Berkaca dari interaksi antarpenyelenggara pemilu, desain kelembagaan penyelenggara perlu ditata ulang sehingga tidak menimbulkan persoalan di antara penyelenggara pemilu. Penataan ulang akan dirumuskan dalam RUU Pemilu.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sinergi penyelenggara pemilu menjadi salah satu tema bahasan dalam perumusan Rancangan Undang-Undang Pemilu yang tengah disusun Dewan Perwakilan Rakyat. Berkaca dari interaksi antarpenyelenggara pemilu, desain kelembagaan penyelenggara perlu ditata ulang sehingga tidak menimbulkan persoalan di antara penyelenggara pemilu.
Salah satu hal yang menjadi cerminan bagi DPR untuk merumuskan ulang hubungan antarlembaga penyelenggara pemilu itu ialah kasus Evi Novida Ginting, anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang diberhentikan tetap melalui putusan sidang Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), 18 Maret 2020.
Putusan DKPP itu ditindaklanjuti dengan keputusan presiden (keppres) yang memberhentikan tetap Evi sebagai anggota KPU. Keppres pemberhentian tersebut saat ini digugat Evi di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta.
Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Nasdem Saan Mustopa, di Jakarta, Jumat (3/7/2020), mengatakan, rencana penetapan pengganti antarwaktu (PAW) terhadap Evi sempat dibahas di dalam rapat internal Komisi II, Kamis lalu. Namun, sebagian besar fraksi menyetujui agar penetapan PAW Evi itu menunggu putusan PTUN Jakarta.
”Kami menyepakati untuk menunda dulu pembahasan PAW terhadap Bu Evi karena, kan, nanti ada putusan dari PTUN. Jadi, sebagian besar fraksi di Komisi II menyepakati agar penetapannya menunda dulu putusan PTUN. Kami memberikan kesempatan kepadanya untuk mencari keadilan di pengadilan, dan itu, kan, menyangkut hak mendasar Bu Evi,” kata Saan.
Dalam kasus ini, Saan mengatakan, KPU juga melayangkan surat ke Komisi II DPR. Surat itu pada dasarnya meminta Komisi II agar menunda dulu penetapan PAW terhadap Evi karena masih ada proses hukum yang berlangsung di PTUN Jakarta. Setelah ada putusan PTUN, Komisi II DPR akan kembali menggelar rapat internal untuk membahas kasus Evi.
Evi diberhentikan sebagai anggota KPU melalui putusan DKPP Nomor 317-PKE-DKPP/X/2019. Dalam sidang yang dipimpin Pelaksana Tugas Ketua DKPP Muhammad, Evi dinilai melanggar kode etik penyelenggara pemilu dalam perkara yang diajukan Hendri Makaluasc, calon anggota DPRD Provinsi Kalimantan Barat.
Selain menjatuhkan sanksi kepada Evi, DKPP juga memberikan peringatan keras terakhir kepada Ketua KPU Arief Budiman, anggota KPU Pramono Ubaid Tanthowi, Ilham Saputra, Viryan, dan Hasyim Asy’ari. Sementara itu, Ketua KPU Kalimantan Barat Ramdan dan para anggota KPU Kalimantan Barat, yakni Erwin Irawan, Mujiyo, dan Zainab, mendapatkan sanksi peringatan.
Dalam perkara yang diadukan Hendri Makaluasc, teradu termasuk Evi, dianggap tidak mampu menyokong terwujudnya penyelenggaraan pemilu berintegritas yang memastikan kemurnian suara pemilih sesuai desain sistem pemilu proporsional terbuka dengan metode penetapan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak.
Dalam pertimbangan putusan, Evi disebutkan memiliki tanggung jawab etik lebih besar dari anggota KPU yang lain. Sebab, Evi menjadi Koordinator Divisi Teknis Penyelenggaraan dan Logistik Pemilu. Selain itu, Evi juga menjabat Wakil Koordinator Wilayah untuk Kalimantan Barat. Disebutkan pula bahwa pada 10 Juli 2019, DKPP telah menjatuhkan sanksi peringatan keras kepada Evi serta diberhentikan dari jabatan ketua divisi SDM, organisasi, diklat, dan litbang (Kompas, 19/3/2020).
Saan mengatakan, kasus Evi dan kasus-kasus lain di antara penyelenggara pemilu menjadi perhatian Komisi II. Sebab, jangan sampai ada persepsi yang menunjukkan seolah terjadi rivalitas di antara penyelenggara pemilu. Padahal, baik KPU, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), maupun DKPP diharapkan bersinergi mewujudkan pemilu yang berkualitas.
”Jangan ada persepsi rivalitas di antara mereka, yang pada akhirnya bisa saling menegasikan satu sama lain. Yang sedang kami rumuskan ialah bagaimana masing-masing penyelenggara pemilu ini bersinergi dengan posisi, peran, dan kewenangan masing-masing untuk mewujudkan pemilu berkualitas,” katanya.
Menurut Saan, setiap persoalan yang terjadi dan melibatkan penyelenggara pemilu harus didekati secara profesional, dan tidak disertai dengan pandangan subyektif anggota, ataupun ego dari masing-masing lembaga. Masukan dari publik dan fraksi-fraksi terhadap desain kelembagaan penyelenggara pemilu masih sedang dikompilasi oleh DPR.
”Nanti kami akan kategorikan, soal isu-isu tertentu, mana yang disetujui oleh masyarakat sipil, dan mana yang disetujui oleh fraksi. Begitu pula untuk kategori isu-isu yang ditolak, baik oleh masyarakat maupun fraksi. Dengan demikian, nanti akan ketahuan bagaimana suara masing-masing pihak atas isu tertentu. Hasil kompilasi itu kemudian dibahas di dalam internal Komisi II sebelum diharmonisasi di Baleg (Badan Legislasi DPR),” ucapnya.
Tata kelembagaan
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini, dalam masukannya ke Komisi II DPR, mengusulkan agar ada pemisahan antara lembaga pengawas dan lembaga pengadil atau ajudikator pemilu. Saat ini, peran Bawaslu yang menjadi pengawas sekaligus pengadil bagi sengketa administrasi pemilu dipandang kurang tepat karena lembaga pengawas sekaligus menjadi lembaga pengadil sengketa administrasi.
”Peran Bawaslu sebagai lembaga yang mengawasi, sekaligus menjadi lembaga yang mengadili, ini perlu untuk dipertimbangkan ulang,” katanya.
Selain itu, Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakumdu), menurut Titi, sebaiknya dihapus karena keberadaannya menjadi kurang optimal, dan hanya menambah panjang rantai birokrasi atau koordinasi dalam penanganan pidana pemilu. Sebagai contoh, ketika ada pidana pemilu, seperti politik uang, sekalipun mula-mula ditemukan oleh pengawas pemilu, ujungnya nanti ditangani oleh kepolisian dan kejaksaan.
Oleh karena itu, peniadaan Sentra Gakumdu tidak akan pula mengganggu proses pidana terhadap temuan Bawaslu karena setiap temuan atau dugaan pidana pemilu juga tetap ditangani oleh kepolisiandan kejaksaan.
Dihubungi terpisah, Direktur Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD) August Mellaz mengatakan, desain kelembagaan penyelenggara pemilu yang diatur di dalam RUU Pemilu tidak dapat menyentuh urusan-urusan yang sifatnya interpersonal di antara anggota penyelenggara pemilu.
Posisi DKPP dipandang strategis sebagai pengawal etika penyelenggara pemilu. Melihat perkembangan saat ini, yakni ketika KPU kerap dilaporkan melanggar kode etik, sebuah syarat harus dibuat lebih jelas sehingga laporan ke DKPP itu tidak asal-asalan.
”Kalau memang dalam putusan DKPP itu bukti-buktinya terpenuhi, tentu itu bukan karena sentimen pribadi, melainkan memang telah memenuhi ketentuan yang diatur dalam UU. Putusan DKPP harus dihargai sebagai mekanisme pengawasan kode etik penyelenggara yang dijamin UU,” katanya.