Bentuk ancaman terorisme kian kompleks, bahkan tak tertutup gunakan senjata nuklir, kimia, dan biologis. Untuk mengatasinya, butuh kerja sama lintas instansi terkoordinatif. Rancangan Perpres TNI harus mewadahi hal itu.
Oleh
Edna C Pattisina
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Bentuk ancaman terorisme kian kompleks, bahkan tidak tertutup kemungkinan menggunakan senjata nuklir, kimia, dan biologis. Untuk mengatasinya, dibutuhkan kerja sama lintas instansi yang terkoordinatif.
”Ancaman terorisme itu kompleks dan multidimensi, jangan ada ego sektoral mengatasinya,” kata Arry Bainus, dosen Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran (Unpad) dalam webinar Pelibatan TNI dalam Mengatas Aksi Terorisme, yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Keamanan dan Internasional FISIP Universitas Padjadjaran, Bandung, Jawa barat, Kamis (28/5/2020).
Arry mengatakan, ada beberapa model penanggulangan terorisme, yaitu model keadilan (tindak pidana kriminal), model kombinasi di mana ada pengaturan aturan pelibatan, dan model militer, baik lunak maupun keras. ”Yang model militer memang karena sudah mengganggu kedaulatan negara, tetapi kita harus tetap patuh pada hukum humaniter dan HAM,” kata Arry Bainus.
Ancaman terorisme itu kompleks dan multidimensi, jangan ada ego sektoral mengatasinya.
Aturan pelibatan harus diakomodasi dalam perpres tersebut. Sementara pengamat militer Connie Rahakundini Bakrie mengatakan, dalam menangani teorisme, tidak hanya HAM atau keamanan individu yang harus dipedulikan, tetapi juga keamanan nasional.
Menurut Connie, dalam langkah-langkah menangani terorisme, diawali dengan penangkalan, penindakan, dan pemulihan.
Kritik terhadap rancangan perpres disampaikan baik Connie maupun Arry terkait penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan tidak diaturnya eskalasi gerakan terorisme. Baik Connie maupun Arry mengatakan, TNI tidak boleh menggunakan APBD dalam penanganan terorisme. Hal ini akan membuat TNI bisa berada dalam tarik-menarik antara kepentingan daerah dan nasional. ”Nanti ada provinsi yang merasa bisa memerintahkan TNI karena bayar,” kata Arry.
Connie mengatakan, seharusnya ada pengaturan tentang eskalasi, misalnya tentang luasan terorisme yang terjadi. Mulai dari tindak terorisme yang mengakibatkan masalah keamanan di daerah, atau ancaman tingkat nasional, atau malah berada di luar negeri. Setelah pengaturan eskalasi ini dicantumkan di perpres, anggaran juga harus mengikuti. Connie mengatakan, anggaran TNI untuk menanggulangi terorisme bisa diakomodasi dari anggaran Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
Cakupannya sangat luas
Sebelumnya, masyarakat sipil yang terdiri dari 78 akademisi, peneliti, dan penggiat HAM mendesak DPR agar meminta pemerintah memperbaiki Perpres Tugas TNI dalam Mengatasi Terorisme. Para akademisi itu, di antaranya Prof Dr Mohtar Mas’oed (PSKP UGM), Prof DR Sigit Riyanto SH LLM (FH UGM), Dr Karlina Supeli (pengajar STF Driyakara), Usman Hamid (Public Virtue Institute), Nursyahbani Katjasungkana (pegiat hukum dan HAM), serta Wardah Hafidz (pegiat HAM), menyoroti berbagai masalah dalam rancangan yang ada. Perpres itu dikhawatirkan akan menjadi cek kosong dan memundurkan jalannya reformasi TNI.
”Kami menilai pengaturan tentang kewenangan TNI di dalam rancangan peraturan presiden tentang tugas TNI dalam mengatasi aksi terorisme terlalu berlebihan sehingga akan mengganggu mekanisme criminal justice sistem, mengancam HAM dan kehidupan demokrasi itu sendiri,” demikian salah satu bunyi pernyataan tersebut.
Pengaturan kewenangan penangkalan dalam rancangan peraturan presiden sangat luas, yakni dengan menjalankan operasi intelijen, operasi teritorial, operasi informasi, dan operasi lainnya (Pasal 3 draf perpres). Peraturan presiden ini dinilai tidak memberi penjelasan lebih rinci terkait dengan ’operasi lainnya’.
Lebih jauh, dalam pernyataan tersebut, pengaturan kewenangan penangkalan dalam rancangan peraturan presiden sangat luas, yakni dengan menjalankan operasi intelijen, operasi teritorial, operasi informasi, dan operasi lainnya (Pasal 3 draf perpres). Peraturan presiden ini dinilai tidak memberi penjelasan lebih rinci terkait dengan ”operasi lainnya”.
Sejauh ini, perpres adalah peraturan yang dikeluarkan khusus oleh presiden untuk mengatur sebuah ketentuan dari peraturan perundang-undangan. Rancangan Perpres tentang Tugas TNI dalam Penanganan Terorisme merupakan turunan dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Isi dari rancangan perpres tersebut gagasan Kementerian Pertahanan bersama TNI. Sebelum diserahkan ke Presiden untuk ditandangani dan diundangkan, UU No 5/2018 mensyaratkan agar dimintai terlebih dulu konsultasi kepada DPR.
Saat ditanyakan kepada Menteri Sekretariat Negara Pratikno beberapa waktu lalu, draf perpres tersebut dinyatakan belum sampai ke Kementerian Sekretariat Negara. ”Setneg belum mengetahui isinya, mungkin masih di Kemhan drafnya,” ujarnya (Kompas, 11 Mei 2020).