Energi mereka mulai tergerus usia. Sebagian lagi terbentur keterbatasan ekonomi. Namun, para veteran tetap berusaha melampaui keterbatasan; menjadi contoh bagi generasi kekinian.
Oleh
Dian Dewi Purnamasari/Edna C Pattisina/Zulkarnaini
·4 menit baca
Sudah tiga tahun terakhir, Kolonel (Purn) Sutjipto mengajarkan nilai-nilai semangat juang 1945. Pada usianya yang dalam hitungan bulan lagi akan menyentuh 80 tahun, ia tetap aktif menularkan semangat nasionalisme dan kejuangan kepada guru-guru sejarah, siswa-siswi, mahasiswa-mahasiswi, dan ke lembaga pemasyarakatan anak di Tangerang, Banten.
Sutjipto adalah veteran pembela yang terlibat dalam operasi Dwikora yang berlangsung pada 1964-1966. Dalam operasi militer saat konflik terkait kelahiran negara Federasi Malaysia, dia bertugas sebagai komandan peleton perbekalan peralatan.
Kini, setidaknya sekali sebulan ia menyosialisasikan nilai-nilai kejuangan 1945. Dia memaparkan sejarah, semangat rela berkorban yang melandasi perjuangan, sekaligus menceritakan pengalamannya sebagai pejuang pembela kemerdekaan.
Usia lanjut tidak menghalangi Sutjipto. Keluarga pun mendukung aktivitasnya. Bahkan, sang istri kerap mendampingi Sutjipto bepergian di area Jabodetabek, sesekali hingga ke Bandung, Jawa Barat. Dia mendapat honor mengajar, tetapi bukan hal itu yang dikejarnya. Mengajar generasi muda membuatnya merasa berdaya karena bisa menyambung nilai-nilai nasionalisme ke generasi muda.
”Senang setelah pensiun masih bisa bermanfaat untuk orang lain,” katanya pada pekan lalu.
Hanya saja, sejak pandemi Covid-19 ini, kegiatannya untuk menjadi narasumber program Jiwa, Semangat, dan Nilai-nilai 45 (JSN’ 45) dibatalkan. Sutjipto masih perlu berlatih untuk bisa mengajar secara daring memakai teknologi informasi. Pada saat yang sama, ia menggunakan waktu luang untuk memperbaiki materi dan metode pengajaran JSN’ 45.
Slamet Subuh (69), Ketua Cabang LVRI Jakarta Pusat, selain mengajar JSN’ 45, menggunakan waktunya untuk memperhatikan temannya sesama veteran yang tinggal di Jakarta Pusat. Sejauh ini, mereka semua sehat.
Veteran Trikora ini mengatakan, saat ini ia cukup senang bisa membantu teman-teman sesama veteran di Jakarta Pusat. Saat hari raya Lebaran, ia mengumpulkan parsel dan sumbangan untuk disalurkan kepada veteran yang lain.
”Seperti Lebaran kemarin, kami dapat parsel dan uang Rp 200.000. Karena sedang wabah, bantuannya ditampung di rumah pengurus, lalu dari situ dikirim dengan ojek online ke rumah veteran-veteran yang lain,” kata Slamet.
Bantuan itu cukup bermakna karena tidak semua veteran hidup sejahtera. Sebagian veteran masih harus melampaui keterbatasan ekonomi dengan bekerja.
Tidak mengeluh
Tarno (75), veteran yang terlibat dalam operasi Trikora di Irian Barat pada 1961, bertugas di perbatasan Sorong selama delapan bulan. Ia juga ikut operasi Dwikora tahun 1964 dan ditugaskan di Nunukan, Kalimantan Utara.
Setelah itu, ia merantau menjadi buruh dan bekerja berpindah-pindah kota. Tahun 1970, ia kembali ke Jakarta untuk menjadi petugas keamanan. Setelah tenaganya tak lagi dibutuhkan, ia berjualan balon di Pasar Bojong Indah, Cengkareng. ”Kalau laku, sehari bisa dapat kotor Rp 100.000. Tapi, orang berjualan hasilnya tak tentu,” katanya.
Empat bulan terakhir modalnya habis. Kini, ia hidup mengandalkan uang kehormatan dan tunjangan veteran Rp 2,7 juta per bulan. Dari jumlah itu, Rp 1,3 juta digunakan untuk membayar kontrakan, sisanya untuk makan. Sesekali, ia bekerja serabutan untuk mendapat tambahan penghasilan.
Ibrahim Ali (95) terbaring lemah di atas kasur di rumahnya di Desa Kampung Baro, Kota Banda Aceh, Provinsi Aceh. Ia adalah veteran pejuang kemerdekaan RI. Di rumah seluas 36 meter persegi itu, dia tinggal sendiri. Rumah itu bantuan dari lembaga donor saat masa rehabilitasi dan rekonstruksi gempa dan tsunami. Anak-anaknya tinggal di sebelah rumah Ibrahim.
Dia hidup mengandalkan tunjangan veteran sekitar Rp 2,9 juta per bulan. Namun, ia tak mengeluhkan hidupnya yang sederhana. Justru, cerita dan semangat perjuangan yang meluncur dari bibirnya. Dia menceritakan bagaimana saat remaja bergabung dengan pasukan pejuang di Banda Aceh. Kecintaannya terhadap negara juga tidak pernah luntur. Daun pintu yang dicat merah putih, warna bendera Indonesia, adalah tanda cinta kepada negara.
Wakil Ketua Umum Legiun Veteran Republik Indonesia Mayjen TNI (Purn) Bantu Hardjijo mengatakan, nilai-nilai dari pejuang yang tidak menyerah saat menghadapi keterbatasan masih relevan diteruskan oleh generasi muda.
”Seperti pada masa pandemi Covid-19 seperti ini, apa nilai-nilai yang bisa dicontoh dari para veteran? Salah satunya sikap tanpa pamrih dan pantang menyerah. Dulu, secara teknis kami kalah melawan penjajah yang memiliki peralatan canggih, tetapi Indonesia bisa merdeka,” katanya.
Pengamat militer dan pertahanan Universitas Indonesia, Connie Rahakundini Bakrie, mengatakan, di tengah keterbatasan usia dan fisik, kerja sosial dan kegiatan sosialisasi jiwa semangat nasionalisme veteran harus diapresiasi.
Menurut dia, ada banyak nilai perjuangan yang bisa dipetik dari veteran. Para pemuda tanpa memandang latar belakang suku, agama, dan pekerjaan terpanggil membela Tanah Air. Nilai-nilai ini yang harus diwariskan kepada generasi muda. Apalagi, akhir-akhir ini, pembelahan masyarakat akibat berbeda identitas dan pandangan politik menguat di Indonesia.