Menko Polhukam: Belum Ada Alasan Cukup Meyakinkan untuk Tunda Pilkada
Menko Polhukam Mahfud MD mengatakan, pemerintah akan tetap mengadakan pilkada meski ada usulan menunda dari sejumlah pihak. Sebab, sampai saat ini belum ada alasan yang cukup meyakinkan untuk menunda pilkada.
Oleh
ELSA EMIRIA LEBA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah kembali menekankan bahwa penyelenggaraan Pilkada Serentak 2020 tetap berlanjut di tengah pandemi Covid-19. Namun, integritas penyelenggaraan pilkada di tengah pandemi menghadapi sejumlah tantangan berat yang bisa memengaruhi kualitas demokrasi Indonesia.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD mengatakan, pemerintah akan tetap mengadakan pilkada meskipun ada usulan untuk menunda dari sejumlah pihak. Hal ini karena sampai saat ini belum ada alasan yang cukup meyakinkan untuk menunda pilkada.
”Kalau pemerintah tidak segera diganti menurut agenda konstitusional, kan, jadi masalah. Pemerintahan harus tetap berjalan selama pandemi. Kalau kita menunggu hingga pandemi selesai, tidak ada yang tahu kapan selesai,” kata Mahfud dalam konferensi pers virtual Memastikan Pilkada Sehat: Menjauhkan Covid-19 & Korupsi, Jumat (11/9/2020).
Indonesia akan menggelar pilkada serentak di 270 daerah pada 9 Desember 2020. Hari pemungutan suara ini bergeser dari sebelumnya 23 September 2020 akibat pandemi Covid-19. Sejumlah kelompok masyarakat sipil menyerukan agar pemerintah menunda penyelenggaraan pilkada pada tahun ini.
Salah satu alasan utamanya adalah jumlah kasus Covid-19 di Indonesia terus bertambah. Hingga kini kasus telah mencapai lebih dari 200.000 kasus. Di sisi lain, pada tahap pendaftaran calon peserta pilkada 4-6 September, Badan Pengawas Pemilu menemukan 243 pelanggaran protokol kesehatan.
Mahfud melanjutkan, penyelenggaraan pilkada akan berhasil selama semua pihak mematuhi protokol kesehatan yang berlaku. Di masa pandemi seperti ini, pilkada harus tetap bisa menghasilkan kepala daerah yang berintegritas, anti-korupsi, dan mampu menjaga kesehatan masyarakat.
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron mengatakan, kepala daerah yang berintegritas lahir dari proses pemilihan yang benar. Untuk itu, pemerintah perlu mewaspadai sejumlah potensi pelanggaran yang terjadi selama pilkada berlangsung.
Menurut dia, KPK telah memberikan beberapa rekomendasi kepada pemerintah untuk menjamin penyelenggaraan pilkada berintegritas di tengah pandemi. Beberapa di antaranya terkait pentingnya berkoordinasi dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) untuk melacak transaksi keuangan kandidat yang mencurigakan dan memetakan risiko praktik korupsi berdasarkan karakteristik wilayah.
KPK juga menyoroti potensi korupsi di aspek kesehatan selama penyelenggaraan pilkada. Salah satunya agar pemerintah memperhatikan pengadaan barang dan jasa bidang kesehatan agar bebas dari korupsi.
”Pilkada adalah instrumen utama untuk memilih pemimpin. Jadi, kalau prosesnya bagus dan benar, harapannya yang terpilih adalah pemimpin yang berintegritas sehingga proses penyelenggaraan pemerintahan di daerah akan bebas korupsi,” ujar Nurul.
Ancaman demokrasi
Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, menyebutkan, penyelenggaraan pilkada selama pandemi akan lebih sulit, rumit, dan mahal. Hal ini membuat integritas pilkada ikut terpengaruh sehingga bisa memengaruhi kualitas demokrasi.
”Bukan hanya integritas penyelenggara, integritas pemilih dan kontestan juga terpengaruh,” ucapnya.
Titi mencontohkan, penyelenggaraan pilkada selama pandemi dapat memengaruhi tingkat partisipasi pemilih. Seperti yang diketahui, Komisi Pemilihan Umum (KPU) menargetkan tingkat partisipasi Pilkada 2020 mencapai 77,5 persen.
Menurut Titi, pembatasan fisik menghambat terbentuknya diskursus antara calon dan pemilih. Memang tersedia ruang virtual, tetapi tidak semua calon dan pemilih dapat memanfaatkan fasilitas itu. Pemilih bisa mendapat informasi yang tidak lengkap dalam membuat keputusan terkait calon.
”Namun, yang paling membahayakan kualitas demokrasi kita adalah kecenderungan masyarakat yang tidak peduli atau menganggap pilkada bukan proses yang penting. Minat masyarakat terhadap pilkada lebih rendah jika dibandingkan dengan pileg atau pilpres yang berskala nasional. Atensi masyarakat tidak terlalu besar di tengah situasi pandemi,” tutur Titi.