya.
Oleh karena itu, ujar Ahmad, ada dua hal yang mendesak dibenahi di sektor keamanan. Pertama, peran intelijen harus dioptimalkan sehingga kerusuhan dapat lebih diantisipasi dan tak terjadi. Kedua, dibutuhkan pelatihan terhadap aparat keamanan yang diterjunkan ke lapangan agar lebih profesional dalam menangani massa.
”Yang terjadi, ketika ingin mengendalikan atau memukul mundur perusuh, mereka belum profesional sehingga terjadi berbagai kekerasan,” katanya.