DPR berkukuh melanjutkan pembahasan RUU Cipta Kerja kendati saat ini masa reses DPR belum berakhir. Hal ini dikritik karena ada tugas penting lain yang seharusnya lebih diprioritaskan oleh DPR.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dewan Perwakilan Rakyat berkukuh melanjutkan pembahasan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja kendati saat ini masa reses belum berakhir. DPR beralasan pembahasan di masa reses harus dilakukan karena jumlah materi draf regulasi yang dibentuk dengan metode omnibus law itu hingga ribuan pasal.
Ketua Panitia Kerja (Panja) RUU Cipta Kerja yang juga Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Supratman Andi Agtas mengatakan, tidak ada target waktu penyelesaian RUU Cipta Kerja. Namun, karena banyaknya materi yang perlu dibahas, pembahasan harus dilakukan saat masa reses.
”Ini hanya soal waktu karena ini, kan, banyak materinya. Kami dari awal memang tidak memiliki target waktu menyelesaikan ini dalam tiga bulan, seperti keinginan pemerintah. Tetapi, apakah RUU ini harus selesai, ya, memang harus selesai, kecuali pemerintah menariknya. Jadi, ini soal muatan materinya. Sekalipun sebenarnya RUU Cipta Kerja itu hanya ada 174 pasal, materi muatannya melingkupi ribuan pasal,” paparnya saat dihubungi Rabu (3/6/2020), di Jakarta.
Banyaknya materi muatan pasal itu, menurut Supratman, harus dibahas berdasarkan daftar inventarisasi masalah (DIM) yang diserahkan oleh fraksi-fraksi. Penyusunan DIM itu pun dilakukan setiap kluster. Sesuai kesepakatan di dalam Baleg DPR, penyusunan DIM oleh fraksi itu dilakukan dengan didahului oleh rapat dengar pendapat umum (RDPU).
Tiap-tiap fraksi, menurut Supratman, juga tidak bisa cepat dalam menyusun DIM. Sebab, materi muatan pasal RUU itu berat dan banyak. Pada Rabu, Panitia Kerja RUU Cipta Kerja juga kembali mengadakan rapat pembahasan DIM dengan fraksi-fraksi. Kluster yang dibahas dalam rapat adalah kluster usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dan koperasi.
”Untuk menyusun DIM kluster UMKM dan koperasi ini saja, dibutuhkan waktu dua minggu sejak pembahasan awal. Jadi, tidak ada jaminan selesai pada masa sidang berikutnya karena untuk membahas kluster itu harus didahului dengan RDPU. Setiap kluster yang dibahas berarti sudah diawali dengan RDPU. Pola itu telah disepakati oleh Baleg,” katanya.
Bukan sistem kebut
Supratman menampik anggapan DPR ingin ”mengebut” pembahasan RUU Cipta Kerja. ”Kalau sistem kebut, tidak begini caranya. Kalau sistem kebut itu, cukup sekali atau dua kali RDPU. Kalau ini, kan, setiap kali pembahasan. Nanti ketika bahas kluster baru, kami akan mengadakan RDPU lagi. Kalau mau membahas RUU Cipta Kerja dengan RDPU hanya sekali, itu agak repot karena bidangnya beda-beda,” ujarnya.
Wakil Ketua Baleg DPR dari Fraksi Nasdem Willy Aditya menegaskan, rapat di tengah masa reses tidak bertentangan dengan tata tertib DPR. Tata tertib DPR telah memberikan ruang bagi DPR untuk mengadakan rapat di masa reses. Rapat di tengah reses itu pun telah mendapatkan izin dari pimpinan DPR.
Pengajar hukum tata negara Universitas Negeri Jember, Bayu Dwi Anggono, mengatakan, tidak ada urgensi bagi DPR untuk membahas RUU Cipta Kerja di saat reses. Dibandingkan dengan kebutuhan penanganan Covid-19 oleh pemerintah yang menjadi sorotan publik, pembahasan RUU Cipta Kerja tidak terlalu mendesak dilakukan. Bahkan, justru fungsi pengawasan DPR dalam penanganan Covid-19 yang lebih mendesak dilakukan.
”Hal ini juga akan menimbulkan kesan bahwa pembahasan RUU Cipta Kerja dibuat seperti kejar setoran karena tekanan pihak-pihak tertentu dibandingkan dengan memastikan substansinya sesuai aspirasi publik. Dan, jangan salahkan hal ini semakin memperkuat dugaan publik bahwa ada udang di balik batu dalam pembahasan RUU ini yang berbeda dengan arus besar keinginan publik,” tuturnya.