Presiden: Covid-19 Momentum Reformasi Inovasi
Tak ada pemerintahan yang benar-benar siap tangani Covid-19, termasuk Indonesia. Namun, Presiden Jokowi optimistis, Covid-19 jadi momentum reformasi dan inovasi. Inilah wawancara ekslusif Kompas dengan Presiden Jokowi.
Penanganan pandemi Covid-19 selama ini diakui tidak mudah dijalankan. Hal itu karena butuh kerja sama semua pihak, mulai dari pusat hingga daerah. Namun, Presiden Joko Widodo optimistis, Covid-19 justru menjadi momentum melakukan reformasi dan inovasi di banyak sektor.
Tak ada pemerintahan yang benar-benar siap menangani Covid-19, termasuk Indonesia. Dari awal saat mengumumkan pasien positif Covid-19, karantina lokal atau lock down atau pembatasan sosial hingga transisi di era kebiasaan baru atau new era, tak mudah diputuskan.
Hal itu dituturkan Presiden Joko Widodo saat menerima Pemimpin Redaksi Harian Kompas Sutta Dharmasaputra, yang didampingi Redaktur Senior Rikard Bagun dan Ninuk Mardiana Pambudy, Redaktur Pelaksana Adi Prinantyo, dan Koordinator Wartawan Istana Harian Kompas Suhartono, Sabtu (27/6/2020) di Istana Bogor, Jawa Barat. Sebelum masuk ke Istana Bogor, tentu harus didahului protokol kesehatan seperti tes suhu tubuh dan tes cepat.
Bincang-bincang dengan Presiden yang berlangsung sekitar 45 menit itu berlangsung sangat cair. Presiden mengawali dengan bercerita bagaimana di saat awal munculnya Covid-19 berupaya membuat rakyat tidak panik. ”Kalau panik, sistem kesehatan nasional negara mana pun tak akan mampu. Semua berbondong-bondong masuk rumah sakit, minta dites, minta diperiksa akan collapse,” paparnya.
Baca Juga: Dua Warga Terinfeksi Virus Korona, Pemerintah Sudah Siap
Saat mengumumkan kasus positif pertama dan kedua Covid-19, diskusi dilakukan hingga beberapa kali, apakah perlu menggunakan podium atau tidak, agar tidak menimbulkan kepanikan warga yang dapat memicu panic buying atau berbondong-bondong ke rumah sakit. ”Wartawan pun gerudukan sampai berapa orang,” ujar Presiden.
”Pertama, Presiden China Xi Jinping, urusan APD. Saya telepon Presiden AS Donald Trump, urusan ventilator. Berbeda-beda teleponnya. Saya juga telepon Presiden Korsel Moon Jae-in, urusan PCR, sambil bertanya penanganan di negara mereka seperti apa. Mereka kemudian saya telepon lagi. Yang kedua, soal ekonomi”
Presiden juga menelepon sejumlah kepala negara lain untuk bertukar pikiran terkait situasi yang dihadapi ini. Bahkan di awal, papar Presiden, semua negara butuh dan mencari alat pelindung diri (APD), ventilator, dan tes PCR (polymerase chain reaction) untuk memeriksa pasien.
”Pertama, Presiden China Xi Jinping, urusan APD. Saya telepon Presiden AS Donald Trump, urusan ventilator. Berbeda-beda teleponnya. Saya juga telepon Presiden Korsel Moon Jae-in, urusan PCR, sambil bertanya penanganan di negara mereka seperti apa. Mereka kemudian saya telepon lagi. Yang kedua, soal ekonomi,” papar Presiden lagi.
Kepala negara lain pun bertanya tentang pengalaman penanganan lapangan di Indonesia.
Berikut ini cuplikan wawancara dengan Presiden. Saat wawancara, Presiden menunjukkan sejumlah data yang tersimpan di laptop dan tablet.
Pesan apa yang Bapak Presiden ingin sampaikan ke rakyat terkait krisis Covid-19?
Kalau untuk rakyat, tingkatkan disiplin protokol kesehatan, yaitu pakai masker, cuci tangan, jaga jarak, dan hindari kerumunan. Untuk pemerintah, tes masif, pelacakan agresif, dan perlakuan isolasi, pengobatan, karantina. Kita tidak pernah keluar dari hal itu.
Semua kepala negara menyampaikan bahwa ini manajemen krisis paling sulit yang dihadapi. Situasi ini tidak bisa dengan manajemen normal. Saya selalu menyampaikan kepada para menteri dan kepala daerah, harus mempunyai perasaan yang sama bahwa kita ini pada posisi krisis, manajemennya juga krisis, tidak standar, dan linier, tapi dinamis dan berubah-ubah.
Strategi awal, pertengahan, dan sekarang berbeda. Strategi pertengahan sampai saat ini, sudah menggunakan intervensi berbasis lokal. Jadi (semacam) lock down kecil, tingkat RT, RW, desa, kampung, pesantren. Itu lebih efektif. Kalau yang terkena di lokasi tertentu, tetapi seluruh kota ditutup, tidak pas.
Apakah seluruh elemen di negara ini telah menjalankan manajemen krisis?
Saya senang sekali. Begitu kita berbicara A, (informasi) itu kemudian sampai ke desa dan kampung. Mungkin dengan cara yang sedikit berbeda. Enggak apa-apa. Itu yang menyebabkan kita bisa ngerem (pandemi Covid-19). Hanya kecepatannya masih berbeda-beda.
Terkait penanganan pandemi, ada yang mengatakan, masih lemah dalam pelacakan?
Saat saya mendapat kabar adanya dua kasus positif pertama dari Menteri Kesehatan, pagi hari, sekitar pukul 10.00 langsung kita umumkan. Saya perintahkan juga agar dilacak karena standarnya seperti itu. Dua hari kemudian, saya dapat informasi ada 82 orang yang pernah melakukan kontak.
Saya berpandangan pelacakan itu sangat efektif untuk menemukan pasien dalam pengawasan (PDP) dan orang dalam pemantauan (ODP). Ini buah dari pelacakan. Pelacakan juga akan membuat tes menjadi lebih efektif. Kita juga tidak mempunyai alat tes yang sangat banyak. Kalau semua orang dites, juga tidak akan efektif.
Dari angka yang ada, positivity rate dari Mei dan Juni di angkanya 13-14 persen. Meskipun kita tambah tesnya, angkanya tetap. Kalau pegang angka itu, kita tak khawatir. Kedua, angka kesembuhan. Contoh, Mei 46 persen, kemudian 52 persen dan 58 persen. Artinya, ada perbaikan. Kita memiliki data. Setiap kebijakan pasti berdasarkan data sains dan saran para pakar dan ilmuwan. Itulah kenapa kita berani masuk ke new normal karena ada datanya. Tahapan ke new normal juga ada. Prakondisinya seperti apa. Lalu masuk ke timing-nya. Setelah itu, baru menentukan sektor apa yang diprioritaskan untuk dibuka. Tidak semua dibuka. Sekolah nanti. Kantor pun 50 persen dulu.
Kemudian dibicarakan dengan daerah. Koordinasi pusat dan daerah dilakukan berdasarkan data dan setiap hari, setiap minggu dievaluasi. Kalau angka penularan naik, daerah diberi tahu dan diminta untuk menyetop. Tetapi, ada daerah yang mau dan tidak mau karena ada wilayah politiknya. Saya kira di mana pun, di Amerika juga ada. Ya biasalah, wali kota, bupati, gubernur kadang berbeda-beda. Tidak apa-apa, tetapi harus dengan sebuah argumentasi data yang benar. Kalau argumennya hanya argumen politik, ini yang disayangkan. Kita memiliki 514 kota/kabupaten, 34 provinsi. Kita pasti mengingatkan.
Soal keseimbangan aspek kesehatan dan ekonomi, sejauh ini bagaimana dalam praktiknya?
Kita berterima kasih kepada seluruh jajaran Gugus Tugas, gubernur, bupati, wali kota, TNI/Polri. Saya telah memerintahkan TNI/Polri untuk ikut mendisiplinkan masyarakat.
Saya juga berterima kasih pada jajaran rumah sakit, dokter, tenaga medis, dan tenaga kesehatan. Mereka betul-betul berada di garis depan. Pada saat awal, rumah sakit yang menjadi rujukan hanya 250 rumah sakit. Kini sudah 1.687 rumah sakit.
Masalah APD, di awal-awal kita harus mencari dari China, dari Korea, dibantu Jepang. Sekarang, kita bisa memproduksi APD. Kita alihkan usaha konfeksi agar memproduksi APD. Sekarang produksi APD 17 juta per bulan. Dipakai untuk di dalam negeri sekitar 5 juta, selebihnya untuk diekspor.
Ventilator pun sudah menggunakan buatan dalam negeri. Saat ini, kita pun sudah memproduksi alat tes PCR. Kita dapat memproduksi 50.000 unit per minggu. Kita ini bisa menyesuaikan diri dengan cepat. Adaptasinya cepat sekali dan ketergantungan itu tidak ada lagi sekarang.
"Inovasi muncul, produksi alat-alat kesehatan muncul, dan ini yang akan kita teruskan, termasuk kerja sama dalam pembuatan vaksin. Kita mempunyai kerja sama dengan Korea. Kerja sama dengan Lembaga Eijkman juga terus dilanjutkan. Target saya, akhir tahun ini, vaksin ini sudah ditemukan. Saya minta Desember ketemu, Desember selesai"
Artinya, Covid-19 membangkitkan inovasi?
Ya, inovasi muncul, produksi alat-alat kesehatan muncul, dan ini yang akan kita teruskan, termasuk kerja sama dalam pembuatan vaksin. Kita mempunyai kerja sama dengan Korea. Kerja sama dengan Lembaga Eijkman juga terus dilanjutkan. Target saya, akhir tahun ini, vaksin ini sudah ditemukan. Saya minta Desember ketemu, Desember selesai.
Insentif perusahaan sehat
Dampak pandemi Covid-19 yang paling besar adalah ekonomi. Sebelumnya, pemerintah memiliki banyak rencana dan terobosan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Namun, akibat Covid-19, semuanya berubah. Apakah ada strategi lain untuk mendorong perekonomian agar terlepas dari persoalan yang membelit?
Bantuan sosial kita perbesar agar konsumsi domestik terjaga. Kemarin kan turun, biasanya konsumsi domestik kita di angka 5 persen, sekarang turun. Mudah-mudahan di kuartal kedua, kita harapkan karena sudah ada bansos, konsumsi rumah tangga, konsumsi domestik kita menjadi naik kembali meskipun belum pada kondisi normal biasa. Bansos yang direncanakan digelontorkan hingga akhir tahun Rp 203 triliun. Ini sudah berjalan, saya pantau hariannya.
Apa yang akan dilakukan sebagai stimulus ekonomi?
Sebagai stimulus ekonomi, kita memberikan pada UMKM Rp 123 triliun, kemudian insentif pajak Rp 120 triliun. Pembiayaan untuk perusahaan Rp 53 triliun. Dukungan sektoral, baik ke kementerian maupun daerah Rp 106 triliun. Jumlahnya kira-kira Rp 695 triliun, termasuk (belanja) kesehatan Rp 87 triliun.
Stimulus ini menyebabkan defisit kita naik menjadi 6,3 persen. Akan tetapi dibandingkan dengan negara-negara lain, itu sangat kecil sekali, karena banyak negara sampai 15-20 persen (defisitnya), misalnya Amerika dan Jepang.
Dalam kondisi seperti ini, negara tak bisa sendirian, harus di-back up pengusaha. Apa harapan Anda terhadap mereka?
Ini harus dipandang sebagai persoalan bersama bangsa, semua harus punya perasaan yang sama.
Kita mengharapkan, stimulus bisa berdampak pada peningkatan konsumsi domestik. Harapannya di triwulan ketiga sudah berhasil mengungkit kembali. Perkiraan kita di kuartal kedua itu bisa minus 3,8 persen. Beberapa skenario memang belum dilaksanakan, tetapi ada yang sudah, seperti pajak, relaksasi untuk bunga.
Tapi yang kita senang, harga bahan pokok masih relatif stabil, inflasi masih terkendali di bawah 3 persen. Kita harapkan juga perusahaan-perusahaan jangan melakukan pemutusan hubungan kerja. Saya menyampaikan kepada para menteri agar yang diberi insentif adalah perusahaan sehat dan tidak mem-PHK karyawan.
Kemarin kita juga mulai meluncurkan Rp 30 triliun ke bank-bank BUMN, memberikan suntikan, sehingga nanti kalau perusahaan mengajukan kredit ke bank, modal kerja darurat masih ada.
Jadi, Covid-19 momentum?
Ini momentum untuk reformasi struktural selain birokrasi. Yang enggak efisien di sebelah mana, kelihatan semua. Sistem kesehatan nasional kita banyak yang enggak benar, kelihatan semua. Sekarang ini muncul opportunity. Ini kita gunakan untuk mereformasi semuanya.
Covid-19 juga kita manfaatkan peluangnya agar recovery lebih cepat. Kemarin ada 170-an perusahaan dari Amerika, Jepang, Korea yang ada di China yang mau relokasi. Kita sudah kirim tim ke sana, sudah beberapa kali. Sekarang ini (perusahaan yang akan relokasi itu) diperebutkan semua negara. Tapi mereka ini masuknya hanya ke lima negara, Indonesia salah satunya.
"Ini momentum untuk reformasi struktural selain birokrasi. Yang enggak efisien di sebelah mana, kelihatan semua. Sistem kesehatan nasional kita banyak yang enggak benar, kelihatan semua. Sekarang ini muncul opportunity. Ini kita gunakan untuk mereformasi semuanya"
Kalau dia mau pindah ke sini, yang mengurus izin adalah menteri. Katakanlah 50 perusahaan akan pindah ke Indonesia, masak menteri mengurus 50 saja enggak bisa. Kita sering kalah di tanah, pembebasan lahan. (Sekarang) enggak usah membebaskan, kita siapkan sekarang di Batang 4.000 hektar. Nanti kita beri insentif.
Baca Juga: Keseimbangan Atasi Pandemi
Saya sampaikan juga ke Menteri Luar Negeri, jangan sampai dubes itu hanya mempromosikan. Sudah enggak musim itu. Dia harus bisa negosiasi. Saya marahi para menteri karena 33 perusahaan yang relokasi tahap pertama sebelum Covid-19, satu pun enggak ada yang ke Indonesia.
Dorongan ini akan memberi semangat untuk dunia usaha?
Harus optimistis. Kalau kita pesimistis, lebih menambahi masalah lagi nanti. Orang wait and see terus dan uangnya disimpan. Lembaga internasional sudah mengatakan seperti itu. Masak kita tidak bisa mengambil peluang.
Saya yakin ekonomi di kuartal ketiga bisa membaik. Kalau masih bisa mengungkit kembali lagi ke atas, di kuartal keempat bisa lebih naik lagi, Saya kira tahun depan sudah pada posisi normal di angka 5 persen. Saya yakin itu.