Sejak tuntutan jaksa terhadap dua terdakwa penyiraman air keras kepada penyidik KPK Novel Baswedan tersiar, tak butuh waktu lama bagi publik untuk terbelalak. Rasa keadilan publik terusik, asa kini bertumpu pada hakim.
Sejak tuntutan jaksa penuntut umum terhadap dua terdakwa penyiraman air keras kepada penyidik KPK Novel Baswedan tersiar, tak butuh waktu lama bagi publik untuk terbelalak. Selain karena sangat ringannya tuntutan jaksa, juga karena terdakwa disebutkan tidak sengaja melukai mata Novel. Rasa keadilan publik terusik, harapan kini bertumpu kepada majelis hakim.
Tautan berita tuntutan terhadap dua penyerang Novel Baswedan ramai di media sosial tak lama setelah dibacakan oleh jaksa penuntut umum dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Kamis (11/6/2020) sore. Tak butuh waktu lama pula, nama Novel Baswedan masuk di antara deretan topik yang paling diperbincangkan warganet.
Di Twitter, misalnya, tagar #NovelBaswedan mengemuka sepanjang Kamis hingga Jumat (12/6/2020). Tagar lainnya, #GakSengaja, muncul pada Jumat dan masih tetap menjadi salah satu topik pembicaraan utama warganet hingga Sabtu (13/6/2020) petang.
Melalui media sosial, warganet menumpahkan kekesalannya atas tuntutan 1 tahun penjara terhadap dua oknum polisi penyerang Novel, Rahmat Kadir Mahulette dan Ronny Bugis. Tuntutan ringan tersebut melukai rasa keadilan publik.
Apalagi, akibat serangan dengan air keras yang mengenai wajah Novel pertengahan April 2017 itu, mata kiri Novel saat ini buta, sedangkan mata kanannya tak lagi bisa melihat jelas. Ditambah lagi, Novel adalah aparat penegak hukum pemberantas korupsi, kejahatan luar biasa yang memiskinkan Indonesia.
Munculnya #GakSengaja juga bentuk kegeraman warganet atas materi dalam tuntutan jaksa yang menyebutkan terdakwa tak berniat melakukan penganiayaan berat. Jaksa menganggap Rahmat hanya ingin memberikan pelajaran kepada Novel, tetapi di luar dugaan siraman air keras mengenai mata Novel. Materi tuntutan itu justru mengesankan jaksa mencoba melindungi terdakwa.
Tak hanya di dunia maya, protes atas tuntutan ringan yang dibacakan jaksa penuntut umum Ahmad Patoni, Satria Irawan, dan Fedrik Adhar dari Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta juga disuarakan banyak akademisi dan masyarakat sipil.
Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, Herlambang Perdana, menilai ada faktor yang tidak dipertimbangkan jaksa dalam tuntutannya. Faktor dimaksud, penyerangan Novel direncanakan terlebih dahulu dan adanya unsur kesengajaan, bukan ketidaksengajaan. Jika kedua faktor itu dipertimbangkan, tuntutan bisa lebih tinggi.
Pengajar hukum pidana di Universitas Trisakti, Jakarta, Abdul Fickar Hadjar, pun melihat, seharusnya kedua terdakwa bisa dituntut maksimal, yaitu 7 tahun penjara. Ini terutama karena jaksa menyatakan penyerangan terhadap Novel direncanakan terlebih dahulu dan penyerangan telah mengakibatkan luka berat, yaitu mata Novel menjadi cacat.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) pun ikut bersuara. Menurut Wakil Ketua Komnas HAM Amiruddin Al Rahab, tuntutan ringan itu menjadi sinyal buruk bagi penegakan HAM. Jaksa sebagai representasi negara seharusnya bisa menuntut maksimal, terutama karena korban kejahatan adalah aparat penegak hukum.
”Ini yang diserang aparatur negara yang merupakan penegak hukum. Pelakunya juga penegak hukum. Tetapi, jaksa tuntutannya begitu. Ada ketidakseriusan. Tuntutan itu menghina akal sehat kita,” ujarnya.
Efek dari tuntutan ringan itu, menurut peneliti di Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Giri Ahmad Taufik, akan memberikan preseden yang kontraproduktif terhadap perlindungan aparat penegak hukum di Indonesia. Sebab, berpotensi melahirkan kekerasan lain bagi aparat penegak hukum, utamanya pegawai KPK.
Padahal, berdasarkan catatan Indonesia Corruption Watch (ICW), teror sering kali dialami pegawai KPK. Kurun 1996-2019, setidaknya ada 15 pegawai KPK yang diintimidasi. Ketua KPK periode 2015-2019 Agus Rahardjo dan unsur pimpinan KPK lainnya pada periode yang sama, Laode M Syarif, pun pernah diteror, bahkan dengan bom, awal Januari 2019.
Melihat besarnya kritik pada kerja jaksa dalam kasus Novel, Ketua Komisi Kejaksaan Barita Simanjuntak berjanji pihaknya tak akan diam saja. Komisi Kejaksaan akan terus mengawal proses hukum kasus Novel hingga keluar putusan hakim.
”Kami pada waktunya akan menyampaikan rekomendasi ke kejaksaan setelah proses peradilan selesai agar penilaian kami nantinya komprehensif dan obyektif,” ujarnya.
Janji Jaksa Agung
Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin pun diharapkan tidak diam melihat kerja jaksanya dalam kasus Novel. Menurut peneliti di PSHK, Estu Dyah Arifianti, dalam keterangan tertulisnya kepada Kompas, Jaksa Agung perlu mengevaluasi kerja jaksanya tersebut, terutama karena tuntutan jaksa yang terindikasi keliru secara hukum pidana.
Perlunya Jaksa Agung mengevaluasi kerja jaksa juga penting sebagai bagian dari pemenuhan janjinya mengembalikan kepercayaan publik kepada kejaksaan dan mengembalikan nama baik kejaksaan sesaat setelah dilantik jadi Jaksa Agung (Kompas.id, 28/10/2019). Sebab, dengan tuntutan ringan jaksa itu, nama baik kejaksaan tak pelak turut tercederai.
Terkait protes publik atas rendahnya tuntutan jaksa tersebut, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Hari Setiyono menolak berkomentar. Menurut Hari, kasus Novel merupakan wewenang dari Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta.
Sementara Ahmad Patoni menilai tak ada yang salah dengan tuntutan jaksa. Terdakwa dituntut dengan Pasal 353 Ayat 2 KUHP atau seperti tertera pada dakwaan subsider dan bukan Pasal 355 Ayat 1 KUHP atau dakwaan primer karena terdakwa hanya ingin memberikan pelajaran kepada Novel. Bentuknya dengan menyiramkan air keras ke badannya. Namun, siraman air keras justru mengenai wajahnya.
”Maka, kemudian pasal yang tepat adalah Pasal 353. Perencanaan yang menyebabkan luka berat. Berbeda dengan 355. Kalau di 355 itu dari awal sudah menarget untuk melukai dan langsung dilukai sasarannya, sedangkan ini, dia tidak ada niat untuk melukai,” katanya.
Harapan pada hakim
Kini, dengan tuntutan telah dibacakan, harapan publik agar pelaku penyerang Novel dihukum berat, tinggal bersandar pada majelis hakim. Majelis hakim kasus Novel terdiri dari ketua majelis Djuyamto dan dua hakim anggota Taufan Mandala dan Agus Darwanta.
Abdul Fickar Hadjar mengatakan, hakim mempunyai kebebasan untuk memutus sesuai keyakinannya yang didasarkan pada alat bukti dan fakta yang disajikan selama persidangan. ”Kebebasan hakim itu dibatasi ancaman maksimal dari pasal yang dilanggar,” katanya.
Karena itu, tidak ada keharusan bagi hakim untuk memvonis terdakwa sesuai tuntutan yang diajukan jaksa. Bisa saja tuntutan jaksa diabaikan dan vonis hakim lebih tinggi. Hal itu kerap terlihat dalam sejumlah putusan hakim meski umumnya, putusan hakim lebih rendah dari tuntutan jaksa.
Dengan pelaku penyerang Novel didakwa berlapis dan Pasal 355 Ayat 1 ditempatkan pada dakwaan primer, Giri Ahmad Taufik pun mendorong hakim menjatuhkan vonis berdasarkan pasal tersebut. Ancaman pidana dakwaan pertama itu 12 tahun penjara.
Melalui rekaman video yang disebarkan kepada wartawan, Novel Baswedan, dengan berkata lirih, masih berharap tetap hadirnya keadilan sekalipun banyak kejanggalan selama proses penanganan kasus penyerangannya.
”Saya tidak hanya melihat kasus ini dari kepentingan pribadi saya. Namun, saya melihat ini sebagai kepentingan semua orang. Sebab, serangan kepada saya ini adalah upaya menyerang pemberantasan korupsi, dan ini berbahaya,” ujarnya.