Nilai Gotong Royong Menjadi Modal Kolektif Atasi Pandemi Covid-19
Gotong royong sebagai intisari Pancasila telah tecermin dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat saat menghadapi pandemi Covid-19. Penanggulangan Covid-19 membutuhkan kerja bersama dari semua komponen bangsa.
JAKARTA, KOMPAS — Peringatan Hari Lahir Pancasila, 1 Juni, menjadi momentum refleksi bagi bangsa Indonesia untuk menguatkan diri dalam menghadapi masa-masa sulit di kala pandemi Covid-19. Banyak nilai berikut sejarah pembentukan Pancasila yang menjadi cerminan bagi seluruh elemen di Tanah Air dalam menghadapi tantangan-tantangan besar di depan.
Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Ahmad Basarah, Senin (1/6/2020) di Jakarta, mengatakan, gotong royong adalah salah satu nilai penting yang perlu dikedepankan bangsa Indonesia dalam menghadapi pandemi.
Soal nilai gotong royong ini, proklamator yang juga Presiden pertama RI Soekarno mengatakannya dalam pidato 1 Juni 1945. Dalam pidatonya, Bung Karno menyebut gotong royong adalah inti dari perasan sila-sila lain Pancasila yang dikemukakannya di hadapan sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).
Baca juga : Presiden Jokowi: Pancasila Inspirasi untuk Melalui Pandemi Covid-19
Menurut Basarah, penyebutan gotong royong sebagai intisari dari Pancasila itu bukan untuk menegasikan sila-sila yang lain. Namun, semua pelaksanaan sila-sila Pancasila memiliki landasan semangat gotong royong.
”Dari nilai-nilai Pancasila dan kegotongroyongan tersebut sudah sangat jelas tergambar bahwa sebagai dasar dan ideologi dinamis, Pancasila sangat dapat diimplementasikan segenap rakyat Indonesia untuk secara bersama-sama menghadapi pandemi Covid-19 saat ini,” katanya.
Tesis Bung Karno tentang nilai-nilai gotong royong sebagai suatu nilai yang hidup dalam sanubari bangsa Indonesia saat ini, menurut Basarah, terbukti dengan hasil survei lembaga Charities Aid Foundation (CAF) World Giving Index 2018. Menurut hasil survei tersebut bangsa Indonesia menempati urutan negara pertama sebagai bangsa yang dikenal paling dermawan di seluruh dunia.
Hal itu membuktikan bahwa jiwa gotong royong dan tolong-menolong serta solidaritas sosial bangsa Indonesia adalah jiwa bangsa yang hidup di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Modal ideologis dan sosiologis bangsa Indonesia tersebut sangatlah besar untuk dikembangkan menjadi partisipasi sosial sebagai energi bangsa menghadapi penularan dan pencegahan pandemi Covid-19 beserta dampak sosial ekonomi yang ditimbulkannya.
Masalahnya sekarang adalah tinggal bagaimana pemerintah pusat dan daerah serta stakeholder lainnya mampu menggerakkan modal sosial yang sudah dimiliki rakyat Indonesia itu menjadi kekuatan kolektif bangsa untuk bersama-sama dan bergotong royong mengatasi pandemi Covid-19 ini.
”Masalahnya sekarang adalah tinggal bagaimana pemerintah pusat dan daerah serta stakeholder lainnya mampu menggerakkan modal sosial yang sudah dimiliki rakyat Indonesia itu menjadi kekuatan kolektif bangsa untuk bersama-sama dan bergotong royong mengatasi pandemi Covid-19 ini,” katanya.
Presiden Joko Widodo selaku Presiden RI juga telah berjanji dan bersumpah untuk memegang teguh dan menjalankan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Dalam Pembukaan UUD 1945 ditegaskan ada empat janji negara, salah satunya adalah melindungi bangsa dan segenap tumpah darah Indonesia.
Presiden Jokowi, lanjut Basarah, diberi wewenang memegang kekuasaan pemerintahan menurut UUD atau konstitusi. Dengan demikian, sebagai Presiden yang mendapat mandat langsung dari rakyat untuk menjalankan kekuasaan pemerintahan nasional, Presiden Jokowi bersama para pembantu-pembantunya, memiliki legitimasi untuk membuat berbagai kebijakan dalam rangka melindungi rakyatnya dari bahaya pandemi Covid-19.
”Tanpa dikelola dan digerakan dengan baik, mustahil modal sosial yang dimiliki bangsa Indonesia, semangat dan jiwa gotong royong yang hidup subur di hati rakyatnya dapat menjadi energi nasional yang positif, solid, dan koheren,” katanya.
Sangat relevan
Wakil Ketua MPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan Arsul Sani mengatakan, nilai dan spirit Pancasila makin menemukan relevansinya di tengah pandemi. Terlebih lagi jika melihat perkembangan di banyak negara di dunia, pandemi memicu tidak hanya persoalan kesehatan dan ekonomi, tetapi juga mengakibatkan kerusuhan sosial. Kondisi kerusuhan seperti yang terjadi di Amerika Serikat adalah gambaran bagaimana pandemi Covid-19 berpotensi menaikkan tensi kehidupan sosial-politik warga.
Bagi Indonesia, untuk mencegah kerusuhan sosial serupa akibat naiknya tensi kehidupan sosial-politik warga, amat penting bagi warga bangsa berpegang teguh pada ideologi dan dasar negara. Karena justru ideologi dan dasar negara itu menjadi lebih penting dan relevan di tengah krisis daripada ketika negara dalam situasi aman dan tenang.
Dalam konteks ini, menurut Arsul, peringatan Hari Lahir Pancasila di tengah pandemi Covid-19 seharusnya menjadi lebih bermakna dan kuat relevansinya untuk menjaga keutuhan dan kesatuan warga masyarakat Indonesia.
”Pertanyaan yang kemudian melintas di kepala kita adalah bagaimana seharusnya makna dan relevansi peringatan hari lahir tersebut dengan kondisi yang sedang kita hadapi? Jawabannya sebagian besar terpulang kepada mereka yang ada di jajaran kekuasaan, khususnya ekeskutif atau pemerintahan yang punya kekuasaan untuk berbuat langsung dalam ikhtiar mengatasi pandemi ini dan menjaga kesejahteraan masyarakat,” katanya.
Dalam mengartikulasikan Pancasila di tengah pandemi, menurut Arsul, pemerintah seharusnya menjalankan program-program yang bersentuhan dengan kesejahteraan dan keadilan. Eksekutif perlu lebih banyak mendengar.
”Tidak hanya menerjemahkan apa yang dimaknai sebagai kesejahteraan dan keadilan sosial itu menurut kacamata jajaran pemerintahan sendiri,” katanya.
Hal senada diungkapkan Wakil Ketua MPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera Hidayat Nur Wahid. Menurut dia, kemauan semua pihak untuk belajar dari sejarah, termasuk sejarah pembentukan Pancasila, menjadi cerminan reflektif yang baik untuk membimbing bangsa ini dalam menghadapi tantangan di depan. Peringatan itu pun sebaiknya tidak sekadar menjadi seremoni belaka, tetapi menjadi kesempatan semua pihak untuk merefleksikan diri apakah sudah mengimplementasikan seluruh sila di dalam Pancasila ataukah belum, dan bagaimana memperbaiki kekurangan itu.
Menurut dia, para founding fathers (bapak bangsa) telah mencontohkan sikap kenegarawanan yang unggul sehingga menghadirkan sikap jujur dan berwibawa, dan tidak berganti-ganti kebijakan. Namun, mereka betul-betul berorientasi kepentingan bangsa dan negara Indonesia.
”Sikap itu ditunjukkan bagaimana ketika Indonesia baru saja merdeka, dan terancam terpecah belah, para bapak bangsa berhasil mencegahnya. Ini menjadi cerminan bagi kita semua, bagaimana agar ancaman Covid-19 ini justru menjadi momentum kita menguatkan kesatupaduan sebagai bangsa,” ungkapnya.
Menurut Hidayat, para bapak bangsa dalam pembentukan Pancasila juga memberikan teladan bagaimana mereka mendengarkan orang lain, terutama para ahli, sebelum mengambil suatu putusan atau kebijakan. Dengan melihat pada contoh itu, hendaknya pemerintah ketika mengambil putusan terkait Covid-19 juga mendengarkan para ahli yang menguasai bidangnya.
”Banyak orang yang mengkritisi bagaimana penanganan pemerintah dalam menghadapi Covid-19 ini kurang melibatkan para ahli. Pada saat ini, misalnya, ada rencana membuka sekolah. Tetapi ikatan dokter anak Indonesia mewanti-wanti agar sekolah tidak buru-buru dibuka dalam kondisi seperti ini. Ambil juga pelajaran dari Korea Selatan, yang ketika pengetatan dibuka, sekolah kemudian harus ditutup kembali karena ada lonjakan kasus,” katanya.
Dengan peringatan Hari Pancasila, menurut Hidayat, hendaknya pemerintah lebih banyak mendengar pandangan banyak pihak dan kalangan ahli. ”Merujuklah dan jadikanlah para ahli sebagai rujukan untuk mengambil putusan dan kebijakan. Sebab, sebagaimana pembentukannya dulu, Pancasila adalah hasil dari dialektika. Bung Karno pun mengatakan dirinya bukan penemu Pancasila, melainkan penggali Pancasila dari nilai-nilai dasar bangsa,” katanya.
Nilai lain yang perlu ditekankan dalam menghadapi Covid-19 dan tantangan ke depan ialah nilai-nilai keadilan. Menurut Hidayat, kata ”keadilan” disebutkan dua kali dalam Pancasila, yakni pada sila ke-2 dan sila ke-5. Kata keadilan itu harus diejawantahkan dalam pembuatan kebijakan, sekaligus dalam perilaku mengelola kekuasaan.
”Baru-baru ini kita mendengar ada jurnalis yang diancam, dan guru besar di UGM mendapatkan teror. Akan tetapi, kita tidak mendengar lagi tindak lanjutnya. Sementara itu, ada kasus-kasus lain yang melibatkan pihak tertentu yang cepat sekali ditindaklanjuti. Ketidakadilan semacam ini harusnya betul-betul dikoreksi,” kata Hidayat.
Dalam penanganan Covid-19, keperluan dan kebutuhan rakyat seharusnya juga menjadi pertimbangan utama. Pancasila mengajarkan keadilan dan keberpihakan kepada mereka yang memerlukan.
Cerminan gotong royong
Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Puan Maharani mengatakan, gotong royong sebagai intisari Pancasila telah tecermin dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat saat menghadapi pandemi Covid-19. Diakuinya, penanggulangan Covid-19 membutuhkan kerja bersama, gotong royong, dari semua komponen bangsa, baik itu pemerintah pusat, pemerintah daerah, swasta, dan masyarakat.
”Alhamdulillah, dalam menghadapi Pandemi Covid-19, saya melihat jiwa gotong royong yang terpancar di tengah rakyat Indonesia,” katanya.
Jiwa gotong royong itu antara lain ia temui di banyak daerah, seperti di Cimahi, Jawa Barat, yakni ketika ada salah satu warganya yang terjangkit korona, dan menjalani isolasi mandiri di rumah, ternyata tetangganya secara bergotong royong membantu menyediakan makanan untuknya. Demikian pula yang didapati di Desa Jambanan, Sragen, Jawa Tengah.
”Saya melihat beritanya ketika salah satu warga desa pulang ke rumah setelah dinyatakan sembuh dari virus korona, para warga desa menyambutnya dengan meriah, sudah seperti acara syukuran,” kata Puan.
DPR, menurut Puan, di masa pandemi menjalankan tugas konstitusionalnya dengan lebih fokus pada penanganan Covid-19. Sebagai bentuk fungsi pengawasan, misalnya, DPR mengingatkan pemerintah agar tidak terburu-buru melaksanakan normal baru agar tidak memunculkan kebingungan baru di masyarakat.
”Diperlukan prakondisi dan protokol yang dipahami bersama dengan masyarakat. Sebab, rincian new normal untuk setiap jenis kegiatan dan wilayah tentu berbeda-beda,” ujarnya.
Gagasan perdamaian
Sementara itu, Ketua Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) yang juga Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri mengatakan, Pancasila pernah ditawarkan sebagai ideologi dunia dalam pidato Bung Karno, 30 September 1960, di sidang Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Judul pidato Bung Karno, To Build The World A New, adalah gagasan pembumian Pancasila untuk dunia sebagai bentuk perjuangan menciptakan perdamaian dunia, dan kemerdekaan adalah hak segala bangsa.
Menurut Megawati, Pancasila sebagai ideologi dunia berbeda dan bertentangan dengan kapitalisme-liberalisme, maupun dengan marxisme-leninisme. Keduanya mengandung benih-benih imperialisme kolonialisme, sementara Pancasila bercita-cita membangun persaudaraan dunia. Untuk itulah, Konferensi Asia Afrika diselenggarakan di Bandung tahun 1955 dan mampu memberi inspirasi bagi kemerdekaan di lebih dari 28 negara.
Berbagai bentuk radikalisme juga tidak sesuai dengan Pancasila. Sebab, Indonesia adalah negara kebangsaan yang berdiri kokoh di atas semua paham individu atau golongan. Radikalisme didasarkan oleh ideologi yang tidak sesuai dengan sila ketuhanan dan anti-kemanusiaan
”Berbagai bentuk radikalisme juga tidak sesuai dengan Pancasila. Sebab, Indonesia adalah negara kebangsaan yang berdiri kokoh di atas semua paham individu atau golongan. Radikalisme didasarkan ideologi yang tidak sesuai dengan sila ketuhanan dan anti-kemanusiaan,” katanya dalam siaran pers yang diterima Kompas.
Megawati meyakini para pemuda Indonesia memahami api Pancasila yang membawa semangat pembebasan tersebut. ”Dalam tantangan kekinian, maka membumikan Pancasila difokuskan pada upaya mewujudkan keadilan sosial. Keadilan yang harus diperjuangkan secara progresif, dan penuh dengan nilai kemanusiaan yang menolak segala bentuk penindasan,” kata Megawati sebagaimana disampaikan Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristiyanto.