Penyelenggara pemilu diminta untuk merestrukturisasi anggaran tiap tahapan pemilihan sehingga kebutuhan tambahan anggaran pilkada lanjutan tak membengkak. Besarnya tambahan anggaran akan diputus pekan depan
Oleh
Rini Kustiasih dan Nikolaus Harbowo
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Melihat kondisi keuangan negara yang tertekan karena pandemi Covid-19, Dewan Perwakilan Rakyat meminta restrukturisasi anggaran pilkada lanjutan yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu tetap dilakukan secara proporsional. Restrukturisasi anggaran itu diharapkan bisa dilakukan pada berbagai tahapan yang disesuaikan dengan kondisi Covid-19, yakni dengan melihat apakah ada tahapan yang anggarannya bisa dihemat, dan sebaliknya untuk menutupi kebutuhan anggaran untuk tahapan lainnya.
Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Nasdem Saan Mustofa mengatakan, penggunaan anggaran dalam kondisi normal berbeda dengan penggunaan anggaran dalam kondisi pandemi Covid-19. Skenario anggaran Pilkada 2020 semula didesain untuk pemilihan dalam situasi normal, sehingga bila diterapkan dalam kondisi pandemi, potensi munculnya kekurangan atau kelebihan anggaran akan terjadi pada setiap tahapan yang direncanakan. Oleh karenanya, restrukturisasi anggaran harus dilakukan oleh penyelenggara pemilu.
“Bisa saja ketika anggaran suatu tahapan itu dilakukan dalam situasi normal, tidak semuanya terpakai. Sedangkan ketika situasi pandemi justru terpakai semua. Di sisi lain, ada pula tahapan yang dalam situasi pandemi bisa dilakukan dengan memanfaatkan teknologi informasi, sehingga tidak terlalu banyak mengeluarkan biaya sebagaimana cara manual di dalam situasi normal,” kata Saan, saat dihubungi, Kamis (4/6/2020) di Jakarta.
Skenario anggaran Pilkada 2020 semula didesain untuk pemilihan dalam situasi normal, sehingga bila diterapkan dalam kondisi pandemi, potensi munculnya kekurangan atau kelebihan anggaran akan terjadi pada setiap tahapan yang direncanakan. Oleh karenanya, restrukturisasi anggaran harus dilakukan oleh penyelenggara pemilu.
Sebelumnya, dalam rapat kerja gabungan antara DPR dan pemerintah dengan penyelenggara pemilu, yakni Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), Rabu (3/6) di Jakarta, sejumlah opsi diberikan oleh penyelenggara pemilu untuk menyelenggarakan pilkada lanjutan.
Untuk kategori A, KPU membuat jumlah pemilih di tiap tempat pemungutan suara (TPS) sebanyak 800 orang, sehingga ada 253.929 TPS. Selain itu, untuk kategori A ini, pembentukan petugas pemutakhiran data pemilih (PPDP) dilakukan berbasis TPS. Dalam kategori ini, bila pengadaan alat kesehatan dan protokol Covid-19 lengkap, estimasi biaya tambahan yang diperlukan KPU Rp 3,5 triliun. Namun, untuk opsi kedua, yakni bila alat protokol kesehatan Covid-19 tidak lengkap, biaya yang diperlukan Rp 2,5 triliun.
Untuk kategori B, KPU membuat jumlah pemilih setiap TPS sebanyak 500 orang, sehingga ada 311.978 TPS. Adapun untuk pembentukan PPDP dilakukan berbasis rukun tetangga (RT). Untuk kategori ini, opsi pertama dengan alat protokol kesehatan lengkap dibutuhkan Rp 5,6 triliun, dan opsi kedua dengan alat protokol kesehatan tidak lengkap biaya yang dibutuhkan Rp 4,5 triliun.
Dalam rapat Rabu kemarin disepakati untuk membuat jumlah pemilih setiap TPS sebanyak 500 orang, dan dilakukan penyesuaian kebutuhan anggaran dan barang. Namun, belum disepakati jumlah anggaran yang akan dipenuhi oleh negara, karena dalam rapat berkembang diskusi untuk memenuhi kebutuhan barang itu dengan bantuan dari institusi lainnya, seperti Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19. Sebab, sebagian besar kenaikan anggaran dalam pilkada lanjutan itu berasal dari pengadaan barang atau alat kesehatan untuk memenuhi protokol kesehatan Covid-19.
Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia mengatakan, raker gabungan akan kembali dilakukan pekan depan untuk menentukan besar anggaran yang akan dipenuhi oleh negara dan daerah, serta bentuk barang serta alat kesehatan lain yang dapat dipenuhi oleh Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19. Rapat pekan depan juga akan menghadirkan perwakilan dari Gugus Tugas dan Kementerian Keuangan.
“Tidak tertutup kemungkinan juga barang-barang untuk pemenuhan protokol kesehatan itu dipenuhi oleh pihak lain. Misalnya, dengan meminta bantuan dari Satuan Tugas Penanganan Covid-19 DPR,” kata Doli.
Tidak tertutup kemungkinan juga barang-barang untuk pemenuhan protokol kesehatan itu dipenuhi oleh pihak lain. Misalnya, dengan meminta bantuan dari Satuan Tugas Penanganan Covid-19 DPR (Ahmad Doli Kurnia)
Beban daerah
Saan mengatakan, pembiayaan pilkada lanjutan tidak dapat hanya dibebankan ke Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN). Sebab menurut pemetaan dari Kementerian Dalam Negeri, masih ada beberapa daerah yang mampu untuk membiayai pilkada lanjutan. Menurut rencana, Mendagri Tito Karnavian, Jumat ini, juga akan mengadakan rapat dengan kepala-kepala daerah yang menyelenggarakan pilkada guna membahas kesiapan mereka dari sisi anggaran.
Selain bergantung pada anggaran daerah, menurut Saan, dana hibah daerah yang disepakati melalui naskah perjanjian hibah daerah (NPHD) masih utuh dan tidak boleh diotak-atik. Sekalipun awalnya dana NPHD itu diputuskan untuk dialokasikan dalam penanganan Covid-19, tetapi pada praktiknya, belum ada daerah yang mengeksekusi hal tersebut. Dengan demikian, dana hibah daerah itu dapat digunakan untuk meneruskan pembiayaan tahapan pilkada yang ditunda.
“Pilkada pada dasarnya memang ditanggung oleh pemda, sekalipun kalau tidak sanggup dalam kondisi ini baru dibantu oleh negara. Mendagri pun sudah memastikan bahwa tidak ada daerah yang mengalokasikan dana NPHD itu untuk penanggulangan Covid-19, sebab itu memang permintaan KPU dan Bawaslu, yakni supaya NPHD itu tidak diutak-atik,” katanya.
Direktur eksekutif Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit) Ferry K Rizkiyansyah mengatakan, terkait pemenuhan kebutuhan angagran dan barang dalam pilkada lanjutan itu, semua harus bisa dipertanggungjawabkan. Artinya, sekalipun kebutuhan barang berupa alat kesehatan untuk pemenuhan protokol kesehatan Covid-19 itu dipenuhi oleh pihak atau institusi lain, nilainya harus bisa dinominatifkan. Bantuan barang pun harus dirinci dan dipastikan nominalnya, sehingga dapat dipertanggungjawabkan.
“Semua barang dan uang dalam penyelenggaraan pilkada itu harus dapat dipertanggungjawabkan. Tidak lantas karena bantuan berupa barang maka tidak jelas asal dan peruntukannya. Sebab, ini terkait dengan akuntabilitas penyelenggaraan pilkada,” katanya.
Semua barang dan uang dalam penyelenggaraan pilkada itu harus dapat dipertanggungjawabkan. Tidak lantas karena bantuan berupa barang maka tidak jelas asal dan peruntukannya. Sebab, ini terkait dengan akuntabilitas penyelenggaraan pilkada (Fery K Rizkiyansyah)
Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Fritz Edward Siregar mengatakan, daerah mendapatkan beban cukup berat dengan penganggaran pilkada lanjutan. Sebelumnya, DPR dan pemerintah memberikan sinyal kesediaan negara untuk membiayai pilkada lanjutan itu setelah melihat kondisi daerah yang banyak merealokasikan anggaran untuk Covid-19. Namun, dalam rapat Rabu kemarin, hal itu berubah.
“Soal anggaran ini menjadi tantangan juga karena sampai hari ini KPU belum menerbitkan Peraturan KPU tentang tahapan pilkada, sebab belum ada kepastian anggaran. PKPU itu tidak bisa diterbitkan sampai ada kepastian anggaran. Sebab jangan sampai tahapan sudah dimulai, tetapi ternyata tidak ada anggaran,” ujar Fritz.
Adapun untuk pilkada lanjutan, Bawaslu mengusulkan tiga opsi. Opsi pertama, Rp 279 miliar jika jumlah pemilih dalam satu TPS 800 orang. Opsi kedua Rp 290 miliar bila jumlah pemilih per TPS 500 orang. Opsi ketiga, Rp 326 miliar jika jumlah pemilih per TPS 300 orang. Namun, akhirnya di dalam rapat disepakati kebutuhan tambahan anggaran Bawaslu diusulkan menjadi Rp 290 miliar.