Presiden Joko Widodo Berpeluang Tepati Janji kepada Orang Papua
Presiden Joko Widodo disebut pernah berjanji menuntaskan kasus Paniai, Papua, tahun 2014. Pemenuhan janji itu terbuka karena Komnas HAM telah tuntas menyelidikinya. Namun, proses lebih lanjut terganjal di kejaksaan.
Oleh
Edna C Pattisina
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Presiden Joko Widodo memiliki peluang untuk menepati janjinya kepada orang Papua. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia telah menyelesaikan proses penyelidikan terhadap dugaan pelanggaran berat HAM di Paniai, Papua.
Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Munafrizal Manan, dalam jumpa pers, Kamis (4/6/2020), mengatakan, penyelidikan Komnas HAM atas kasus dugaan pelanggaran HAM berat di Paniai telah tuntas.
Penyelidikan itu menemukan bahwa memang benar terjadi pelanggaran HAM berat di Paniai pada 8 Desember 2014 saat warga sipil melakukan aksi protes di Lapangan Karel Gobai, Enarotali, Paniai.
Ia pun mengingatkan, Presiden Joko Widodo sendiri yang berkata kepada masyarakat Papua bahwa kasus Paniai akan dituntaskan.
”Ini harus dilihat sebagai kesempatan Presiden untuk menepati janji yang diucapkannya waktu ke Papua bulan Desember 2014 karena semua data telah lengkap,” kata Choirul Anam, komisioner Komnas HAM.
Ada empat pelajar tewas di tempat diduga oleh aparat. Satu orang lagi tewas setelah beberapa bulan dirawat di rumah sakit. Selain itu, 17 orang luka-luka. KontraS mencatat lima orang yang tewas bernama Otianus Gobai (18 tahun), Simon Degei (18 tahun), Yulian Yeimo (17 tahun), Abia Gobay (17 tahun), dan Alfius Youw (17 tahun).
Komisioner Komnas HAM, Sandra Moniaga, menambahkan, selain janji langsung kepada rakyat Papua, Presiden Joko Widodo juga telah memasukkan penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu dalam visi dan misinya pada Pemilu Presiden 2014 dan 2019. Dengan arti kata lain, Presiden telah berjanji menuntaskan kasus-kasus itu pada rakyat Indonesia.
Ini jadi pintu masuk Presiden untuk melaksanakan komitmennya. Jangan sampai malah terjebak dalam bolak-balik berkas terus. (Amiruddin Al Rahab)
Komisioner Komnas HAM lainnya, Amiruddin Al Rahab, mengingatkan, peristiwa Paniai telah lima tahun terkatung-katung. Komnas HAM sudah mengambil langkah untuk menuntaskannya.
”Ini jadi pintu masuk Presiden untuk melaksanakan komitmennya. Jangan sampai malah terjebak dalam bolak-balik berkas terus,” kata Amiruddin .
Munafrizal Manan menjelaskan, Komnas HAM telah memeriksa 26 saksi, meninjau lokasi kejadian di Enarotali, Paniai, dan memeriksa dokumen-dokumen untuk sampai pada kesimpulan terjadi pelanggaran HAM berat.
Beberapa saksi penting dalam peristiwa Paniai ini adalah pengambil kebijakan dan penanggung jawab kebijakan keamanan pada saat peristiwa Paniai terjadi, antara lain Menko Polhukam, beberapa perwira Polri, dan beberapa petugas keamanan lapangan di Papua dan Paniai.
Namun, Komnas HAM melihat ada keengganan dari Kejaksaan Agung untuk menuntaskan proses penyidikan. Komisioner Komnas HAM, Choirul Anam, memaparkan, berkas terus dikembalikan tanpa revisi yang berarti.
Komnas HAM menyerahkan berkas perkara penyelidikan Paniai pertama kali ke Kejaksaan Agung pada 11 Februari 2020. Namun, berkas itu dikembalikan pada 19 Maret lantaran penyidik menilai masih ada kekurangan syarat formal dan material. Setelah itu, Komnas HAM menyerahkannya kembali ke Kejaksaan Agung. Namun, pada 20 Mei 2020, Komnas HAM kembali menerima pengembalian berkas penyelidikan Paniai dari Jaksa Agung.
”Pengembalian berkas yang kedua dengan substansi argumentasi yang mirip, dalam waktu singkat, merupakan sinyal kuat kasus Paniai akan mengalami nasib sama dengan kasus pelanggaran berat HAM lain, yaitu terkatung-katung,” kata Anam.
Lima hal
Menurut Munafrizal, ada lima hal yang dapat diambil oleh Presiden Jokowi untuk menuntaskan perkara ini. Pertama, Presiden harus memastikan proses penyidikan berjalan dan bekerja secara independen serta profesional sesuai dengan prinsip HAM. Kedua, Presiden harus memerintahkan bahwa siapa pun yang terkait kasus Paniai agar bersikap kooperatif dan semua dokumen berhubungan dengan itu dibuka.
Ketiga, Presiden harus menegaskan siapa pun yang mencoba menghalang-halangi proses hukum atas kasus Paniai agar ditindak secara hukum. Keempat, Presiden harus menegaskan bahwa jika sampai batas waktu tertentu tidak ada proses penyidikan dan penuntutan yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung, maka Presiden dapat memerintahkan pembentukan tim penyidik dan penuntut independen sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM yang berisi tokoh-tokoh kredibel.
”Bisa, kan, buat tim independen yang terdiri dari orang-orang yang bagus,” katanya.
Terakhir, Presiden dapat membuat keputusan politik untuk memperkuat kewenangan Komnas HAM agar memiliki kewenangan untuk melaksanakan penyidikan dan penuntutan atas kasus pelanggaran HAM. ”Dengan demikian, kepastian hukum atas proses pengungkapan kebenaran dan penegakan keadilan dapat dilakukan,” kata Munafrizal.
Sebelumnya, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Hari Setiyono mengatakan, berkas penyelidikan Paniai dikembalikan lagi ke Komnas HAM agar Komnas HAM melengkapi petunjuk yang diberikan penyidik.
Jika pada pengembalian berkas penyelidikan sebelumnya, kata Hari, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia memberikan batas waktu 30 hari, untuk pengembalian berkas saat ini tidak diberikan batas waktu.
”Untuk pengembalian yang kedua, pada UU Nomor 26 Tahun 2000, Pasal 20 Ayat 3 maupun di penjelasannya, tidak menyebut jangka waktu batas waktu bagi penyelidik Komnas HAM setelah menerima pengembalian dari penyidik untuk melengkapi berkas perkara sesuai petunjuk penyidik,” kata Hari.