Bekas Menpora Divonis Tujuh Tahun Penjara, Hak Politik Juga Dicabut
Bekas Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi divonis 7 tahun penjara. Selain itu, ia juga dijatuhi pidana tambahan pencabutan hak politik, serta diwajibkan membayar uang pengganti Rp 18 miliar subsider 2 tahun penjara
Oleh
Dian Dewi Purnamasari
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Bekas Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi dinyatakan terbukti menerima suap dan gratifikasi senilai Rp 19,15 miliar. Dia divonis 7 tahun penjara, denda Rp 400 juta subsider 3 bulan kurungan. Imam juga diminta mengganti uang senilai Rp 18,1 miliar subsider dua tahun penjara. Selain itu, hak politik Imam juga dicabut selama empat tahun sejak menyelesaikan pidana pokok.
Putusan tersebut dibacakan ketua majelis hakim di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Rosmina, Senin (29/6/2020). Vonis tersebut lebih rendah dibandingkan dengan tuntutan jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yaitu 10 tahun penjara, membayar ganti rugi senilai uang yang telah dinikmati kepada negara, serta menjatuhkan hukuman tambahan berupa pencabutan hak politik.
”Terdakwa Imam Nahrawi terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan berlanjut. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa pidana penjara tujuh tahun dan denda Rp 400 juta subsider tiga bulan kurungan. Menjatuhkan pidana tambahan berupa membayar uang pengganti kepada negara sejumlah Rp 18,1 miliar. Apabila tidak diganti dalam waktu satu bulan, harta benda terdakwa dapat disita untuk dilelang. Namun, jika harta benda tidak mencukupi, maka diganti pidana selama dua tahun,” kata Rosmina.
Menjatuhkan pidana tambahan berupa membayar uang pengganti kepada negara sejumlah Rp 18,1 miliar. Apabila tidak diganti dalam waktu satu bulan, harta benda terdakwa dapat disita untuk dilelang. Namun, jika harta benda tidak mencukupi, maka diganti pidana selama dua tahun.
Menurut majelis hakim, Imam terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 12A Ayat (1) dan Pasal 12B Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi.
Imam sempat mengajukan penetapan sebagai justice collaborator (JC) dalam perkara tersebut kepada majelis hakim. Namun, permohonan itu ditolak oleh majelis hakim.
Adapun JC ialah pelaku kejahatan yang bekerja sama dengan penegak hukum membongkar kejahatan. Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan mengatur pengetatan remisi bagi terpidana narkotika, korupsi, dan terorisme. JC menjadi syarat mendapat remisi atau pengurangan masa pidana.
Terhadap putusan itu, Imam Nahrawi mengatakan akan pikir-pikir. Menurut dia, putusan majelis hakim PN Tipikor hanya mempertimbangkan tuntutan dari jaksa penuntut umum, tanpa mempertimbangkan nota pembelaan (pleidoi) darinya. Dia juga berkukuh bahwa dia tidak menikmati dana Rp 11,5 miliar dari KONI Pusat. Dia justru mengatakan akan membongkar aliran dana yang tertuang dalam berita acara pemeriksaan (BAP) perkara tersebut.
”Beri kesempatan saya untuk melakukan perenungan sekaligus pendalaman sesuai fakta-fakta persidangan. Kami akan pikir-pikir dan berusaha agar aliran dana Rp 11,5 miliar dari KONI ini terbongkar,” kata Imam melalui video conference dari Gedung KPK di Jakarta.
Hal-hal yang memberatkan politikus Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ini adalah tindakannya bertentangan dengan program pemberantasan korupsi. Imam juga dianggap berusaha menutupi perbuatannya dengan tidak mengakuinya. Adapun hal-hal yang meringankan adalah terdakwa bersifat sopan, masih memiliki tanggung jawab terhadap keluarga, dan belum pernah dipidana.
Beri kesempatan saya untuk melakukan perenungan sekaligus pendalaman sesuai fakta-fakta persidangan. Kami akan pikir-pikir dan berusaha agar aliran dana Rp 11,5 miliar dari KONI ini terbongkar.
Sebelumnya, dalam kasus yang sama, asisten pribadi Imam, Miftahul Ulum, telah divonis 4 tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsider 3 bulan kurungan. Ulum dinilai hanya melaksanakan arahan Imam untuk kepentingan Imam.
Dalam persidangan diungkap bahwa Imam memberikan disposisi kepada Miftahul Ulum untuk bertemu dengan pihak KONI Pusat, yaitu Ending Fuad Hamidy dan Jhony E Awuy. Pertemuan tersebut untuk membicarakan besaran fee pengajuan proposal KONI Pusat untuk program peningkatan dan pengawasan kegiatan olahraga nasional. Apabila fee diberikan, proposal dijanjikan dapat segera diproses dan disetujui pencairannya.
Imam melalui Ulum menerima gratifikasi secara bertahap yang seluruhnya berjumlah Rp 8,648 miliar. Mereka juga menerima Rp 2 miliar dari Bendahara Pengeluaran Pembantu (BPP) Program Indonesia Emas (Prima) Kemenpora Lina Nurhasanah sebagai pembayaran jasa desain konsultan arsitek. Dana itu bersumber dari anggaran Satlak Prima.
Keduanya juga menerima Rp 1 miliar dari PPK Program Satlak Prima Kemenpora Edward Taufan Pandjaitan. Mereka juga menerima Rp 400 juta dari BPP Peningkatan Prestasi Olahraga Nasional (PPON) Supriyono yang berasal dari pinjaman KONI Pusat (Kompas, 16 Juni 2020).
Selain itu, Imam dan Ulum juga dinilai terbukti menerima suap Rp 11,5 miliar untuk mempercepat proses proposal dukungan KONI Pusat dalam rangka pengawasan dan pendampingan program peningkatan prestasi olahraga nasional pada Asian Games 2018 dan Asian Para Games 2018.
Menurut majelis hakim, tindakan yang dilakukan Imam tersebut memenuhi unsur pidana menerima hadiah atau janji, bentuknya dapat berupa apa saja, karena melakukan sesuatu dalam jabatannya.