Panitia acara diskusi daring persoalan pemakzulan Presiden di masa Covid-19 diintimidasi sejumlah oknum. Intimidasi lewat telepon, pesan singkat, dan ancaman terjadi akibat diskusi dinilai mengarah pada isu makar.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dewan Perwakilan Rakyat menyayangkan masih munculnya kasus teror dan intimidasi di era demokrasi. Apalagi, kasus tersebut terjadi di forum akademis. Agar tak terjadi kasus serupa, aparat penegak hukum harus mengusut tuntas dalang di balik teror tersebut.
Sebelumnya diberitakan, teror dan intimidasi didapatkan panitia diskusi ”Persoalan Pemecataan Presiden di Tengah Pandemi Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan” yang diselenggarakan oleh kelompok studi mahasiswa Constitutional Law Society Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (FH UGM), Yogyakarta. Diskusi yang sedianya digelar pada Jumat (29/5/2020) itu pun akhirnya batal. Pembatalan diskusi bukan karena aparat kepolisian ataupun oleh pihak UGM, tetapi oleh panitia diskusi itu sendiri.
Panitia acara diskusi daring itu sebelumnya mendapatkan intimidasi dari sejumlah oknum. Intimidasi dilakukan melalui telepon, pesan singkat, bahkan ancaman langsung ke rumah salah satu anggota panitia. Oknum pengancam berpendapat, diskusi itu berbau isu makar.
Ketua Komisi III DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Herman Herry saat dihubungi di Jakarta, Minggu (31/5/2020), mengatakan, kebebasan berpendapat atau berdiskusi dijamin undang-undang. Terlebih, diskusi itu dilakukan dalam forum akademis.
Saya juga melihat bahwa isu yang dibahas dalam webminar tidak ada yang secara eksplisit mengarah ke isu makar.
”Saya juga melihat bahwa isu yang dibahas dalam webminar tidak ada yang secara eksplisit mengarah ke isu makar,” ujar Herman.
Oleh karena itu, Herman meminta kepada jajaran kepolisian untuk segera melacak oknum yang melakukan teror kepada mahasiswa dan narasumber pada acara tersebut. Kepolisian, kata Herman, juga harus memastikan keselamatan para pihak yang diteror.
”Saya harap kejadian seperti ini tidak terulang kembali di era demokrasi ini,” tutur Herman.
Herman berharap, masyarakat tidak berspekulasi berlebihan hingga didapatkan kejelasan mengenai dugaan ancaman serta intimidasi itu. ”Tahan diri sampai didapat kejelasan mengenai pelaku hingga motifnya,” ujarnya.
Ancaman demokrasi
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Demokrat, Didik Mukrianto, sependapat dengan Herman bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Itu tertuang dalam Pasal 28E Ayat (3) UUD 1945. Dari situ, tidak dibenarkan siapapun mengganggu, mengekang, mengancam, apalagi merenggut kebebasan orang lain.
”Itu adalah bagian dari hak asasi manusia. Negara harus hadir, pemerintah dan aparatnya harus memberikan perlindungan terhadap setiap ancaman terhadap hak asasi manusia tersebut,” kata Didik, yang juga Kepala Departemen Hukum dan HAM DPP Partai Demokrat.
Didik sangat menyayangkan masih munculnya ancaman dan teror di era demokrasi. Apalagi, diskusi itu dilakukan di dalam forum ilmiah di lingkungan kampus.
”Sungguh memprihatinkan kalau di negara demokrasi ini, pemikiran, diskursus, diskusi, forum ilmiah, forum kampus dianggap sebagai sebuah ancaman. Memandulkan dan mematikan pemikiran kritis di era demokrasi sungguh melukai dan mengingkari semangat reformasi,” tutur Didik.
Didik pun berharap agar aparat penegak hukum segera menangkap serta menindak pelaku teror diskusi UGM itu. ”Jangan pernah ditoleransi sedikit pun teror terhadap demokrasi,” katanya.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Aboe Bakar Al-Habsy, juga menyesalkan aksi teror yang menimpa pembicara, moderator, dan penyelenggara diskusi di UGM. Teror dan intimidasi tersebut, katanya, sangat berbahaya untuk forum akademis karena akan memberangus kegiatan diskusi dan penumbuhan wacana.
”Tentunya hal ini sangat membahayakan untuk negara demokrasi karena para akademisi dibungkam dengan berbagai ancaman. Hal ini tidak dapat dibiarkan begitu saja, harus disikapi dengan serius,” ujar Aboe.
Bendahara Fraksi PKS ini pun meminta kepada Polda Daerah Istimewa Yogyakarta agar mengusut tuntas persoalan itu.
”Saya minta Polda DIY memberikan atensi serius terhadap kasus ini. Tunjukkan bahwa aparat menjamin keamanan mimbar akademis. Hal itu dapat ditunjukkan dengan mengusut dan memproses secara hukum mereka yang menjadi dalang pengancaman tersebut,” tutur Aboe.
Presiden tak bisa dijatuhkan
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD menyampaikan, sesungguhnya diskusi tentang ”Pemberhentian Presiden” yang batal di UGM itu ingin menegaskan bahwa Presiden tak bisa dijatuhkan hanya karena kebijakan terkait Covid-19.
”Tetapi ada yang salah paham karena belum membaca ToR (term of reference) dan hanya membaca judul sehingga kisruh,” ujar Mahfud.
Mahfud berpendapat bahwa berdiskusi mengenai pemecatan presiden boleh dilakukan dalam kerangka kajian hukum tata negara. Sebab, menurut konstitusi, memang presiden dapat diberhentikan dengan alasan hukum limitatif.
Ada lima jenis pelanggaran dan satu keadaan tertentu yang bisa menjadi alasan pemakzulan presiden dan wakil presiden. Syarat itu di antaranya terlibat korupsi, penyuapan, pengkhianatan terhadap ideologi negara, melakukan kejahatan yang ancamannya lebih dari lima tahun, dan melakukan perbuatan tercela yang diatur undang-undang, serta jika terjadi keadaan presiden tidak memenuhi syarat lagi seperti mangkat.
”Presiden tak bisa serta-merta bisa dimakzulkan hanya karena kebijakan terkait Covid-19,” kata Mahfud.
Mahfud menegaskan, setelah ditelusuri, diskusi itu ternyata bukan dibatalkan oleh UGM atau kepolisian tetapi oleh panitianya sendiri. Namun, demi demokrasi dan hukum, dirinya telah meminta Polri agar segera mengusut peneror panitia dan narasumber tersebut sehingga diskusi dibatalkan.
”Saya sarankan juga agar penyelenggara dan calon narasumber melapor agar ada informasi untuk melacak identitas dan jejak peneror, terutama jejak digitalnya,” ujar Mahfud.
Pemicu provokasi
Saya sarankan juga agar penyelenggara dan calon narasumber melapor agar ada informasi untuk melacak identitas dan jejak peneror, terutama jejak digitalnya.
Dekan Fakultas Hukum UGM Sigit Riyanto mengatakan, diskusi ilmiah tersebut merupakan inisiatif dari mahasiswa yang berminat pada konsentrasi keilmuan bidang hukum tata negara. Tema tersebut juga relevan dengan mata kuliah ilmu hukum tata negara yang dipelajari mahasiswa. Poster terkait tema dan pelaksanaan diskusi lalu diunggah ke laman Instagram sejak Kamis, 28 Mei, lalu.
Kemudian, informasi tersebut beredar viral di media sosial dipicu oleh tulisan seseorang berinisial BPW yang menuduh dengan narasi ”Gerakan Makar di UGM Saat Jokowi Sibuk Atasi Covid-19”. Setelah itu, panitia mengubah judul diskusi disertai permohonan maaf dan klarifikasi. Tema diskusi pun diubah menjadi ”Meluruskan Persoalan Pemberhentian Presiden Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan” di media sosial.
”Orang yang melakukan provokasi di social media dengan menuduh bahwa diskusi adalah gerakan makar itu ngawur. Dia tidak pernah mengonfirmasi kepada panitia, dia tidak tahu ToR diskusinya, tetapi menuduh macam-macam,” kata Sigit menambahkan.