Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi sedang menyusun pedoman sistem kerja aparatur sipil negara dalam tatanan normal baru. Salah satunya, lokasi bekerja aparatur bakal dibuat fleksibel.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Menyusul rencana penerapan tatanan normal baru di tengah pandemi Covid-19, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi sedang menyusun pedoman sistem kerja aparatur sipil negara dalam tatanan normal baru. Pendekatannya, fleksibilitas lokasi bekerja. Hal lain, perlunya penyesuaian sarana dan prasarana lingkungan kerja aparatur.
”Birokrasi pemerintahan harus segera beradaptasi dengan normal baru dan tentu saja ASN (aparatur sipil negara) harus segera siap melakukan perubahan dalam menghadapi situasi normal baru,” kata Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan dan RB) Tjahjo Kumolo dalam keterangan tertulis kepada Kompas, Jumat (29/5/2020).
Normal baru dalam penyelenggaraan pemerintahan, menurut dia, merupakan penyesuaian sistem kerja yang mendukung produktivitas kerja tetapi tetap memprioritaskan kesehatan dan keselamatan ASN.
Ada tiga hal yang perlu dipersiapkan. Pertama, penyesuaian sistem kerja. Kedua, persiapan dukungan sumber daya manusia aparatur dalam menghadapi perubahan. Ketiga, dukungan infrastruktur agar sistem kerja dan sumber daya manusia dapat melaksanakan tugasnya sesuai dengan tantangan yang terjadi pada masa normal baru. ”Hal-hal itu tentu saja dilakukan dalam koridor protokol kesehatan Covid-19,” katanya.
Terkait hal itu, Kemenpan dan RB saat ini sedang menyusun pedoman mengenai sistem kerja pegawai ASN dalam tatanan normal baru.
Pedoman, menurut Tjahjo, memperhatikan protokol kesehatan Covid-19 seperti diatur dalam Keputusan Menteri kesehatan Nomor HK.01.07/MENKES/328/2020 tentang Panduan Pencegahan dan Pengendalian Covid-19 di Tempat Kerja Perkantoran dan Industri dalam Mendukung Keberlangsungan Usaha pada Situasi Pandemi. Selain itu, memperhatikan pula kondisi penyebaran Covid-19 di setiap daerah.
Dalam pedoman yang sedang disusun itu, pendekatannya fleksibilitas lokasi bekerja. Dengan demikian, ASN dapat bekerja di kantor atau di rumah. ”Pejabat pembina kepegawaian dapat mengatur ASN yang bekerja dari rumah dilakukan secara selektif dan akuntabel. Ini tanpa mengurangi sasaran kerja dan target kinerja, dengan tetap memperhatikan sebaran Covid-19 dan status penetapan PSBB (pembatasan sosial berskala besar),” katanya.
Sistem kerja tersebut, ditekankannya, harus tetap memperhatikan berjalannya pelayanan publik. Karena itu, perlu pula dilakukan penyederhanaan prosedur standar operasi pelayanan dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi. Meski demikian, ia mengingatkan, optimalisasi penggunaan teknologi itu harus mengacu pula pada pedoman keamanan informasi dan keamanan siber.
Selain itu, Tjahjo juga mendorong perlunya percepatan penerapan dan pembangunan dukungan infrastruktur sistem pemerintahan berbasis elektronik yang terintegrasi. Ini berkaca pada kendala infrastruktur sistem informasi dan komunikasi selama ASN bekerja dari rumah.
Kebijakan ASN bekerja dari rumah untuk mencegah penularan Covid-19 sudah berlangsung sejak 17 Maret 2020, dan hari ini diperpanjang hingga 4 Juni 2020.
Hal lain dalam pedoman yang sedang disusun itu, Tjahjo melanjutkan, kementerian/lembaga/pemerintah daerah diminta menyesuaikan sarana dan prasarana lingkungan kerja ASN sesuai dengan panduan yang ditetapkan Kementerian Kesehatan.
Kaji normal baru
Sementara itu, Ketua MPR Bambang Soesatyo mengingatkan pemerintah dan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 untuk mempertimbangkan dan mengkaji secara mendalam rencana pemberlakuan tatanan normal baru. Ini karena masih terus meningkatnya jumlah kasus Covid-19.
”Pemerintah dan gugus tugas perlu memiliki basis data yang valid untuk menjadi dasar keluarnya kebijakan baru tersebut, dan memaparkan penjelasan tersebut kepada masyarakat sehingga seluruh masyarakat dapat memiliki satu visi dan misi yang sama dalam menjalani kebijakan itu,” kata Bambang.
Selain itu, ia mendorong agar tingkat kepatuhan masyarakat di setiap wilayah dalam menjalani masa PSBB dievaluasi. Hasil evaluasi tersebut untuk menentukan layak atau tidak normal baru diterapkan di daerah tersebut.
Adapun anggota DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Syahrul Aidi Ma’azat, menilai rencana penerapan normal baru tidak berbanding lurus dengan kurva Covid-19 yang belum menurun.
”Dalam artian, penerapan normal baru bisa menjadi aksi bunuh diri masyarakat yang beraktivitas di luar rumah,” katanya.
Dengan jumlah kasus Covid-19 yang masih terus bertambah dan vaksin Covid-19 belum ditemukan, ia menekankan, seharusnya negara hadir melindungi warganya agar terhindar dari penyakit itu.