Perubahan Nomenklatur RUU HIP Dinilai sebagai Langkah Tepat
DPR disarankan mencabut RUU Haluan Ideologi Pancasila dari Prolegnas 2020. Jika kemudian nomenklatur RUU itu akan diubah menjadi RUU Pembinaan Ideologi Pancasila, ruang dialog dengan publik perlu dilakukan lebih luas.
Oleh
Dian Dewi Purnamasari
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah pengamat menilai perubahan nomenklatur Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila menjadi RUU Pembinaan Ideologi Pancasila adalah langkah yang tepat. Namun, meskipun nomenklatur RUU itu diubah, tetap membutuhkan ruang dialog yang luas.
Ahli hukum tata negara Jimly Asshiddiqie saat dihubungi, Minggu (5/7/2020), mengatakan, saat ini perdebatan mengenai RUU HIP sudah melebar. Salah satu ketentuan yang hingga kini membuka polemik dan perdebatan sejarah adalah ketentuan Pasal 7 RUU HIP. Pasal tersebut memeras Pancasila menjadi trisila dan ekasila.
DPR harus membuat keputusan yang jelas dan menjawab ketakutan masyarakat. Pemerintah juga jangan lepas tangan dengan mengatakan pembahasan RUU ditunda, tetapi minta RUU dicabut dalam Prolegnas 2020. (Jimly Asshiddiqie)
Ia menyarankan agar DPR mencabut RUU HIP dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020. Hal ini selaras dengan sikap pemerintah yang memutuskan menunda pembahasan RUU yang mendapat penolakan dari sejumlah kalangan. Selain itu, masa pembahasan RUU pada tahun ini tinggal lima bulan. Singkatnya waktu yang tersisa dikhawatirkan tak akan menghasilkan deliberasi RUU secara optimal.
”DPR harus membuat keputusan yang jelas dan menjawab ketakutan masyarakat. Pemerintah juga jangan lepas tangan dengan mengatakan pembahasan RUU ditunda, tetapi minta RUU dicabut dalam Prolegnas 2020,” kata Jimly.
Menurut Jimly, usulan perubahan nomenklatur RUU HIP menjadi RUU PIP adalah langkah yang tepat. Sebab, Indonesia memang membutuhkan aturan bagaimana ideologi Pancasila diimplementasikan dalam praktik keseharian masyarakat. Seharusnya, jika yang dibutuhkan adalah pembinaan Pancasila, RUU tidak perlu melebar ke persoalan substansi Pancasila. Mempertentangkan Pancasila, terutama mengacu pada pidato Bung Karno 1 Juni 1945, akhirnya memicu perdebatan sejarah. Polarisasi di masyarakat yang telanjur menguat membuat kelompok nasionalis kembali harus dihadap-hadapkan dengan kelompok agamis.
”Polarisasi di masyarakat sudah kepalang buruk sehingga ketika ada perdebatan sejarah mengenai Pancasila, pembahasan melebar ke mana-mana. Makanya harus ada rekonsiliasi kebangsaan dulu sebelum membahas RUU tersebut,” kata Jimly.
Polarisasi di masyarakat sudah kepalang buruk, sehingga ketika ada perdebatan sejarah mengenai Pancasila, pembahasan melebar ke mana-mana. Makanya, harus ada rekonsiliasi kebangsaan dulu sebelum membahas RUU tersebut. (Jimly Asshiddiqie)
Dari sisi waktu, menurut Jimly, waktu yang tepat untuk membahas RUU itu adalah tahun depan. Draf RUU PIP harus dibuka dan dibahas secara dialogis bersama masyarakat. Sebab, RUU tersebut memiliki implikasi yang besar terhadap hak dan kewajiban warga. Oleh karena itu, pembahasannya harus melibatkan partisipasi publik yang besar. Partisipasi itu tidak bisa optimal dilakukan pada masa pandemi Covid-19.
Pengamat politik dari Universitas Airlangga, Surabaya, Airlangga Pribadi, juga setuju jika nomenklatur RUU HIP diubah menjadi RUU PIP. Menurut dia, perspektif pembinaan lebih bisa diterima masyarakat karena bertujuan pada penguatan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). BPIP bertugas memberikan pendidikan dan penyebaran ideologi Pancasila dalam konteks sekarang.
”Ini lebih bisa diterima ketimbang RUU HIP yang secara substansi memang bermasalah,” kata Airlangga.
Menurut Airlangga, dalam draf RUU HIP yang beredar di masyarakat, perumusan ulang subtansi Pancasila dalam undang-undang justru menurunkan posisi Pancasila sebagai ideologi bangsa. Hal itu melenceng dari semangat para pendiri bangsa yang meletakkan Pancasila sebagai filosofi untuk mengelola kehidupan bernegara. Pancasila seharusnya menjadi alat untuk kontrol dan evaluasi pengelolaan negara. Namun, ketika dirumuskan menjadi undang-undang, Pancasila kemudian menjadi alat kontrol masyarakat.
”Pancasila adalah filsafat untuk pengelolaan negara, bukan alat untuk mengontrol masyarakat,” kata Airlangga.
Pancasila adalah filsafat untuk pengelolaan negara, bukan alat untuk mengontrol masyarakat. (Airlangga Pribadi)
Selain itu, substansi Pasal 7 RUU HIP juga dinilai tidak sesuai dengan semangat persatuan bangsa. Sebab, konteks pidato Bung Karno pada 1 Juni itu belum final. Pidato Bung Karno diuraikan dalam proses merumuskan dasar negara. Ide awal itu kemudian dibahas bersama Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia menjadi konsensus nasional. Memunculkan kembali trisila dan ekasila dinilai hanya memicu polemik baru terhadap kelompok pro-Piagam Jakarta 22 Juni 1945.
”Rumusan pidato Bung Karno itu sangat brilian, tetapi harus dipahami dulu konteksnya apa. Saat itu, posisi beliau baru memberikan opsi kepada para tokoh bangsa, kemudian yang resmi menjadi konsensus itu ya Pancasila,” terang Airlangga.
Saat ini, lanjut Airlangga, pemerintah dan DPR memiliki dua opsi. Pertama, RUU tersebut dicabut dari Prolegnas 2020. Kedua, nomenklatur diubah menjadi RUU PIP. Pasal-pasal dalam RUU PIP harus dirampingkan dan konten kontroversial harus dicabut. Hal itu perlu dilakukan untuk meredam polemik di masyarakat akibat RUU tersebut.